Bab 6 : Mas Yuda atau Mas Dimas?

4.4K 245 9
                                    

"Kamu ngapain aja di Tokyo, udah lima tahun ya."

Hana mengangguk memainkan jarinya di atas meja. "Ga buat apa-apa si mas, aku ada toko roti di sana, itupun ga kerja cuma mantau-mantau aja." Yuda mengangguk-angguk.

"Umm--mas maaf ya, waktu itu Hana ga sempet kabarin mau nikah."

Yuda tersenyum manis menampilkan satu lesung pipinya. Pria itu tidak pernah gagal membuat jantung Hana berpacu menganggumi.

Andai saja dulu Hana punya keberanian, sudah lama ia kawin lari dengan Yuda. Tidak terbayang bagaimana bahagianya ia jika menjadi istri pria tampan ini. Walau Yuda tak sekaya Dimas, pria itu memiliki apa yang lebih Hana butuhkan dari pada uang.

"Kalau aja waktu itu kita kawin lari ya mas, mungkin kita udah ada anak kali ya."

Yuda terbahak mendengar ucapan Hana yang selalu ceplas ceplos di depannya. Perempuan itu belum berubah. "Emang kamu ga bahagia sama suami kamu, dia lebih kaya loh."

Hana tidak menjawab, memilih tersenyum cengengesan saja. Hilang sudah watak arogannya di depan Yuda. "Mas kapan-kapan kita kudaan yu, aku ada tempat bagus." Ajaknya merasa tidak afdol jika Hana hanya bertemu sekali dengan pangerannya itu.

"Boleh. Nanti kabarin aja kapan bisanya."

"Ayo pulang."

Keduanya menoleh.

Loh? Si tua ini belum pulang juga?

Yuda tersenyum memandang kedatangan Dimas, menyadari sejak tadi pria itu mengawasi perbincangan keduanya dari kejauhan.

Yuda mengangkat tangannya, mempersilahkan Hana untuk berdiri mengikuti suaminya. Hana dengan raut wajah kesal yang disembunyikan akhirnya memutuskan untuk beranjak, melambaikan tangan, "nanti aku kabarin ya mas, jadinya kapan." Yuda mengangguk, membiarkan dua pasangan itu perlahan menjauh.

Hana berjalan menuju parkiran masuk membanting pintu mobil, dengan wajah masam. "Apa-apaan tadi, aku ga pernah ya ganggu acara mesra-mesraan kamu sama Kinan." Ketusnya.

Dimas diam saja, memutar stirnya keluar dari area parkiran hotel.

"Kabarin apa tadi?" Tanyanya memandang jalan di depannya.

Hana menyinisi pria itu tumben sekali Dimas peduli dengan urusan hidupnya. Dulu, sekalipun ujung nafas Hana tersisa di ubun-ubun pria itu hanya diam saja memandangnya.

"Ga usah urusin hidup aku, urus aja tuh bibit kampung itu biar cepat dapet anak." Gumamnya memandang ke arah jendela.

Dimas diam saja. Beberapa lama kemudian berucap lagi, "malam ini kita sekamar. Aku bakal adil sama kalian berdua."

Hana nyaris memuntahkan isi perutnya saat itu juga mendengar ucapan Dimas. "Kamu sehatkan mas? Ini bukan efek dari pelet Kinan kan?"

Dimas tidak menghiraukan. Kalau bukan permintaan Kinan juga ia tidak akan berucap seperti itu. Seharusnya Hana bersyukur mendapat madu sebaik Kinan. Perempuan yang bahkan masih memikirkan kondisi Hana meski berulang kali diberi kata-kata menohok oleh Hana.

Hana menyandarkan kepalanya memilih mengistirahatkan mulutnya. Ia sudah terlalu emosi melihat Dimas mengacaukan acara berduaanya dengan mantan calon suaminya.

Hana membaringkan tubuhnya di atas kasur, menelungkupkan tubuhnya nyaris membentuk huruf C, sembari melamun memandang gorden di depannya dipengangnya perutnya yang terasa sedikit nyeri. Hana menunduk benar-benar berniat ingin melipat tubuhnya, dibelakang sana, di atas sofa luas Dimas memperhatikan tanpa sepatah katapun.

🥂🥂🥂


"Yuda?"

Hana mengangguk mengisap permen bulat di tangannya, ujung kakinya ia bentur-benturkan, matanya menyipit karena terik matahari, beberapa anak rambutnya beterbangan mengenai wajahnya karena angin.

Business ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang