#9 Kelas Dimulai

288 52 1
                                    

 

  Jukung panjang yang mereka naiki dibiarkan bergerak perlahan mengikuti arus sungai yang tenang. Alung dan Adam yang duduk pada kedua sudut berbeda, berhenti mengayuh dayung. Leher Adam berputar mengamati sekitar. Suasana terasa lengang sepanjang anak sungai. Hanya terdengar gemericik air serta gumam hewan-hewan penghuni hutan dari seberang sungai sana.

Gubuk-gubuk lanting yang mereka lewati letaknya terpencar saling berjauhan. Kampung di atas air itu layaknya pemukiman tidak berpenghuni. Pintu dan jendelanya tampak tertutup. Kondisi bangunan sangat sederhana. Sebagian besar telah banyak yang lapuk.

Sekarang mereka sedang melewati salah satu lanting mungil. Manik hitam guru muda itu nanar memandangi dinding kayu yang telah keropos digerogoti rayap. Tiang depan bahkan nyaris patah hingga membuat atap Rumbia di atasnya tidak lagi simetris. Sarang laba-laba melebar di antara tiang dan jendela.

Klang... klang....

Sekeping tambalan seng berkarat yang hampir lepas pada sudut atap, berisik setiap dihempas angin. Bunyinya menggema ke segala penjuru.

Mengetahui anak-anak tidak mau pergi ke sekolah, Adam berinisiatif mengajak Alung dan Hanah naik perahu untuk memasuki perkampungan. Tak salah kalau mereka enggan percaya begitu saja pada kabar yang dibawa oleh Alung tentang kedatangan guru baru. Di perkampungan nelayan itu sudah lama tidak ada aktifitas sekolah.

Adam merasa perlu turun ke lapangan untuk memperkenalkan diri. Sebagai pendatang dia juga ingin menyapa warga Merayu. Tapi, apa yang dilihatnya saat ini tak sesuai harapan. Tidak satu pun dia melihat tanda kehidupan.

"Ke mana orang-orang? Sepi amat," gumam Adam, lesu.

Krieeet....

Terdengar derit panjang dari rumah lanting di samping mereka. Pintu reyot itu terbuka sendiri oleh dorongan angin. Adam saling menatap dengan Hanah. Jukung mereka kemudian merapat ke sana.

"Permisi! Apa ada orang di dalam?!" sapa Adam dengan suara keras, sedang mereka bertiga masih berada dalam jukung. Satu tangan Adam berpegangan pada tiang pelataran lanting itu. Menahan jukung agar tetap diam di tempat.

"Uhum!"

Terdengar suara berdeham dari dalam. Satu tangan putih pucat dengan jari-jari panjang dan kurus menyembul keluar dari pintu, meraba-raba kusen yang tak lagi berbentuk siku. Gerakannya kaku dan lambat. Layaknya orang pasca stroke. Adam menunggu dengan sabar.

Membelalak mata Adam saat tubuh penghuni rumah benar-benar telah keluar. Tampak seorang perempuan paruh baya hanya mengenakan kain jarik yang melilit pada dadanya. Sempoyongan perempuan itu melangkah, tanpa kepala. Darah beku kehitaman melumuri bagian leher, juga kain jarik yang dia pakai.

"Huwaaah!" Spontan Adam terpekik kaget. Tubuhnya limbung, hingga membentur sisi jukung.

"Ada apa, Pak Guru?" Hanah segera memegangi lengan Adam, yang nyaris jatuh ke air.

"I-itu...." Adam menunjuk, tanpa mengangkat wajah. Napasnya memburu.

"Itu apa?" Kening Hanah bertaut tak mengerti.

"Ayo, dayung yang cepat!, Alung!" desak Adam, sembari panik mengulurkan sampan, menjauhkan jukung dari pelataran lanting itu. Tapi, bocah gimbal bernama Alung hanya menatap cengo, tidak bergeming.

"Tenang dulu, Pak Guru! Pak Guru ini kenapa, sih?" lerai Hanah, menepuk pelan punggung lelaki di depannya.

Reaksi Hanah dan Alung yang tidak terpengaruh pada kepanikannya, membuat Adam diam tergemap. Urung tangannya mendayung sampan. Dengan perasaan tak keruan dia coba memberanikan diri menatap ke arah pintu lanting sekali lagi. Ternyata perempuan tanpa kepala sudah tidak terlihat di sana.

KABUT MERAYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang