Tujuh

166 12 0
                                    

Pilu menyeruak dalam dada, membuat tangis Fatimah tak terbendung lagi. Kondisi ini dirasakannya seolah ingin menjauhkan dirinya dengan Allah. Ia kini menyadari betapa luar biasa sekali nikmat sehat itu. Fatimah ingin kembali menikmati gerakan salat dengan penuh rasa syukur. Apalagi merasakan nikmatnya sujud, yang merupakan saat terdekat Allah dengan hamba-Nya.

“Ma, Umma harus selalu bersabar, berbaik sangka pada Allah. Salat semampu gerakan saja, tidak apa-apa. Allah memberi keringanan pada hambanya yang sedang sakit.” Alif merengkuh Fatimah ke dalam pelukannya. Ia berusaha membesarkan hati sang istri.

Fatimah terus menangis. Ia merasakan malaikat maut semakin mendekat. Seperti ingin mengambil nyawanya saat ini juga.

“Abi ... maafkan kesalahan Umma selama ini. Aku mohon Abi ridho dengan kesalahan Umma pada Abi. Maafkan Umma, Bi,” tutur Fatimah sembari terisak pilu.

Alif semakin mengeratkan pelukan. Hal tersebut semakin membuat Fatimah mengingat dosa-dosanya kepada sang suami.

“Ya Allah, Abi. Kenapa Allah menguji diriku saat rumah tangga kita udah menemukan makna sakinah, mawadah, dan rahmah sesungguhnya?” Fatimah semakin tergugu. Awal-awal pernikahan hingga pertengahan, rumah tangganya bisa dikatakan melalui banyak ujian. Saat dirasa pernikahannya sudah harmonis, Fatimah malah mendapatkan ujian dengan sakitnya.

***

Di luar, langit sudah cerah. Alif pamit untuk membelikan Fatimah buah di pasar. Sang istri masih tetap di kamar, duduk bersandar pada dinding.

"Bi, tolong panggilkan Anisa dan Anida, ya.”

Alif mengangguk sambil tersenyum manis. Tak berapa lama, dua putri kebanggaan mereka datang.

“Ada apa, Umma?” tanya Anisa.

“Sini, tutup pintunya. Umma mau cerita.”

Mereka terlihat semringah mendengar sang ibu ingin bercerita. Dalam pikiran mereka, Fatimah akan menceritakan tentang kisah nabi.

Fatimah merangkul kedua putrinya di kedua sisi. “Kakak Anisa sama Adik Anida, kalian harus saling sayang, ya. Dokter bilang, Umma sakit agak parah. Kita semua hamba Allah, kan, Nak. Kita semua akan meninggal. Kalau ini misalnya, misalnya, ya. Umma dulu yang meninggal, Anisa sama Anida jangan sedih, ya. Nangis boleh tapi nggak boleh berlebihan. Nggak boleh lama-lama. Kalian harus kuat. Kembali lagi karena ini takdir Allah.”

Anisa dan Anida tersentak. Ibu mereka berkata tentang kematian. Mereka sontak berseru.

“Umma! Jangan tinggalkan kami.” Anisa dan Anida serempak memeluk Fatimah. Tangis mereka pun pecah.

Fatimah menarik napas panjang. Ia berusaha menahan diri agar tidak ikut menangis. Bagaimanapun, sebagai ibu, dirinya harus menguatkan mereka.

“Umma minta maaf kalau selama ini Umma sering marah, bentak-bentak kalau kalian lagi bandel. Umma minta maaf. Jangan sedih, Sayang. Kita nggak tau umur kita sampai kapan. Kita nggak tau kapan kita dipanggil Allah. Bisa jadi Umma dulu, bisa jadi Anisa atau Anida dulu. Tidak selalu yang tua yang meninggal dulu.”

Fatimah merasakan pelukan mereka semakin erat. Isakan pun masih terdengar dari bibir mungil itu. Ia lalu mengecup pucuk kepala kedua putrinya bergantian.

“Kalian terus selesaikan hafalan Al-Qur’an kalian ya, dijaga terus hafalannya. Jangan lupa untuk selalu mendoakan Umma, Abi, Akung, Uti, dan semuanya. Dunia itu hanya sebentar. Insya Allah kita akan berkumpul di surga Allah kalau kita rajin ibadah. Di surga enak, Nak. Kita pengen apa aja ada. Di sana tidak ada kesedihan, yang ada bahagia selalu.”

Tangisan anak-anak semakin terdengar menyayat hati. Mereka tentu tidak ingin kehilangan ibunya dalam waktu dekat. Mereka berharap keluarganya diberikan umur panjang.

“Kakak Anisa, adeknya ada empat, loh. Anida, Afwi, Afwa, dan Adin. Saling sayang sampai kalian dewasa, hingga mati harus saling sayang. Anida juga gitu, punya kakak dan adek harus saling sayang hingga kapanpun. Sekarang jangan sedih. Doakan Umma cepat sehat, jangan nangis lagi. Umma masih hidup. Ayo semangat ngaji sama Umma. Juz Amma aja nggak apa-apa.”

Tangis anak-anak mulai mereda. Mereka segera melakukan perintah Fatimah. Mengulang hafalan juz amma membuat mereka kembali terlihat ceria. Fatimah bersyukur Anisa sudah mampu menghafal tujuh juz, sedangkan Anida delapan juz.

Ya Allah, jadikanlah mereka penerang akhiratku. Maka nikmat tuhanmu yang mana yang aku dustakan? Masyaallah, semoga sakit ini berganti nikmat dari Allah.

***

Pukul delapan pagi, Fatimah kembali ke rumah Pak Salim untuk ruqyah dan bekam. Prosesnya masih tetap sama. Saat dibacakan surat Al Falaq, Ia seperti melihat dari lensa mikroskop tentang sebuah gambar berwarna hijau lemon seperti kemarin. Akan tetapi, kali ini ada cahaya terang serta garis tipis merah seperti darah di dalamnya. Tiba-tiba, di tengah gambar itu muncul gumpalan hitam.

Fatimah mendengar Pak Salim berkata, “Wahai hamba Allah bertaubatlah pada Allah. Wahai jin, wahai kanker, jangan kau menyakiti jasad ini. Mohonlah ampun pada Allah karena jasad ini pun sudah memohon ampun pada Allah.”

Ayat ruqyah terus dibacakan sambil disisipi nasihat untuk bertaubat kepada Allah.

“Keluarlah kalian jin, kanker, tempat kalian bukan di tubuh ini.”

Fatimah meihat gumpalan hitam semakin membesar saat dibacakan ayat ruqyah. Ia seolah sedang marah kepada dirinya. Hal itu terlihat meskipun tidak ada mata yang bisa memancarkan amarah. Air mata Fatimah tanpa disadari telah jatuh. Ia merasa diancam oleh gumpalan hitam itu. Fatimah merasa ketakutan hingga badannya pun ikut gemetar.

Pukul sembilan, ruqyah selesai dilaksanakan. Tak lama kemudian, tim bekam datang. Sebelum memulai prosesnya, Fatimah diberi minum air zamzam oleh Pak Salim. Beliau terus mengusap punggung sang anak.

“Wahai jin, wahai kanker, wahai hamba Allah yang ada di tubuh Fatimah, segera keluar kalian lewat darah bekam.”

Proses bekam yang dilaksanakan pun berlangsung dengan lancar. Darah pada orang sehat, teksturnya akan encer dan berwarna merah segar. Namun, untuk orang yang sedang sakit, darah agak kental dan berwarna merah pucat.

Namun, ada yang sedikit aneh untuk darah bekam Fatimah. Tekstur cairan sangat kental seperti jeli. Warna darah pun tidak merah, tetapi cenderung berwarna hitam. Bahkan, ditemukan seperti serpihan pasir pantai pada darahnya.

“Kenapa bisa ada pasir?” Tim Bekam juga heran.

Akhirnya, proses bekam selesai. Fatimah menemui semua keluarga yang datang untuk memberi dukungan moril, sebelum kembali ke rumah mertua.

Malam harinya, Pak Salim mengabarkan informasi yang baru saja dikirim tim bekam melalui pesan WhatsApp. Beliau menjelaskan, jika setiap selesai bekam—sesampainya di rumah mereka—tim akan mencuci peralatan dengan larutan khusus yang bisa membunuh bakteri penyakit. Saat alat-alat dimasukkan, gelas akan menjadi bersih dan cairan tetap bening.

Namun, kembali ada yang aneh dengan bekas darah Fatimah. Cairan untuk mencuci berubah menjadi keruh. Bahkan, terdapat minyak berwarna perak mengilat pada permukaan cairan. Saat cairan dibuang, di dasar baskom terdapat gumpalan hitam sebesar jempol, yang lengket seperti aspal.

“Astagfirullah, kok bisa gitu, Yah.” Bulu kuduk Fatimah meremang saat Pak Salim bercerita melalui sambungan telepon.

Dibalik berbagai keanehan dengan hasil bekam tadi, malam ini Fatimah merasakan nyeri pada payudaranya berkurang sedikit meskipun benjolan masih besar dan keras.

SANTET KIRIMAN TETANGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang