"Sore, kucing."
"Hum?"
Riza duduk disana dengan wajah bingungnya, dia baru terbangun selepas mendengar suara bising tukang es krim yang tengah berkeliling.
"Dirimu, kucing."
"Iya?"
Dhafian mau melempar kacang goreng miliknya sekarang, sebab wajah yang seolah mengatakan, "saya tidak mengerti maksud kamu." Terpampang dengan jelas dengan mata berair serta wajah bingung sebagai tambahan.
"Dirimu mengerti tidak? Kalau dirimu itu persis layaknya kucing." Diberi penjelasan tambahan agar mengerti, efek bangun tidur yang membuatnya dalam keadaan sadar tidak sadar dan tidak menangkap apa yang dikatakan.
"Kenapa?"
"Kamu terlalu banyak tidur!"
Kepalanya digaruk, dengan ekspresinya yang tadi, menengok kearah jam dinding untuk menyadari betapa banyak waktu yang ia habiskan untuk tidur.
Oke, lama.
"Pergilah mandi, Riza. Di atas ada pakaian dari Mas mu,"
Wajahnya kini tampak terkejut, "Mas tadi kemari? Kenapa saya tidak dibangunkan?" Namun wajahnya yang menahan kantuk tetap disana, selepas mengatakan itu Riza menguap lebar seolah masih merasakan beratnya kantuk.
"Tante tadi menghubungi kami, beliau berkata bahwa memiliki perjalanan dinas dari kantor selama satu minggu, beliau juga bilang mas Juna mungkin bakal lebih sering lembur."
Kepala Riza dibuat berdenyut mendengar kabar mendadak dari ibunya, "ibu berkata demikian?" Riza bayangkan siang dan malam yang panjang penuh sepi tak mengenakkan, itu mencekiknya.
"Dia berkata demikian, sayang." Bunda menyahut, wanita dengan balutan dress bunga-bunga dan wanginya yang menyegarkan mengetuk indera penciuman Riza dan membuatnya menjadi lebih rileks dan tenang. "Dan meminta kita untuk menitipkan kamu sementara waktu sampai Kumala selesai dengan dinasnya." Mendudukkan dirinya tepat di samping Riza dan memegang bahu si remaja erat. "Mau ya, anak manis?"
"Panas?"
"Lumayan,"
"Kota yang sesak."
"Benar."
Malam yang tenang, cuaca yang lumayan menyesakkan, dengan sorak-sorai jangkrik yang jadi kawan. Mereka disana, santap heningnya malam seraya mendinginkan suhu tubuh yang meningkat ketika di dalam rumah, pendingin ruangan yang rusak, dan kipas yang tak membantu.
Teras rumah dengan pagar putih besarnya, diletakkannya banyak macam tanaman sebagai hiasan, serta aquarium kecil berisi ikan-ikan yang terperangkap di dekat tanaman sebagai teman tanaman.
Dhafian hirup udara malam yang lebih menyegarkan, Fariza disana mengipasi dirinya dengan selembar koran yang dilipat beberapa bagian. Si anak pemilik rumah menoleh, wajah anak itu nampak sedikit memerah terutama lehernya yang nampak memerah serta mengeluarkan keringat.
Dhafian dekatkan jarak, tangan besarnya menopang dagunya di meja sebelahnya untuk melihat orang di seberangnya. "Fariza."
Meja kayu yang dihimpit dua remaja yang duduk disana jadi penengah diantara keduanya, pisahkan mereka dalam jarak yang dekat.
Kawannya itu menoleh sebagai refleks kala namanya digaungkan, "Ya—"
Retina yang saling bertemu pandangan membuat mereka diam untuk beberapa saat, entah mengapa, seolah terkunci disana, tak bisa lepas seolah terbelenggu, satu sama lain.
Sejak kapan itu begitu berkilauan?
Remang cahaya rembulan serta redupnya cahaya lampu teras buatnya kian berkilau, waktu yang terus berlalu dengan cepat seolah-olah terhenti bagi mereka, seakan dunia berpusat pada mereka untuk waktu ini.
Apa yang kamu pikirkan di sana?
Terhipnotis, terpusat satu sama lainnya, terbelenggu dengan amat kuat, Dhafian kuat pikirkan, "dirimu sebetulnya dari khayangan, 'kan?" Dan terhempas begitu saja tanpa alam kesadarannya ketahui.
Bratadikara muda terdiam atas perkataannya sendiri, dia tak bermaksud, itu terhempas begitu saja, bukannya perkataannya cuma sampai di pikiran dan hati? Sejak kapan mulutnya ikut berbicara perkataan hatinya?
"Ah! Maksud saya, itu— aduh, apa..." Seolah dimakan oleh ucapannya sendiri, Dhafian kelabakan bak baru saja dituduh menghisap linting rokok. "Anu, oh— bulan-nya dari khayangan, ya?! Cantik sekali, haha!"
Fariza sudah berhenti mengipasi dirinya sendiri sejak tadi, rasanya kian memanas di sini, padahal sedari tadi ia mendengar daun-daun saling bergesekan sebab ditiup oleh angin. Rasanya panasnya kota Jakarta habis menelannya sampai ia bisa merasakan bulir keringatnya tengah melalui kulit lehernya.
Fariza tak balas tiap kata yang diucapkan sang teman, ia mendadak menjadi seorang bisu yang kehilangan kemampuan berbicaranya. Lidahnya begitu kelu untuk itu, tak mampu.
Diam ditelan rasa malu, kikuk dan canggung menggerogoti mereka dengan cepat, rasanya malu membuat mereka ingin melarikan diri saat itu juga.
Sampai dimana, keduanya mendadak bangkit, Fariza dan Dhafian berlari secara tiba-tiba, seolah berlomba siapa yang sampai duluan dia yang menang.
Dan sampailah,
"Aduh!"
Dhafian mengerang.
Bunyi dua tubuh yang saling bertubrukan dengan pintu kayu, dan pintu kayu yang terdengar nyaris rubuh ditubruk oleh keduanya.
Bunda tepat di sofa menonton siaran televisi yang sedang berlangsung, dibuat melompat dan melongo melihat dua anak bungsunya tersangkut di pintu. Bunda tak bisa merespon saking terkejutnya dengan suara ricuh yang diciptakan keduanya.
Fariza awalnya meringis untuk beberapa waktu, namun seiring terdiamnya mereka, dia tiba-tiba merasa tergelitik dengan kejadian ini, dia terkekeh cukup pelan, Dhafian dapat mendengarnya, dia terheran untuk yang pertama, namun setelah dipikir kejadian ini lucu juga.
Mereka berdua tertawa dengan lepas, kejadian konyol ini terjadi atas kebodohan mereka yang mendadak seperti orang kehilangan akal saat menerjang pintu masuk secara bersamaan.
Bunda disana masih dibuat heran, dia hanya menggelengkan kepalanya untuk itu, "masuk perlahan-lahan, apa yang mengejar kalian sampai tersangkut di pintu seperti itu, hum?"
sorry, ga kuat ngetik panjang....
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara, Sungjake.
FanfictionAsmara yang menggelora dikala remaja, mengalahkan norma dan aturan yang ada. ©parkssims, 2022.