Enam

179 10 0
                                    


Sore ini juga, Pak Salim memulai proses ruqyah untuk Fatimah. Beliau sendiri yang akan mendampingi prosesnya. Pak Salim sempat mendalami pelatihan ruqyah dari salah satu trainer yang ilmunya sudah tidak diragukan lagi.

Proses yang akan Fatimah jalani adalah seperti ruqyah syar’i pada umumnya. Sebelum dimulai, Pak Salim menyampaikan nasihat utama tentang keharusan bertaubat kepada Allah dari segala bentuk kemaksiatan. Tidak lupa untuk juga memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosa yang diperbuat selama ini.

Ruqyah kali ini akan menjadi pengalaman pertama Fatimah sepanjang usianya. Proses pun segera dimulai. Pada tahap pertama, Pak Salim memberi segelas air zamzam yang dicampur minyak zaitun, habbatussauda, dan daun bidara kepada Fatimah.

Fatimah mulai memejamkan mata saat ayat-ayat Al-Qur’an dibacakan. Istighfar tidak pernah lepas dari hati dan lisan perempuan bertubuh tinggi tersebut.

“Yaa Allah, astagfirullah … astaghfirullah.” Rasa sakit di payudara sejak pulang dari rumah sakit semakin tidak tertahankan.

“Istighfar terus, Nak. Mohon ampun kepada Allah. Ingat-ingat dosa apa yang pernah dilakukan.”

Fatimah tercengang saat memejamkan mata dengan kuat. Biasanya, saat mata tertutup semua akan tampak gelap. Namun, kali ini dirinya seperti melihat gumpalan molekul berwarna hijau lemon. Bentuknya seperti gambar yang sering ditemukannya saat pelajaran Biologi di bangku SMA.

Ah, mungkin ini karena aku pusing.

Fatimah mendengarkan dengan penuh penghayatan ayat-ayat ruqyah yang dibacakan. Molekul itu tidak diam di tempat, seolah-olah saat ini dirinya sedang menonton video.

Beberapa saat kemudian, proses ruqyah pun diakhiri. Fatimah membuka mata.

“Bagaimana rasanya, Nak?” tanya Pak Salim.

“Penglihatanku menjadi lebih terang, Yah. Terus badan juga terasa lebih ringan.”

“Sakitnya gimana?” tanya Bu Nining yang ikut menemani.

“Masih sama sakitnya, Bu. Kuat sekali nyerinya.”

“Insya Allah besok kita ulangi lagi,” ujar Pak Salim.

Fatimah menganggukkan kepala. Ia lalu mencoba memejamkan matanya. Gelap! Bayangan molekul yang bergerak tadi sudah menghilang.

***

Menginjak malam, Pak Salim mengantar Fatimah pulang ke rumah besannya. Ibu muda berusia tiga puluh dua tahun itu sudah sangat merindukan anak-anaknya. Begitu sampai di rumah, semua anak menyambut kedatangannya, begitu juga Adin yang masih belum tidur.

“Umma, kok, lama?” tanya Afwa dengan tatapan sedih.

“Iya, Umma lama sekali keluarnya,” timpal Afwi.

Fatimah berusaha menahan air mata untuk tidak keluar ketika melihat anak-anak. Ia lalu merentangkan kedua tangan. “Sini semuanya, peluk Umma.”

Fatimah segera mendekap semua buah hatinya yang datang menyambut dengan senyum ceria mereka. Fatimah tersenyum optimis. Ia yakin akan dapat mendampingi mereka tumbuh dewasa, hingga berhasil meraih cita-cita.

Aku masih di sini. Berada di samping mereka. Aku masih bisa memeluk mereka.

“Umma, ayo bubuk,” ajak Afwi yang sudah tidak kuat menahan kantuk.

“Oke, Sayang. Udah pada sikat gigi semua, kan?”

Semua anak mengangguk dan menjawab serempak. “Udah, Umma.”

Fatimah pun mengajak putra kembarnya dan juga Adin menuju kamar depan. Sementara itu Anisa dan Anida menuju kamar tengah. Sebelum pindah ke perumahan yang kini ditempati, sejak menikah keluarga Alif tinggal bersama orang tuanya. Mereka masih memiliki kamar lama untuk ditempati jika menginap di sini.

SANTET KIRIMAN TETANGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang