Lima

194 10 0
                                    


“Duduk sini dulu, Nak.”
Pak Salim mengajak Fatimah menuju kursi hitam panjang yang ada di lorong sebelum depo obat. Beliau duduk menyamping menghadap ke arah sang putri yang sedang menyandarkan kepalnya di dinding. Sorot mata Fatimah terlihat kosong.

“Yah, aku nggak mau jauh dari anak-anak,” ucap Fatimah dengan tatapan kosong.

“Iya,” ucap Pak Salim menimpali. Beliau lalu menepuk punggung tangan Fatimah dengan penuh kelembutan.

Fatimah menegakkan tubuhnya. Ia lalu menoleh ke sang ayah.

“Aku mau tetap dekat sama anak-anakku. Aku mau tetap dekat sama keluargaku. Aku mau tetap bisa beribadah,” ucap Fatimah tegas.

Pak Salim mengangguk mantap. “Tentu, Nak.”

Fatimah mengedarkan pandangan. Ia menatap lorong-lorong yang terlihat ramai dengan orang-orag yang lalu lalang. Wajah anak-anak kembali memenuhi pikiran Fatimah. Bulir bening pun kembali luruh.

Proses di rumah sakit masih sangat panjang dan tentunya akan sangat melelahkan jiwa dan raga. Fatimah merasa akan banyak kehilangan waktu untuk menemani perkembangan anak-anaknya. Ia tentu akan banyak kehilangan waktu untuk menyimak hafalan Al-Qur’an Anisa dan Anida. Fatimah bertekad untuk mampu memberi sugesti positif untuk jasmani dan rohaninya.

“Aku mau pulang aja, Yah. Rumah sakit akan selamanya membuatku menjadi pesakitan. Aku nggak mau, Yah. Aku harus bisa bangkit.”

Pak Salim tertegun mendengar ucapan Fatimah. Beliau lalu merengkuh sang putri ke dalam dekapan.

“Gimana aku bisa menyemangati diri untuk bangkit, jika nanti hasil laboratorium selanjutnya semakin membuatku tak memiliki harapan, Yah? Lebih baik aku nggak denger vonis dokter lagi. Bisa jadi semua itu akan lebih mengerikan dari penjelasan tadi.” Fatimah mencurahkan isi hatinya.

Pak Salim menggerakkan kepala naik dan turun. “Iya, ayah dukung pilihan Fatimah.”

Fatimah mencoba tersenyum dalam tangisnya. Baginya, orang tuanya adalah dua kekuatan terbesarnya saat ini, di samping suami dan anak-anak tentunya.

***

Fatimah beserta ayah dan ibunya tidak langsung kembali ke rumah mertuanya, melainkan pulang ke rumah Pak Salim terlebih dahulu. Di sana, laki-laki yang berprofesi sebagi pendakwah dan juga pengusaha kuliner itu mengajak Fatimah untuk berbincang dari hati ke hati.

“Nak, sebagai muslim yang baik, kita harus mampu bersabar dan bersyukur atas apapun ketetapan Allah. Bersyukur kamu masih diberi peringatan sama Allah. Bersyukur masih diberi rambu-rambu, bahwa bagaimanapun kondisi kita saat ini, kita harus mempersiapkan bekal untuk di akhirat dengan sebaik-baiknya. Bersyukurlah, Nak. Allah masih sayang kamu, masih memberimu teguran. Di luar sana, banyak orang dicabut nyawanya dalam keadaan su’ul khotimah , naudzubillah. Kamu masih punya waktu untuk mempersiapan bekal itu, Nak.” Suara Pak Salim terdengar sangat menenangkan bagi Fatimah.

“Astagfirullahaladzim ... astagfirullahaladzim.”

Airmata Fatimah kembali tumpah. Betapa banyak dosa yang ia buat selama ini. Ia pun segera meminta ampun kepada Yang Maha Kuasa.

“Nak, kita nggak tau siapa yang akan dipanggil Allah lebih dahulu. Jika melihat perhitungan medis, dirimu yang paling mendekati. Namun, itu hanya hitungan medis, Nak. Semua hanya Allah yang mengetahui, bukan medis. Bisa saja ayah atau Ibu yang lebih dulu menghadap Allah.”

Fatimah semakin tergugu. Ia mencengkeram ujung kerudungnya. Pikirannya mulai terbuka lebar. Allah adalah tempatnya kembali. Fatimah menyadari bahwa banyak waktu dilewatkan tanpa mendekat kepada-Nya dahulu.

“Bersabar dengan sebaik-baik kesabaran, Nak. Kalau kamu nggak kuat, diminum saja obatnya, nggak apa-apa. Tapi kalau masih bisa ditahan, tidak perlu diminum. Sakit itu penggugur dosa. Saat semakin kuat rasa sakit itu datang, semakin besar pula dosa-dosa yang gugur.”

“Ya Allah tolonglah aku dalam musibah ini. Gantikanlah aku dengan kondisi yang lebih baik. Gantikanlah musibah ini dengan nikmat dari-Mu, ya Allah,” ucapku lirih.

“Nak, semua atas kehendak Allah. Kalau Allah menghendaki kesembuhan meski tidak melewati medis pun akan tetap sembuh. Entah lewat ikhtiar yang mana nanti kita menjemput kesembuhan itu.”

Nasihat Pak Salim semakin menguatkan pilihan untuk menjauhi segala bentuk penanganan medis. Fatimah tidak bermaksud menyepelekan sakitnya atau meragukan kemajuan teknologi di bidang medis. Namun, sore ini Fatimah merasakan kekuatan terbesarnya ada pada Sang Pemilik Hidup. Allah SWT, pada-Nya Fatimah memasrahkan hidup.

Bu Nining datang membawa air putih. Beliau lalu duduk bergabung dengan suami dan putrinya.

“Bagaimana kalau lewat ikhtiar ruqyah juga?” ucap Bu Nining tiba-tiba.

“Ruqyah?” Pak Salim dan Fatimah serempak berucap seraya menatap Bu Nining.

“Gimana, ya? Bukannya ibu suudzon. Tapi, masalahnya sakitmu ini datang mendadak. Tiba-tiba pas sore itu muncul. Kok, waktunya itu tepat setelah selesai ribut dengan tetanggamu. Ini yang bikin ibu kepikiran.”

Fatimah tersentak. Tidak terlintas sebelumnya jika sakitnya itu bukan sepenuhnya sakit medis. Pikirannya mengerucut kepada hal yang sangat bertentangan dengan agama Islam.

“Apa salahnya dicoba penyembuhan lewat ruqyah?” Bu Nining mencoba meyakinkan suami dan anaknya tersebut.

Pak Salim mengangguk mantap. Mata beliau menyiratkan sebuah keyakinan atas proses yang akan mereka tempuh. “Baiklah, tidak ada salahnya kita coba ikhtiar ruqyah.”

Fatimah mengembuskan napas panjang. Kelegaan seolah menghampirinya. Harapan untuk sehat kembali menyeruak dalam dada.

SANTET KIRIMAN TETANGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang