"Masih sakit?"
Dhafian menoleh mendapati pertanyaan dari Riza, remaja itu menggeleng.
"Lebih baik. Lagipula hanya luka kecil."
Kening Riza mengernyit, "luka kecil begitu bisa buat kamu kesakitan lho."
"Saya kuat." Kata Dhafian seraya menepuk dada bangga, tidak lupa tersenyum lebar.
Riza hanya tertawa pelan, enggan menanggapi lebih karena kawannya tampak cukup tidak berenergi setelah diobati. Dhafian mendapat dua jahitan di dahi akibat terkena ujung lancip kayu dari sapu yang patah.
Kini mereka tengah menunggu ibu Candani, alias ibu Dhafian mengurus administrasi. Di samping mereka terdapat wali kelas yang tengah menunggu pula.
Sehabis ini mereka akan kembali ke sekolah kecuali Dhafian, remaja itu perlu istirahat. Ibu Dhafian perlu ikut karena perlu membicarakan masalah yang melibatkan anaknya sampai terluka.
Dhafian melihat Riza yang nyaman bersandar pada dinding, temannya nampak sedikit lelah karena turut mengantarnya ke rumah sakit karena lukanya sudah diluar kemampuan petugas kesehatan sekolah.
"Terimakasih, Riz." Dhafian berucap pelan, nyaris berbisik.
Riza melirik sekejap, kemudian sebuah senyum manis terbit di wajahnya. Kekehan ringan turut keluar pula, "tak apa, Dhaf."
Dhafian yang melihat Riza tersenyum tanpa sadar turut tersenyum, temannya terlihat cukup manis dengan senyum tipisnya. Merasa cukup tenang dan senang melihat lengkung bibir itu naik keatas.
"Ayo, bunda sudah selesai."
Keduanya lantas mendongak, mendapati wanita cantik dengan gayanya yang seperti anak kuliahan. Fariza sempat salah mengira kalau wanita itu adalah kakak perempuan Dhafian, ternyata dia ibunda Dhafian.
Penampilannya benar-benar menipu siapapun, wanita dengan surai hitam pendek dalam balutan kemeja hijau dengan luaran jaket jeans dan celana jeans panjang benar-benar membuat orang-orang mengira wanita itu masih kuliah, belum lagi wajahnya yang hanya miliki sedikit keriput.
Gayanya benar-benar berlawan dengan gaya ibunya yang selalu tampak kalem dalam balutan dress ataupun rok dengan motif bunga favorit sang ibu.
"Hm," Dhafian berdehem membalas ajakan sang ibunda. Remaja itu langsung mengikuti bunda yang berjalan menghampiri wali kelas yang sama tengah berdiri agak jauh dari Dhafian.
"Terimakasih sudah membawa anak saya ke rumah sakit, Bu." Wanita itu tersenyum ramah, lalu wali kelas Dhafian mengangguk dengan senyum yang sama ramahnya.
"Tentu, Bu Candani."
Perempuan muda yang berprofesi sebagai guru itu menatap bunda Dhafian, "ayo kembali ke sekolah? Ibu Candani perlu membicarakan masalah ini dengan wali murid lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara, Sungjake.
FanfictionAsmara yang menggelora dikala remaja, mengalahkan norma dan aturan yang ada. ©parkssims, 2022.