Empat

227 10 2
                                    

17 Oktober 2019

Hampir sepanjang malam Fatimah terjaga di atas kasur menikmati rasa sakit yang semakin menjadi. Ia hanya beranjak untuk salat Subuh, kemudian kembali ke tempat tidur lagi. Fatimah hanya berbaring saja.

Pukul enam pagi, Fatimah dikejutkan dengan kedatangan Pak Salim dan Bu Nining, kedua orang tuanya. Tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu lewat ponsel.

Bu Nining mendekat ke Fatimah. Raut beliau terlihat jelas tengah didera rasa khawatir. Beliau lalu memegang kedua tangan sang anak.

“Fatimah, ibu mohon, kita ketemu dokter bedah ya, Nak.”

Fatmah menautkan kedua alis. Ia sedari kedatangan orang tuanya mencoba menyembunyikan rasa sakit. “Nggak perlu khawatir, Bu. Ini cuma tumor biasa, kan.”

Fatimah tetap bersikukuh tidak ingin bertemu dokter bedah. Namun, orang tua dan suaminya tetap memaksa.

“Kali ini aja, Nak. Setelah dapat penjelasan dari dokter, baru diputuskan ke depannya bagaimana.” Pak Salim mencoba menasihati putrinya.

Akhirnya, Fatimah pun luluh. Bisa jadi dengan penanganan sejak dini, tumor itu bisa segera lenyap.

***

Bersama kedua orang tuanya, Fatimah berangkat ke rumah sakit tempat USG kemarin. Karena tidak datang lebih awal seperti kemarin, ia pun mendapatkan antrean belakang. Giliran untuk masuk masih sangat lama.

“Bu, minta hasil USG kemarin, ya. Ibu bawa ‘kan?” tanya Fatimah yang mulai bosan menunggu. Apalagi rasa sakit masih sering datang. Terutama jika hanya duduk tanpa aktivitas yang lain seperti itu. Fatimah pun berinisiatif menunggu waktu periksa dengan mencari pengertian dari kesimpulan USG lewat mesin pencarian di internet.

“Buat apa?” tanya Bu Nining dengan alis bertaut.

“Pingin baca aja, Bu.” Fatimah sedikit heran dengan reaksi sang ibu. Bu Nining seperti cemas jika hasil USG itu berada ditangannya.

Fatimah meraih lembaran dari tangan wanita yang sangat disayanginya itu. Ia segera membuka mesin pencarian. Fatimah memasukkan kata kunci ‘Suspiciouso of malignancy mammae dextra (BI-RADS C 4)’.

Sesak dirasakan memenuhi rongga dada oleh Fatimah begitu hasil muncul di layar. Ia tidak sanggup lagi membaca penjelasan seluruhnya. Bahunya terguncang. Satu kata yang muncul membuat air matanya tumpah seketika.

“Kenapa, Nak?” tanya Bu Nining bingung.

“Kan-kanker?” Fatimah menggelengkan kepala sekuat tenaga. “Ini pasti mimpi, benar ini hanya mimpi, Bu.”

Fatimah lalu mencubit pipinya. Sakit!

“Nak, ini ujian. Insyaallah kamu kuat, Nak.” Bu Nining memeluk Fatimah dengan erat.

Fatimah hanya bisa tergugu dalam dekapan sang ibunda. Pak Salim pun merasa sedih. Beliau lalu mengusap punggung Fatimah.

Pikiran Fatimah seketika berkecamuk. Bayangan wajah Anisa, Anida, Afwa, Afwi, dan si bungsu Adin membuat tangisannya terdengar semakin menyayat hati.

“Nak, kita tunggu penjelasan dokter dulu, ya.” Pak Salim mencoba menguatkan Fatimah.

Fatimah mengusap air matanya. Ia lalu meregangkan pelukan dan menegakkan tubuh.

“Ibu sama Ayah udah tau aku kena kanker, ya?” tanya Fatimah dengan air mata yang masih keluar.

Bu Nining mengangguk pelan. “Ibu semalam ngirim hasil USG ke Ardi.”

Fatimah manggut-manggut. Ardi adalah sepupunya yang berprofesi sebagai dokter di Ponorogo.

“Ardi bilang seperti yang kamu baca di internet,” imbuh Bu Nining seraya menggenggam tangan Fatimah dengan erat. “Kalau Ayah baru ibu beritahu waktu perjalanan ke rumah mertuamu.”

Pipi Bu Nining pun bersimbah air mata. Beliau tidak sampai hati mengabarkan secara langsung hasil dari USG tersebut. Biarlah dokter bedah yang lebih memiliki kapasitas dalam bidang tersebut yang mendiagnosis.

***

Antrean berakhir saat menjelang Zuhur. Giliran Fatimah kini yang masuk ke ruangan dokter bedah. Dalam bayangannya, ia akan diperiksa dengan proses yang lama. Namun, dokter laki-laki paruh baya itu hanya memegang kedua payudara Fatimah dengan agak menekannya. Itu pun hanya sekejap saja.

“Silakan duduk dulu, Ibu. Saya akan menjelaskan.”

Fatimah mengikuti perintah dokter untuk menyimak penjelasannya. Hatinya sudah hancur sedari tadi. Dalam pikiran Fatimah, penjelasan dokter mungkin bisa lebih mengerikan. Semisal saja, tentang harapan hidup yang tinggal sebentar lagi.

“Bu, jika benjolan bisa bergerak itu tandanya masih jinak. Kalau sudah mengeras dan membesar seperti ini, sudah sangat berbahaya. Ini sudah masuk kanker stadium lanjut, Bu.”

Fatimah menghela napas panjang untuk mencerna setiap kata yang diucapkan dokter. Tidak ada lagi air mata yang keluar.  Sepertinya sudah habis saat masih di ruang tunggu tadi.

“Andai saja masih stadium satu atau dua, masih bisa dipotong total. Namun, kalau sudah lanjut percuma tidak bisa diangkat. Solusinya hanya kemoterapi.” Pak Dokter menghela napas pelan sebelum melanjutkan penjelasannya.

“Bu, ini prosesnya masih sangat panjang sekali. Ibu masih harus USG toraks, abdomen, radiasi, kemoterapi, dan masih banyak sekali. Itu pun harus kami rujuk ke Rumah Sakit Provinsi karena di sini peralatannya belum memadai. Sekarang, Ibu saya beri obat penenang karena sakitnya luar biasa sekali. Setelah ini, Ibu ke Laboratorium Patologi Anantomi untuk memastikan stadiumnya. Hasilnya nanti Senin dibawa ke sini lagi ya, Bu.”

Fatimah mengangguk pelan. Ia bingung tentang apa yang harus dilakukan untuk sisa usianya ini. Pandangannya jatuh pada lembaran hasil USG. Dada Fatimah terasa semakin sesak.

“Oh ya, Bu. Saya sarankan Ibu segera mengurus BPJS. Karena biaya tindakan untuk pasien kanker sangat mahal sekali jika lewat jalur umum. Tanpa BPJS nggak akan sanggup, Bu.”

Sekali lagi, Fatimah menganggukkan kepala tanpa ada satu kata pun terucap. Semua sudah terjadi. Mau tidak mau dirinya harus menerima takdir yang mengguncang batin itu.

Fatimah dan kedua orangtuanya pun segera undur diri dari ruang dokter. Bu Nining menuju ke lorong sebelah kanan untuk menebus obat. Sedangkan Fatimah dan Pak Salim berjalan melewati lorong sebelah kiri untuk menuju Laboratorium Patologi Anatomi.

Sesampainya di sana, ternyata dokter sudah pulang.. Petugas menjanjikan akan menghubungi esok hari. Mereka pun menuju tempat Bu Nining berada, di loket obat.

Sepanjang jalan di lorong, pikiran Fatimah berkecamuk. Wajah anak-anak tak hentinya melintas di benaknya.

“Yah.” Fatimah menarik napas panjang. “Ayo pulang aja. Aku nggak mau menghabiskan sisa umurku di rumah sakit.”

Pak Salim terkejut mendengar ucapan Fatimah barusan. Beliau mengusap punggung putri tercintanya itu.

“Istighfar selalu, Nak.”

Fatimah mengangguk pelan. Ia berharap semoga keputusan yang diambilnya adalah yang terbaik.

SANTET KIRIMAN TETANGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang