Bab 9 : Kinan

3.7K 236 3
                                    

Hari ini Hana kembali memulai terapi hormonnya dari nol.

"Lagi?"

Tama mendudukan bokongnya di kursi putar tepat samping ranjang Hana yang sedang duduk setengah berbaring.

"Ini aja ga cukup?" Protes Hana sambil mengangkat tangan kanannya yang tengah terpasang infus berisi obat terapinya.

Tama menggelang menaikan kacamatanya yang sedikit turun, diam memperhatikan tetesan demi tetesan yang turun dari botol infus menuju selang yang tersambung di tangan Hana.

"Dimas udah tau?"

Hana mengambil ponselnya yang bergetar, tersenyum-senyum kecil mengabaikan pertanyaan Tama. Siapa lagi yang mampu mengalihkan dunia Hana selain Yuda.

Usai membalas pesan, Hana kemudian berkata, "udah."

"Terus?"

"Terus apa? Gitu aja." Jawabnya meraih satu botol obat yang dibawa Tama. "Aku beneren harus minum semua ini? Kalau aku gemuk gimana?" ujarnya mengalihkan, tak ingin membahas Dimas.

Tama mengangguk, lalu berdiri usai membuang nafas panjang. "Nanti aku ke sini lagi."

Hana memandang kepergian Tama. Hari ini Tama sepertinya sedang kecewa. Raut wajah pria itu tidak biasa, biasanya kalau melihat Hana, Tama selalu menyempatkan diri mengomelinya.

Usai terapi selama nyaris empat jam lamanya, Hana akhirnya meminta Bobi untuk menjemputnya, dimasukannya senua obat-obatannya di dalam tas tangan mahal miliknya, beranjak dari ranjang rumah sakit, menuju cermin bulat di samping pintu, dipolesnya kembali bibirnya yang pucat usai pengobatan, mengecek penampilan wajahnya yang sudah fresh tak seperti orang berpenyakitan.

"Ayo." Hana membiarkan Bobi mengambil tas tangannya, berjalan lebih dahulu melenggokan lekuk tubuhnya melewati koridor rumah sakit.

Hana berhenti sejenak kala sedikit lagi sampai di parkiran rumah sakit, berbalik pada Bobi, mengangkat tangannya meminta sesuatu. Bobi yang sudah paham akan kebiasaan Hana yang tidak akan keluar ruangan tanpa kacamata hitamnya, segera ia keluarga benda itu.

"Model ini?" Bukannya menjawab, Bobi malah mengalihkan pandangannya lalu menunduk. Hana mengerutkan keningnya lalu menoleh, mendapati Dimas dan "Si Kampung itu juga berobat di sini?" Herannya seolah di ibu kota seluas ini tidak ada rumah sakit lain yang bisa Dimas pakai untuk mengecek kandungan si bibit kampung itu. Dipakainya kacamatanya, berniat tidak ingin peduli. Toh ia juga sudah tidak ada urusan lagi disini.

"Mbak Hana." Hana yang bersiap untuk melangkah, menoleh alis mengkrut. Si kampung itu baru saja memanggilnya? Apa tadi? Mbak? Hana? Anak tunggal kaya raya sepertinya dipanggil Mbak? Heloww!

Hana melangkah mundur mengambil jarak dari Kinan yang berjalan cepat menghampirinya. Apa-apaan anak kampung itu.

Hana menatap sekelilingnya, memastikan tidak ada kenalanannya yang sedang melihat adegan tidak diinginkan ini.

"Jauh-jauh sana ihh." ujarnya merasa jijik berdekatan dengan Kinan di tempat umum. Hana memandang sekelilingnya lagi, "kita ga deket ya, jangan sok akrab. Ih!" Dipandangnya Dimas yang baru berhenti di depannya, "bawa istrimu ini, sana. Ayo Bo--Mas Yuda?!" Hanya dalam kurun tiga detik perubahan raut wajah Hana yang tadinya terlipat-lipat berubah sumringah melihat pangerannya tiba-tiba muncul.

"Mas, katanya ga bisa jemput," ujarnya menghampiri Yuda tentu dengan menyenggol bahu Kinan lebih dulu.

Yuda tersenyum menyambut Hana, lalu sedikit kaget karena bertemu Dimas lagi di kondisi tidak terduga. "Kamu udah dijemput suami kamu?" Tanyanya merasa tidak enak melihat Dimas memandang Hana yang tengah menggandeng lengannya manja.

Business ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang