Bab 14 : Ketahuan

8.1K 354 19
                                    

Hana memandang kosong keluar jendela, dibantu alat bantu nafas Hana kini dalam kondisi baik-baik saja namun masih dalam pantauan Tama. 

"Apa lagi yang kamu sembunyiin dari mama?" 

"Apa lagi Hana?!" 

Hana tidak bersuara, amarah mamanya di sudut sana seolah bukan hal besar lagi untuk ia respon. Pada akhirnya semua orang akan tau seberapa sekarat dirinya saat ini. 

Irya keluar dengan wajah kesal meninggalkan sang anak sendiri. Tak mampu lagi berkata-kata usai mengetahui semua kebenaran yang selama ini Hana sembunyikan darinya. Irya kecewa. Tentu. Bagaimana bisa Hana menyimpan semua masalah hidupnya serapih itu. 

"Hana, kamu ga pa-pa?" 

Angga, pria yang paling cepat datang usai mendapat kabar Hana tak sadarkan diri berlumuran darah. Ia mendekat usai kepergian Irya, menatap Hana yang masih enggan mengalihkan pandangannya dari jendela.

"Kamu kenapa nggak cerita sama aku hm?" 

Pria itu menghela nafas memandang Hana yang masih tidak ingin berucap apapun. 

"Kata Tama kamu butuh operasi secepatnya." Angga terdiam menunggu respon Hana. "Mama kamu bilang bakal hubungin Dimas buat tanda tanganin surat persetujuan secepatnya." 

Angga menghela nafas lagi, beranjak dari duduknya turut keluar ruangan meninggalkan Hana. 

Perempuan itu masih diam, memandang keluar jendela. Siang hari yang cerah itu perlahan diselimuti awan hitam, gerimis perlahan mulai membasahi kaca jendela yang dipandang Hana.

Hana bergerak melepas alat bantu nafasnya, menurunkan kedua kakinya menyentuh lantai, berjalan tertatih mendorong tiang infusnya mengikuti dirinya keluar kamar.

"Mbak? Keluarganya mana, kok keliaran sendiri?" Hana memandang kosong perawat yang menghentikan langkahnya. Dipandangnya lengannya yang tengah ditahan perawat muda itu, kemudian bergerak melepaskan lengannya dari kukungan si perawat dengan gerakan lemahnya. 

"Saya udah izin sama dokter di dalem." Ujarnya melanjutkan langkah.

Jauh dari posisi Hana saat ini, Dimas bergerak terburu-buru memarkirkan mobilnya, keluar melangkah menuju lobi rumah sakit dengan ponsel menempel di telingannya. "Iya Dimas nyusul, ini udah nyampe." 

Dimas menutup telpon, berdiri di depan lift yang sedang ramai, kedua tangannya ia remas menutupi rasa gelisahnya. Begitu pintu lift terbuka, Dimas buru-buru masuk mendahului orang-orang yang sudah berdiri lebih dulu di depannya. 

Ting!

"Hidungnya mancungkan Mas, mirip kamu." 

Dimas membatu di tempat, tubuhnya perlahan linglung dibiarkan tertabrak orang-orang yang berusaha keluar dari lift melewati tubuhnya.

"Kinanti?" 

Perempuan berbalut pakaian mahal khusus ibu hamil itu mengalihkan pandangannya yang sejak tadi terfokus pada foto-foto hasil USG di tangan pria di sampingnya. 

Dimas berjalan mendekat, sampai saat itu, ia masih berpikir, pria seumuran Kinanti yang sedang digandeng istri mudanya itu adalah adiknya, bukan siapa-siapa. Istrinya, Kinanti, perempuan lugu yang tidak tahu apapun itu tidak mungkin berani berbuat macam-macam di belakangnya. 

"Mm--mas-Mas Dimas?" gandengan Kinan di lengan kekar kekasihnya melorot. 

Dimas diam lagi. Jika saja Kinan tidak melorotkan gandengannya, jika saja...jika saja perempuan itu tetap bersikap biasa saja, Dimas tidak mungkin memikirkan hal yang bukan-bukan.

Business ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang