"Awaaaas!" Adam berteriak keras, sembari menunjuk.
Byurrr!
Bunyi gebyar air, saat tubuh itu jatuh.
Dengan paniknya Adam berlari cepat menghampiri. Beberapa orang yang tersisa hanya menatap termangu. Adam merunduk di tepi dek kapal. Tampak permukaan air yang beriak. Si nenek telah menghilang ditelan sungai yang dalam.
"Nenek yang tadi berdiri di sini jatuh," ujar pemuda itu, memberitahu orang-orang yang ikut mendekat sekedar ingin tahu.
Tergesa Adam melepaskan tas punggung. Dia harus segera terjun ke air, menolong si nenek edan.
"Siapa yang jatuh, Mas?" tanya salah satu penumpang, dengan raut tak percaya.
"Nenek-nenek, penumpang kapal juga. Saya titip tas ini sebentar!" sahut Adam cepat, menyerahkan tas punggung berukuran cukup besar pada pemuda ceking di dekatnya, lalu menghirup napas banyak-banyak, bersiap untuk melompat ke sungai.
"Nenek siapa?" celetuk pemuda kurus itu, dengan muka berkerut.
"Hey, mau apa kau?" Seorang lagi sigap memegangi tubuh Adam. "Jangan asal lompat anak muda! Kondisi sungai sekarang lagi pasang. Bisa-bisa dirimu yang cilaka," tukasnya lagi dengan logat Medan yang kental.
"Apa nenek itu mau kita biarkan mati?! Terlalu, di mana hati kalian?!" bentak Adam, meledakkan emosi pada orang-orang sekitarnya. Tak habis pikir, kenapa tidak ada yang peduli kalau seorang perempuan tua sedang dalam bahaya. "Lepaskan!" Dia berusaha berontak dari kekangan beberapa orang yang memegangi tubuhnya. Mumpung tak takut mati.
"Mas, dari saya naik kapal sampai seberang sini, tidak ada tuh liat nenek-nenek!" sela ibu berhijab ungu.
"Betul! Saya pastikan tidak ada penumpang yang sudah nenek-nenek. Saya awak kapal ini," imbuh lelaki berseragam rompi kuning, meyakinkan. "Tolong jangan buang waktu kami. Sudah waktunya kalian semua turun! Penumpang lain mau masuk. Kapal harus segera menyeberang lagi," tegasnya. Kapal penyeberangan itu sepertinya sedang kejar setoran.
"Tapi,tapi sumpah, Pak, barusan saya lihat sendiri nenek itu nyebur ke sungai." Adam masih bersikukuh.
"Sudahlah! Apa perlu kamu saya seret keluar?" dengkusnya kesal.
"Palingan yang kamu liat barusan hantu, Men!" ucap pemuda yang memegangi tas Adam, sembari mengembalikan benda itu ke dada pemiliknya dengan sedikit menyentak.
"Apa? Hantu?"
"Jangan heran, gerimis-gerimis kayak gini biasanya suka ada penampakan," celetuk yang lain.
"Astaghfirullah!" Muka Adam seketika pias, tak bisa berkata-kata lagi. Melintas dalam benak rupa si nenek konyol yang memang menakutkan. Kantong matanya besar menggelambir kehitaman. Tapi, kenapa cuma dia yang bisa melihat penampakan nenek itu?
Tungkai panjang Adam melangkah tergesa turun dari kapal bersama penumpang lain. Mereka berpapasan dengan penumpang baru yang sedang naik. Sepeda motor Honda GL100 plat merah milik Adam sudah lebih dahulu menunggu di bawah. Terparkir di antara motor lainnya.
****
Beberapa jam kemudian.
Kondisi jalanan becek dengan kontur tanah bergelombang. Air hujan yang terjebak pada cekungan menciptakan banyak kubangan. Nasib ban motor sudah tak keruan, belepotam lumpur. Begitu juga celana panjang Adam yang basah hingga ke paha tak luput dari cipratan lumpur. Tersendat-sendat laju motor, akibat harus menghindar dari ranjau kubangan.
Meski demikian, Adam bersyukur dalam hati. Setidaknya hujan sekarang telah reda. Menyisakan garis tipis gerimis yang jatuh satu-satu. Matahari sudah mulai mengintip dari singgasananya. Kiri dan kanan jalan berupa hamparan hijau sawah yang tergenangi air. Rumah-rumah panggung dari kayu yang dibangun menjorok ke tengah sawah, dari kejauhan tampak hanya sebesar kuku. Aroma petrikor menemani sepanjang perjalanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KABUT MERAYU
Misteri / ThrillerRibuan mil rela ditempuh demi sebuah panggilan tugas.