#10 Potongan Ilusi

248 49 0
                                    


Sungai di bawah bangunan sekolah terapung itu ternyata cukup dalam. Meski permukaannya tenang, ada arus di bawah. Sulur-sulur tumbuhan air yang menjuntai menghalangi pandangan. Sampai Adam kehabisan napas, Intan tidak berhasil dia temukan.

Saat tubuhnya akan naik ke permukaan demi mengambil napas, raut lelaki itu menegang. Pemandangan mengerikan lewat di depan matanya.

Satu potongan tubuh berupa lengan manusia melayang dalam air. Melintas terbawa arus hampir mengenai wajah Adam. Anehnya, meski berupa bangkai dengan kulit koyak yang telah memutih,  jari-jari itu bergerak-gerak layaknya tangan setan.

Adam berkelit, terus berenang ke atas. Namun, alangkah terkejut lelaki itu. Dia melihatnya lagi. Ternyata ada banyak bagian tubuh manusia dalam air. Bertebaran di mana-mana. Tangan, kaki, kepala, badan. Astaga! Terjun ke sungai bukannya menemukan Intan, tapi malah potongan-potongan mayat yang mengerikan.

Perut Adam seketika terasa diaduk. Nyaris saja dia menelan air busuk sungai. Kemunculan bocah gimbal dengan mimik yang datar bak malaikat penolong bagi Adam. Tubuh Alung meluncur gesit dalam air mendekati sang guru. Mendorong Adam naik ke atas dengan cepat.

"Huuufh...." Dengan rakus Adam menghirup udara, sebelum kemudian terburu menaiki selasar.

Beberapa detik dia hanya bisa berbaring telentang, sembari terbatuk-batuk sebelum mengatur napas yang terengah. Mata menatap langit, memikirkan pemandangan mengerikan yang dilihatnya di bawah. Ilusi lagi kah?

Lambungnya bergejolak lagi ingat betapa banyak bangkai dalam sungai. Lekas dia bangkit.

"Hoeeek...."  Sekonyong-konyong Adam memuntahkan isi perutnya ke air di bawah selasar.

Dia lalu termangu menelisik permukaan sungai yang tenang. Tidak terlihat apa-apa selain gulma hijau serta Enceng Gondok yang terapung-apung mengikuti gerakan air.

Suara berisik anak-anak, membuat Adam mengangkat kepala. Di sudut lain selasar Hanah tampak kewalahan memegangi tubuh mungil Intan yang sedang mengamuk. Anak perempuan itu terdengar menggeram. Beberapa anak yang lebih besar ikut membantu menahan tubuh Intan.

Adam membuang napas lega, mengetahui Intan sudah bersama yang lain. Terseok langkahnya mendekat. Ingin tahu penyebab Intan sampai meronta.

"Ada apa ini, Hanah? Intan kenapa?" tanyanya, menatap mereka satu per satu.

"Dia kesurupan, Pak Guru," sahut Likah cepat. Dia berdua dengan Galuh tampak memegangi sebelah kaki Intan yang terus berontak. Sebelah kaki lainnya dipegangi dua anak laki-laki.

"Apa? Kesurupan?" Mulut Adam langsung membulat setengah percaya. Dipindainya wajah polos Intan yang mulutnya menggeram dengan tatapan kosong pada langit-langit.

"Pak Guru sendiri, baik-baik sajakah?" Raut Hanah  meringis. Kedua tangannya memeluk erat tubuh Intan dari belakang.

"Ya, aku baik."

"Bisa bantu pegangi Intan, sebentar?"

"Bisa-bisa." Adam bersiap menggantikan posisi Hanah. Sepasang lengan kekarnya siap memeluk.

Tubuh mereka mau tak mau saling bergesekan. Hanah tak bisa melepaskan Intan, sampai Adam benar-benar merengkuh tubuh mungil Intan yang terus berontak.

"Haaa? Kenapa Kak Hanah yang dipeluk, Pak Guru?" protes Likah. Anak perempuan berkulit gelap itu menelengkan kepala.

"Aaahahaha...." Anak-anak lain tertawa berderai, menyaksikan Adam dan Hanah yang tampak kesulitan bertukar posisi. Alih-alih memegangi Intan, Adam malah memeluk Hanah.

"Maaf-maaf." Adam salah tingkah tak keruan.

"Eeergh!" Intan mendelik pada Adam, yang sekarang sudah memasungnya dengan kedua lengan.

KABUT MERAYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang