#7 Ada Tali-talinya

279 65 2
                                    

Tubuh Adam kemudian membeku, melihat seekor buaya besar sedang merayap menutupi pintu masuk.  Dengan santai hewan yang tiga kali lipat lebih besar dari dirinya itu tiarap di sana, dengan mulut menganga lebar, memamerkan gigi-gigi yang tajam.

Belum apa-apa Adam sudah disuguhi pemandangan alam liar, rawa Kalimantan. Cari aman kakinya surut mundur lagi ke pelataran, mencari tempat terlindung.

Sehelai kain sprei dijemur melebar pada tali yang membentang. Merunduk-runduk tubuh jangkung Adam berusaha melewati bawah jemuran, supaya terhalang dari pandangan buaya raksasa yang pura-pura jaim itu.

"Hanah, Alung, kalian di mana? Di sini ada buaya, woy!" ujarnya sambil duduk jongkok memegangi kain sprei.

Bertambah gugup Adam, ketika dia mengintip, buaya imut yang tadi hampir terinjak sekarang sedang merayap ke arahnya.

"Hushh, pergi kamu!" desis Adam, sembari melempari buaya kecil dengan serpihan ranting.

Kalau tidak ada ibunya, mungkin buaya kecil itu sudah Adam tendang ke sungai sedari tadi. Biarpun mungil giginya runcing. Seumur-umur baru kali ini berhadapan buaya secara langsung.

"Eeehehe, eeehehehe...." Suara terkekeh yang aneh dari kejauhan.

Leher Adam memanjang mencari sumber suara. Berjarak puluhan meter dari bangunan tempatnya sekarang, tampak sebuah lanting bambu berukuran lebih mungil, terapung-apung sendirian di atas sungai. Suara terkekeh berasal dari dalam lanting itu.

Adam menyipitkan mata pada lubang kecil yang ada pada dinding lanting. Tampak sepasang mata mengintip. Orang itu sedang terkekeh menertawakan Adam. Suaranya serak seperti nenek-nenek.

"Asu!" dengkus Adam.

"Pak Guru, Pak Guru di mana?"

Adam mengenali suara lembut itu.

"Hanah, aku di sini! Awas hati-hati, ada buaya di depan pintu!" Khawatir gadis itu diserang buaya, Adam gegas keluar dari persembunyian.

"Pak Guru sedang apa?"

Hanah berdiri di depan pintu dengan tatapan heran. Rambut ekor kuda, wajah polos tanpa polesan, kaos kedodoran yang dipadu rok lebar membuat penampilan Hanah terlihat natural.

Beberapa detik pandangan Hanah tak beralih dari kepala Adam, lalu membuang muka saat mata mereka bertemu. Pipinya yang mulus kini tampak bersemu.

Celingukan Adam mencari keberadaan buaya besar yang tadi menghalangi pintu. Tapi, hewan berkulit tebal itu tidak tampak lagi.

"Ke mana dia? Tadi ada buaya besar di sini," tukas Adam, menunjuk tempat si buaya tadi tiarap.

"Buaya? Mungkin sudah turun ke air," sahut Hanah santai. Bertolak belakang dengan apa yang Adam perkirakan. "Lihat itu!" Tangannya menunjuk lurus ke tengah sungai.

Manik hitam Adam mengikuti tangan Hanah. Dia bisa melihat sebuah benda sedang bergerak perlahan menuju ke seberang sungai. Sekilas sangat mirip dengan sebatang bangkai pohon yang terbawa arus.

"Di tempat ini memang banyak buaya. Pak Guru tak perlu khawatir. Makanan mereka melimpah di sini. Mereka bukan buaya lapar, sebagian buaya-buaya itu ada pemiliknya."

"Apa? Ada orang pelihara buaya?!" Adam terperangah.

"Hum, sekarang sebaiknya kita sarapan, aku sudah memasak." Hanah dengan kikuk tergesa membalikkan badannya, melangkah lebih dahulu masuk ke dalam.

Sarapan? Ini yang dari tadi Adam tunggu-tunggu.  Dia berjalan mengekor di belakang Hanah. Tapi, terasa ada sesuatu yang menempel pada puncak pompadour.

KABUT MERAYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang