Bab 8 : Gegabah

3.9K 225 5
                                    

Hana menyandarkan kepalanya ke kaca jendela, memandang suasana jalan sore hari yang dilewatinya.

Disampingnya ada Bobi yang akhirnya mengantar Hana pulang usai kejadian di tempat golf tadi, pria itu diam menyimak kesunyian di dalam mobil. Tidak berani bersuara karena dibelakang sana ada Dimas yang tengah memijat pelipisnya.

"Belok ke rumah sakit." ujar Dimas dibelakang sana, memerintahkan Bobi untuk tidak belok ke kiri menuju rumah.

Hana tidak ingin banyak merespon, tenaganya habis ia pakai melawan rasa nyerinya beberapa waktu lalu, dipejamkan matanya sebentar, sebelum mobil benar-benar berhenti di parkiran rumah sakit.

Dimas turun lebih dulu, membuka pintu depan agar Hana segera keluar.

"Turun."

"Gausah peduliin aku." Gumamnya menarik kembali pintu mobil untuk ia tutup namun ditahan Dimas.

Hana membuka mata, menarik dirinya keluar dari mobil, berhadapan dengan Dimas.

Hana tertawa pelan mengusap wajahnya, "kamu sejak kapan peduli gini sama aku." Ujarnya.

"Memang kenapa kalau aku sakit? Kamu mau donorin rahim Kinan ke aku? Jangan buang-buang waktu aku capek, ayok pulang." Ujarnya bersiap kembali membuka pintu mobil.

"Kamu kayak gini karna kamu selalu ngegampangin semuanya."

"Yaudah biarin aja! Bukan urusan kamu." Hana memandang suaminya itu, "ga perlu kamu peduli sama perempuan yang kepalanya isinya cuma uang aja. Perempuan ga normal kayak aku, yang ga bisa apa-apa, yang kerjanya cuma minta uang aja, yang kata kamu ga bisa hamil kayak Kinan ga pantes dipeduliin."

"Hana, Kinan ga ada hubungannya sama sakit kamu."

"Bisa tidak mas, diposisi ini kamu berhenti belain Kinan. Bisa tidak sehari aja kamu baca situasi lewat sudut pandang aku. Kinan emang ngerti rasanya nikah tapi ga pernah dianggap ada? Kinan emang ngerti gimana rasaya tiba-tiba di vonis gangguan rahim? Emang Kinan ngerti mas gimana rasanya dibuang ke negara orang, hidup pura-pura bahagia? Kinan bahkan ga bakal ngerti gimana rasanya udah berjuang mati-matian biar bisa sembuh tapi tiba-tiba divonis kanker." Hana membuang muka, dihapusnya kasar air matanya, "Enggakan? Ga ada yang bakal ngerti rasanya, bahkan kamu sekalipun."

Dimas tak lagi bisa berucap sepatah katapun. "Jadi, berhenti banding-bandingin aku sama Kinan."

"Kanker?" Hana mengusap air matanya lagi, memandang raut wajah Dimas, menarik ingus sebentar.

Kanker? Aku tadi emang ada ngomong kanker?

Hana berusaha mengingat ucapannya yang terlewat emosi tadi. "Iya, kanker. Puas? Senengkan kamu denger aku sedikit lagi mati." Ujarnya menarik ingus.

Sebenarnya Hana tidak ingat juga apakah ia ada menyelipkan kata kanker saat emosi tadi, tapi kalau dipikir-pikir sekalian saja ia vonis dirinya di depan Dimas sudah terkena kanker, toh siapa tau Dimas ada keajaiban berhenti membandingkanya dengan si kampung Kinanti yang tentu tidak selevel dengannya.

Hana menyentuh sudut matanya yang basah, mengapus jejak air mata yang berhasil merusak kecantikannya.

"Hana..." Hana menoleh ke arah kanan.

"Mama?"

🥂🥂🥂

Hana memang dilahirkan tidak untuk bahagia, siang tadi saat sedang bersemangat mendukung pangerannya melawan suaminya, penyakit Hana malah tiba-tiba kambuh, sejam lalu, saat wajahnya masih berantakan usai mengeluarkan emosinya pada Dimas, Sang mama malah muncul.

Business ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang