"Hati-hati Dhaf,"
Dhafian menoleh menatap wajah Riza yang nampak sedikit kusut karena belum mandi. Bahkan seragam sekolah itu masih dikenakan dengan walau tak beraturan.
Dhafian terkekeh, "iya, Riz." Menggapai bahu itu untuk ditepuk, "terimakasih makan malamnya, bilang pada ibu kalau masakannya itu sangat enak, haha!"
"Tentu, akan saya sampaikan." Balas Riza dengan senyum miringnya. Dhafian turut tersenyum dibuatnya.
"Yasudah, terimakasih sekali lagi."
Kemudian motor itu dinyalakan, remaja kelahiran Desember itu melambai pada Riza sebentar sebelum menjalankan motor untuk kembali ke rumah.
Riza menatap kepergian sang kawan dengan suara motornya yang cukup bising. Menutup pagar kala motor itu tak lagi terlihat dalam penglihatannya, masuk ke dalam rumah dengan senyum manis yang terlukis di wajah kusutnya.
Menyenangkan. Batinnya kini terus berkata demikian.
Kaki jenjangnya menapaki anak tangga untuk sampai di kamarnya, tak menyadari bahwa atensi sang kakak tengah menatapnya selepas mengantar kepulangan Dhafian.
Dari meja makan, Juna menatap adik bungsunya yang nampak terus tersenyum tanpa henti. Mengartikannya bahwasanya si adik tengah dalam perasaan bahagia selepas bercengkrama dengan kawan sebayanya. Berusaha menepis pikiran lain yang menganggu pikirannya tentang adik kecilnya.
Pemuda itu menggeleng pelan, "Iza sepertinya senang sekali ada teman yang berkunjung ya, Bu." Katanya pada sang ibu yang tengah mencuci piring.
Sang ibu tertawa pelan, "ibu senang waktu dengar Riza tertawa kencang tadi." Ungkap ibu. "Sudah lama dia tidak seperti itu." Ibu mengusap peluh yang keluar dari dahi.
Si sulung hanya terkekeh akan perkataan sang ibu, sedikit membenarkan bahwa adik bungsunya memang jarang terdengar tertawa atau bercerita banyak mengenai harinya selama ini. "Ibu, benar..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara, Sungjake.
Hayran KurguAsmara yang menggelora dikala remaja, mengalahkan norma dan aturan yang ada. ©parkssims, 2022.