04•

8 0 0
                                    

"Makasih ya.. makasih juga buat traktiran nya tadi" gue mamerin deretan gusi gue.

"Sama-sama kak.." lagi Juanda mengusak surai gue, udah kebiasaan kali ya. Gue juga gak permasalahin, cuma hati gue ni suka gak karuan.

Selesai memberikan helmnya gue memilih diam berdiri memerhatikan Juanda siap-siap buat pergi. Tapi beberapa menit berlalu dia bukannya hidupin motor buat pergi malah masih stay dimotornya sambil natap gue.

"Kenapa? Ada yang ketinggalan??" Tanya gue dan dia ngangguk.

"Apa?"

"Sun" jawabnya menunjuk pipinya sendiri.

Gue melotot. Alhasil Juanda ketawa kencang.

"Bercanda kak" Juanda mulai menghidupkan motornya "mintanya nanti aja pas udah jadi pacar lo aja" sambungnya.

"Bercanda mulu kapan pulangnya nih.." gue mengalihkan topik pembicaraan. Malu coy, muka gue udah merah banget ini. Pasti.

"Jadi gue diusir nih" pundungnya.

"Iih gak gitu, kan udah malam.. kasian nanti lo kemalaman.." panik gue takut dia salah paham.

"Iya kak iya ini mau pulang kok" ujarnya siap pergi.

"Hati-hati"

"Btw kak yang minta sun tadi emang bercanda, beda lagi kalau pengen jadi pacar lo itu serius" senyumnya dan melajukan motor meninggalkan gue dengan tangan memegang jantung.

Bisa terkena serangan jantung gue dibuat deg-degan terus sama ini cowok.


"Cie.. Ara sama dianterin siapa tuh.. pacarnya ya??"

Baru memasuki kostan gue dikejutkan dengan mbak Anggit santai disofa ruang tamu menonton tv.

"Teman aja mbak.." balas gue senyum malu-malu. Melihat gelagat gue mbak Anggit makin gak percaya, terlihat dari wajahnya makin menunjukkan senyum menggoda.

"Masa sih, mbak liat tadi mesra banget loh.." katanya senyum lebar. Gue makin kelimpungan, mbak Anggit lihat semuanya ya.

"Bukan ih, kita temenan aja kok mbak" balas gue panik terus berpamitan menuju kamar. Kabur adalah jalan ninja gue buat menghindari segala interogasi mbak Anggit.

Pas masuk kamar gue makin kaget lagi liat seonggok mahluk tengah berbaring diatas ranjang. Sungguh kejadian langka Rumi stay dikamar, bukannya apa hampir tiap malam dia ngapel pacarnya.

"Uwaw suatu keajaiban dunia seorang mbak Rumi ada dirumah malam ini, perlu dibadikan tidak ya" canda gue agak lebay.

Rumi menatap gue sekilas terus fokus mainin ponselnya lagi. Palingan sedang chatan dengan pacarnya— kak Tian.

"Eh tapi gue serius tumben gak jalan sama kak Tian" ujar gue mendudukkan diri diujung ranjang.

"Kak Tian lagi pulang ke Yogya" Rumi menjawab tanpa menolehkan kepalanya.

"Oalah pantes, aduh kasian ditinggal ayang" ledek gue dibalas delikan kesal Rumi sedangkan gue cuma ketawa lebar aja.

"Rum.." panggil gue kemudian.

"Apa??" Jawabnya enggan menoleh, gue diam sesaat buat Rumi akhirnya menolehkan kepalanya juga.

"Apa anjrit kalau ngomong tuh yang jelas" galaknya.

"Lah kok ngamok"

"Bodo amat"

"Hahaha canda elah .. eh tapi Rum.."

"Sekali lagi lo bercanda gue tonjok ya Ra" gertaknya menunjukkan kepalan tangan kearah gue.

"Iya anjir iya serius gue ini" panik gue. Dia meletakkan ponselnya, menatap gue sambil pasang telinga.

"Lo kenal Juanda gak.." guman gue pelan.

"Juanda?" Rumi terlihat berpikir "Juanda mana dulu neh?!"

"Ya Juanda, Juanda Artanta maba teknik kebumian" sahut gue gemas.

Rumi diam sembari berpikir.

"Kurang tau ye, tapi kayaknya gue pernah dengar itu nama. Adik kelasnya kak Tian ya.." Rumi berpikir keras mencoba buat mengingat-ingat.

"Emang kenapa? Lo suka ya?!"

"Hah?! Apaan" bantah gue cepat saat Rumi tiba-tiba menunjuk.

"Yaudah sih, terus ngapain nanya-nanya?" Sewotnya.

singgah| Junghwan • HIATUS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang