Sembilan

161 9 4
                                    


21 Oktober 2019

Siang ini, Fatimah bersama kedua orang tuanya, Alif, dan juga anak-anak, berangkat ke tempat terapi PAZ. Sesampainya di sana, mereka disambut dengan penuh keramahan oleh sepasang suami istri dengan penampilan syar'i. Mereka berdua adalah terapisnya.

Anak-anak dan kedua orang tua Fatimah tidak ikut menemani, hanya mengantarkan saja. Mereka mencari hiburan di luar selama proses terapi.

"Silakan masuk, Bu, Pak," ucap Bu Sarah, terapis perempuan. Beliau mulai mempersilakan Fatimah untuk berbaring. Bu Sarah mulai menganalisis kondisi Fatimah. Sesekali beliau keluar ruangan untuk memberitahukan tentang kondisi tubuh Fatimah ke suaminya.

"Abi, Ummi nggak bisa nangani Bu Fatimah sendiri. Tolong bantu, ya, Bi." Bu Sarah keluar menemui suaminya.

Fatimah mendengar hal tersebut. Ia lalu memberi isyarat ucapan tanpa suara kepada Alif agar mengizinkannya ditangani Pak Ismail—suami Bu Sarah. Alif pun mengizinkan untuk beliau ikut menangani istrinya.

Dalam terapi PAZ, pedomannya adalah kerangka tubuh manusia. Tubuh harus lurus, tidak boleh ada yang terpelintir agar peredaran darah lancar. Apabila peredaran darah lancar, Insya Allah tidak akan ada penyakit macam-macam.

"Bismillah, ya, Bu. Biidznillah (Atas Izin Allah) sembuh. Insyaallah atas izin allah akan sembuh. Ada pasien yang lebih parah dari Ibu, alhamdulillah sembuh."

Semangat Fatimah untuk segera sehat semakin memuncak setelah mendengar ucapan Pak Ismail. Terapi pun dimulai. Fatimah diminta berbaring menghadap ke kanan kemudian kaki disilangkan. Tangan juga menyilang dan diletakkan di belakang kepala. Dagu menempel di leher.

"Ayo sekarang Ibu balik badan ke kiri. Kaki menjepit kaki saya, ya, Bu. Bapak, tolong pinggang Ibu dipijit dengan gerakan seperti mencuci baju, seperti yang saya ajarkan tadi." Pak Ismail memberi arahan kepada Alif dan Fatimah.

Ah, gampang, cuma balik badan aja, gumam Fatimah dalam hati.

"Bismillah, dimulai ya, Bu. Hitungan ketiga langsung balik badan. Satu, dua, tiga."

Fatimah tersentak, rasanya sulit sekali hanya untuk membalikkan badan. Ia malah merasakan seolah sedang akan melahirkan. Rasanya seperti sudah bukaan lengkap, tetapi bayi tak kunjung keluar.

"Ayo, Bu. Tambah lagi tenaganya. Dorongan tenaga Ibu berpengaruh besar terhadap keberhasilan terapi."

Fatimah mencoba mengerahkan semua tenaganya. Akhirnya, ia bisa membalikkan tubuh.

Fatimah lalu meraba payudara. Matanya membeliak kaget. Benjolan yang tadinya keras seolah mau meledak, sekarang berganti tekstur menjadi empuk. Seakan ada angin segar untuk kesembuhan atas penyakit ini.

Selesai terapi, Fatimah dilatih untuk membuat gerakan 'engklek', yaitu kaki sebelah kiri atau kanan diangkat, lalu lompat dengan satu kaki. Hal ini dimaksudkan sebagai penyeimbang peredaran darah. Tugas untuk di rumah juga diberikan. Setiap selesai salat lima waktu, Fatimah harus 'engklek'.

Terapi selama dua jam yang terasa cepat akhirnya usai juga. Pak Salim, Bu Nining, dan anak-anak sudah datang menjemput di rumah terapi. Mereka pun segera pulang ke rumah Pak Salim.

***

Sesampainya di rumah, Fatimah kembali menjalani proses ruqyah bersama Pak Salim. Ayat yang dibacakan pun masih sama, begitu juga dengan ramuan yang diminum. Seperti biasanya, ia mulai memejamkan mata. Gambaran molekul itu datang lagi dengan latar yang sama, hijau lemon.

"Jika kalian datang karena ada yang menyuruh, kembalilah pada yang menyuruh kalian. Ajak yang menyuruh bertaubat kepada Allah. Karena Fatimah, yang punya jasad ini sudah bertaubat. Keluarlah kalian lewat mana saja yang mudah bagi kalian asal jangan sakiti jasad ini.Wahai kanker, wahai jin, wahai hamba Allah, keluarlah ...."

Tiba-tiba Fatimah kehadiran 'mereka', meskipun tidak terlihat bentuknya. Seolah ia merasakan banyak makhluk berbentuk minions kecil-kecil disekitar dengan jumlah yang sangat banyak.

Pak Salim terus membacakan ayat ruqyah. "Wahai kanker, wahai jin, sembuhlah kalian atas izin Allah. Biidznillah, keluarlah kalian." Beliau pun terus memberi nasihat.

Fatimah kembali merasakan minions tersebut saling berdesakan seperti anak kecil berebut main papan perosotan. Masing-masing berusaha untuk ingin lebih dahulu berseluncur.

"Ayo segera keluar sendiri-sendiri atau bareng-bareng, cari jalan yang mudah dan tidak menyakiti bagi kalian," ucap Pak Salim.

Fatimah merasakan perutnya bergejolak. Ia ingin memuntahkan isi perut. 

"Huwek!"

Begitu seterusnya Sekali muntah, Fatimah merasakan minion itu keluar satu. Muntah lagi keluar satu lagi. Bukan muntah makanan yang dikeluaran, tetapi hanya buih saja.

"Ayo keluar sendiri atau barengan, terserah kalian." Pak Salim kembali memerintah.

Fatimah muntah lagi dan merasakan juga cairan hangat keluar dari bagian bawah tubuhnya. Fatimah terkencing tanpa sadar. Semua rasanya tidak bisa ditahan, terus mengalir tanpa henti. Seperti ada lima galon air yang keluar dari kandung kemihnya.

Ini air dari mana, ya, Allah? Fatimah dibuat bertanya-tanya. Ia masih ingat betul, air yang diminumnya tidak sebanyak ini. Allahu akbar!

Proses ruqyah akhirnya selesai. "Ada yang berbeda kali kan, Nak?"

Fatimah merasa heran dengan sikap sang Ayah yang seolah mengerti tentang apa yang dirasakannya tadi. Ia pun mengangguk.

"Mereka banyak sekali, Yah."

"Wallahua'lam, Ayah nggak tahu kalau tadi kamu lagi sama mereka."


Selepas itu Fatimah langsung bergegas mandi. Ia terkejut saat membuka baju. Payudaranya kembali mengempis. Hanya tersisa benjolan di sebelah puting yang memang masih terasa sakit.

SANTET KIRIMAN TETANGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang