05•

7 0 0
                                    

Seminggu berlalu sejak kali pertama gue mengenal Juanda. Sejak saat itu juga kita sering bertemu dan bertukar pesan. Tanpa sadar gue jadi dekat dengan Juanda, maba teknik kebumian jagonya flirting. Seperti saat ini gue terasa membeku saat tangannya menyapu lembut setitik es krim diujung bibir gue, lalu menjilatnya sambil senyum ke gue.

Help.. rasanya yang meleleh bukan lagi eskrim ditangan tapi hati gue. 

Berdehem kecil, gue mengalihkan pandangan kearah depan. Memerhatikan sekitaran taman cukup sepi, cuma ada gue Juanda dan sepasang pasangan duduk di bangku taman tak jauh dari kami.

"Punya gue rasa taro, mau coba kak" tawarnya memajukan es krimnya kedepan gue.

Gue diam, menatap Juanda dan eskrimnya bergantian. Meski ragu namun pelan gue mulai mencicipi eskrim punyanya. Gue berbinar saat rasa eskrim Juanda lebih enak dari eskrim stroberi milik gue.

"Gimana enakkan?" Tanyanya gue balas anggukan cepat.

Juanda terkekeh kecil. "Mau tukaran?"

"Emang boleh?"

"Jawabannya kan masih sama, apa yang enggak boleh buat elo kak" katanya menukar eskrim kita.

Gue tidak dapat menahan lengkungan kurva dibelah bibir gue lagi, rasanya eskrim ditangan kalah manis sama ucapan Juanda.

"Habis ini mau kemana kak??" Tanya Juan kemudian.

"Kemana ya.." bingung gue juga tidak tau mau kemana.

"Pulang aja kali ya"

"Oke deh" lemah gue.

Ada sedikit rasa sedih dihati saat setelah ini kita bakalan pulang, padahal hari sore menjelang gelap. Memang sih kita udah jalan sejak tadi siang, tepatnya Juanda mengajak makan siang diminggu libur ini dan segera gue iyain.

"Jangan sedih gitu dong kak, besok kan bisa ketemu gue lagi" Juanda mengusak surai gue. Kebiasaan baru setiap kali kita bersama, tangannya pasti tak akan jauh-jauh dari rambut gue.

"Siapa yang sedih" gue menolehkan pandangan, sialnya malah melihat sepasang pasangan didepan gue lagi bercumbu mesra.

"Mereka buat iri ya kak.." bisik Juanda. Gue membolakan mata kaget menatapnya cepat serta baru sadar ternyata jarak kita terlalu dekat akibat Juan berbisik tepat disamping telinga.

Gue menahan nafas tanpa sadar saat Juanda mendekatkann wajahnya.

Semakin dekat .. dan dekat.. hingga gue menutup mata saat dia menutup mulut gue dengan tangan lalu mengecup tangannya sendiri.

Dia mencium gue tapi terhalang dengan tangannya sendiri.

Beberapa saat berlalu namun tangan Juanda masih setia menutup mulut gue membuat perlahan kedua mata gue tadinya tertutup menjadi terbuka.

Kedua iris kita beradu, saat tangannya didepan mulut gue dan jarak wajahnya begitu dekat.

Juanda tersenyum.

"I really want to kiss you so bad kak" ucapnya dengan nada rendah, gue meremang ditempat. "Tapi gue pengen ngelakuinnya saat kita udah ada status" senyum Juanda menarik tangannya sekaligus menjauhkan diri.

"Udah yuk pulang.."

Gue menjatuhkan diri diatas ranjang empuk gue lalu memandang langit-langit kamar. Masih terekam jelas kejadian tadi sore, ditaman cukup sepi Juanda mencium gue secara tidak langsung. Namun, yang jadi pikiran gue bukanlah insiden itu tapi..

"Kak kalau gue bilang gue suka elo gimana, ralat gue cinta. Mau jadi pacar gue gak kak..?"

Gue terdiam. Menatap tangan gue tengah digenggam Juanda, rasanya hangat dan mendebarkan saat tangan besarnya sesekali mengusap lembut tangan kecil gue.

Tersenyum kecil gue menatap langsung pada kedua iris gelap Juanda. Perlahan gue mengusap lembut tangannya.

"Bukannya kita terlalu cepat ya.." guman gue tanpa menghentikan usapan ditangannya.

"Kalau gitu berapa lama kak. Berapa lama buat yakinin lo kalau gue beneran suka sama lo"

"Gue.. gue juga gak tau" pelan gue memandangi terus tangan kita bertaut.

"Kenapa lu malam-malam senyum sendiri?"

Gue tersadar saat Rumi baru memasuki kamar, berdehem kecil gue menjawab "gak ada apa-apa, kepo deh lu"

"Halah bohong banget lu njir, dari raut wajah lu keliatan kalau lu lagi mesem-mesem sendiri" bantah Rumi, matanya memicing "Lu lagi kasmaran ya Ra?" Tebaknya tepat sasaran buat gue gelengin kepala panik.

"Iyakan, tadi pagi mbak Anggit bilang lo dijemput cowok lu. Gitu ya sekarang lu Ra, main rahasia-rahasiaan gak mau cerita sama gue lagi.." sedih Rumi. Gue kelabakan "Gak gitu Rum.. aduh gimana bilangnya ya" gue garuk kepala bingung "Gue gak lagi pacaran tapi gue emang lagi dekat sama seseorang" jelas gue kemudian.

Rumi mendekat, terlihat dia tertarik. "Siapa? Sama siapa lu pdkt Ra?" Tanyanya antusias. Gue tersenyum kecil "Namanya Juanda Artanta, maba teknik kebumian" kata gue malu-malu. Rumi ber o ria, sebelum dahinya mengernyit.

"Bentar deh Juanda Artanta, maba teknik kebumian .. kayaknya gue pernah dengar namanya" ujar Rumi setengah yakin setengah lagi denial.

"Yakan gue emang pernah tanya soal Juanda sama lu" balas gue mengingatkan beberapa hari lalu gue pernah menanyakan tentang Juanda tapi kali ini Rumi menggeleng. "Bukan itu anjir, gue ingat setelah lu nanya gue kenal Juanda maba teknik kebumian apa enggak gue jadi cari tau. Berhubung ayang gue juga dari teknik pas banget ternyata kak Tian tau Juanda"

"Serius? Apa kata kak Tian??" Tanya gue semangat.

"Kayanya Juanda itu bukan cowok baik-baik deh Ra" balas Rumi pelan, gue diam "Kata kak Tian dia terkenal banget di fakultas teknik—"

"Bagus dong dia famous ya Rum" potong gue. Rumi menggeleng "Terkenalnya karna suka deketin beberapa cewe bersamaan Ra, terus gosipnya dia pacaran sama cewe dari fakultas ekonomi Ra— sejurusan dengan lu"

"Tapi bisa jadi udah putus kan Rum, secara gak mungkin dia ngedeketin gua kalau masih punya pacar .. terlebih dari fakultas dan sejurusan sama gue" katakanlah gue mencoba untuk berpikir positif, meskipun banyak sedikitnya gue mulai takut— takut kalau Juanda cuma main-main.

Rumi hela nafasnya "Tau plot twistnya lagi gak Ra, dia juga pernah dekat dengan Arin" kali ini gue benar-benar melotot kaget "Arin? Bentar, ini maksudnya Arin yang kita kenal" tanya gue setengah tak percaya.

Sekali lagi Rumi mengangguk.

"Iya Arin yang kita kenal, adiknya mbak Anggit"

singgah| Junghwan • HIATUS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang