Satu

387 12 0
                                    


Fatimah tidak menyadari, jika keputusannya bersama Alif untuk membeli rumah di salah satu perumahan di tepi kota membawanya mendapatkan petaka. Mereka dan anak-anak bahkan betah tinggal di sana. Apalagi Anisa dan Anida putri sulung dan kedua, sangat senang berada di lingkungan itu. Pergaulan mereka tidak dibatasi meskipun pendidikan yang dipilih adalah home schooling, berbeda dengan teman-teman satu komplek.

Anisa berusia sebelas tahun sedangkan Anida sembilan tahun. Mereka mendapatkan banyak teman sebaya di lingkungan tersebut. Sebagai ibu, Fatimah pun sangat bersyukur melihat anak-anaknya mampu berinteraksi dengan sangat baik di lingkungan rumah. Meski begitu, mereka tetap mempunyai jadwal teratur untuk belajar, mengaji, bermain, dan bersosialisasi.

Sekalipun tidak membatasi pergaulan, Fatimah tetap mengawasi dengan ketat pertemanan kedua gadis kecilnya tersebut. Keputusan untuk tidak memberikan fasilitas ponsel pun diberlakukan. Anak-anak pun patuh dan tidak memberontak, tetapi sayang sekali bahwa lingkungan mereka tidak demikian. Banyak anak-anak dari penghuni perumahan yang sudah dibekali ponsel bahkan saat mereka masih duduk di bangku sekolah dasar. Dari permasalahan inilah, hal buruk menimpa Fatimah.

September 2019

Hari demi hari, kegelisahan Fatimah memuncak saat mendapati teman bermain putrinya, tidak bisa lepas dari ponsel. Kekhawatiran jika kedua anaknya itu terpengaruh semakin mengusik sanubari. Ia pun mencoba mencari tahu untuk membunuh rasa cemas tersebut.

"Kak, teman-teman di perumahan pegang HP, ya?" tanya Fatimah kepada Anisa yang sedang membaca buku.

"Iya, Umma. Semuanya punya HP, kecuali Talita. Dia pinjam punya ibunya."

Fatimah manggut-manggut. Mau ponsel sendiri ataupun punya orang tua, jika sudah dipegang anak-anak tetap harus diawasi. Tidak bisa dilepas begtu saja mengingat banyak sekali konten yang tidak sesuai umur mereka.

"Mereka nonton apa saja di HP?"

Fatimah berusaha mencari keterangan dari putri sulungnya itu. Firasatnya tentu saja sudah tidak baik saat melihat anak-anak memegang ponsel yang tersambung ke fasilitas internet itu.

"Em ... kemarin itu kakak lihat mereka nonton cewek-cewek yang auratnya nggak ditutup, Umma." Anisa yang sudah mendekati akil baliq tentu paham batasan aurat.

"Nggak pakai jilbab maksudnya?" Fatimah mengernyit.

Anisa menghela napas pendek. "Nggak pakai baju, cuma dalaman aja."

"Astagfirullah !"

Fatimah sontak mengusap dada saat mendengarkan penuturan yang mencengangkan itu. Ia merasa kecewa mengetahuinya. Percuma saja jika di rumah, anak-anak didisiplinkan tanpa ponsel, tetapi saat di luar rumah peran lingkungan tidak mendukungnya.

"Kakak ikut nonton?" tanya Fatimah cemas.

Anisa menggelengkan kepala dengan cepat. "Enggakah, aku sama Nida langsung pergi pas tau mereka nonton itu."

Fatimah menarik napas penuh kelegaan. "Kalau gitu, mulai sekarang Kak Nisa dan Kan Nida jangan berteman dengan mereka lagi."

Anisa menatap Fatimah dengan terkejut. Sekejap kemudian, gadis cantik bertubuh bongsor itu mengangguk pelan.

***

Larangan untuk tidak bergaul dengan anak-anak kompleks ternyata membawa dampak tidak baik untuk anak-anak Fatimah. Baru kemarin mereka menuruti perintah sang ibu, tetapi sudah ada cerita yang tidak mengenakkan terjadi.

"Umma, tadi pulang dari toko, kakak dan Nida dihadang Mona dan teman-teman yang lain," keluh Anisa sesampainya dari membeli gula di toko blok sebelah.

"Dihadang gimana?" tanya Fatimah menyelidik.

"Kami dimaki-maki. Ucapannya jelek banget. Nggak berani nirukan, deh," tutur Anisa sambil bergidik ngeri.

"Iya, Umma. Kok, gitu mereka. Jelek banget," ujar Anida menimpali ucapan sang kakak.

Anisa menggelengkan kepalanya berkali-kali. Ia risih saat mengingat ucapan teman-temannya.

"Ya udah, nanti Umma kasih tahu mereka biar nggak berbuat jelek seperti itu lagi." Fatimah mencoba menghibur dan menenangkan. Ia pun sesungguhnya tidak tenang. Dirinya ingin sekali mendatangi anak-anak itu.

***

Malam harinya, saat anak-anak sudah tidur, Fatimah berbincang dengan Alif tentang kejadian sore tadi yang menimpa kedua putri mereka.

"Bi, aku udah nggak bisa nahan lama-lama. Rasanya ingin kudatangi saja ibunya anak-anak itu. Aku ceritakan semua kelakuan anaknya," ucap Fatimah dengan wajah geregetan. Ia bahkan sampai mengepalkan tangan. Perilaku anak-anak itu sudah membuat pikirannya tidak tenang.

"Nggak perlu, Ma. Kita tambah stok sabar kita aja," kata Alif dengan tatapan mata tidak beranjak dari buku yang dipegangnya.

"Abi kok, gitu, sih. Kita aja nggak pernah ngomong jelek di depan anak-anak kita." Fatimah mendengkus kesal.

"Yang penting anak-anak udah nggak main sama mereka." Alif tampak tenang dan meneruskan membaca buku.

"Ya Allah, jadi apa nanti generasi masa depan bangsa itu, Bi?" Fatimah menunduk lesu.

"Sudahlah, Ma. Kita fokus jaga anak-anak kita aja," ucap Alif sambil mengusap punggung istrinya dengan lembut.

Fatimah mendesah pasrah. Ia mulai membenarkan kata-kata suaminya itu. Terpenting, dirinya dan suami fokus menjaga buah hati mereka.

"Semoga anak-anak itu segera mendapatkan hidayah. Aamiin yaa Allah," tutur Fatimah penuh ketulusan.

***

12 Oktober 2019

"Bi, Adin rewel ini. Nggak mau bubuk, dikasih nenen juga nggak mau."

Fatimah mengayun putra bungsunya yang berada dalam gendongan. Tangisnya semakin keras saat sang ibu memberinya ASI. Fatimah berusaha untuk tidak panik. Ia lalu mengecup kening Adin. Aman, tidak ada tanda sedang sakit. Begitu pun saat dirinya menepuk perut bayi menggemaskan itu. Tidak kembung sama sekali.

Tangisan Adin tidak berhenti juga. "Kenapa, ya, Bi?"

"Ayo kita ajak jalan-jalan depan perumahan." Alif memberikan solusi. Biasanya jika anak-anak mereka rewel tanpa sebab, diajak mencari udara segar di luar, efektif membuatnya tenang.

"Yey, jalan-jalan. Afwa ikut dong, Bi." Putra ketiga Fatimah yang berusia empat tahun bersorak senang.

"Afwi, ikut juga." Saudara kembar Afwa tidak kalah bersemangat.

"Boleh, pakai jaket dulu, ya." Fatimah segera mengambil selimut si bungsu. Angin di kota Malang masih berembus kencang di malam hari.

"Kak Nisa, Kak Nida, umma sama Abi ke depan sebentar,ya. Kalian di rumah aja, jangan ke mana-mana," pesan Fatimah kepada kedua putrinya.

"Iya, Umma," ucap dua gadis saliha itu serempak.

Mereka berlima pun bergegas meninggalkan rumah. Adin masih terus menangis. Namun, begitu keluar dari perumahan, dia mulai tenang dan mau menyusu kembali.

Tiga puluh menit kemudian , mereka tiba di rumah. Pintu sedikit terbuka.

"Kok, kebuka?" Fatimah menautkan kedua alis mata. Seingatnya, pintu sudah tertutup rapat saat keluar rumah.

"Assalamualaikum." Fatimah masuk ke rumah. Tampak Anisa dan Anida sedang duduk di ruang tamu. Wajah mereka terlihat gelisah.

"Umma!" Anida menghambur ke arah Fatimah.

"Ada apa, Kak?" tanya Fatimah kepada Anisa yang ikut memeluk dirinya. Wajah putri sulungnya itu terlihat tegang.

"Tadi mereka masuk ke rumah, Umma." Anisa mulai berkisah. Nada bicara terdengar ketakutan.

"Mereka siapa?" tanya Fatimah tidak sabar untuk segera mengetahui.

"Mona, Fira, Jono."

Fatimah membeliak kaget. Pikirannya mulai menerka urusan anak-anak itu ke rumah mereka. Kedua putrinya itu sudah lama tidak bermain dengan mereka, kurang lebih satu bulan lamanya. Fatimah mengedarkan pandangan, tampak buku berserakan di ruang tamu.

Bukan, ini bukan kebiasaan anak-anakku membiarkan buku berserakan, batin Fatimah curiga. Perasaannya mulai tidak tenang.

SANTET KIRIMAN TETANGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang