Jaemin sangat sadar akan kedekatan Jeno dan Renjun yang begitu berbeda dengan keakraban antara dirinya dan Renjun. Tadinya, ia pikir mungkin itu karena Renjun dan Jeno tinggal berdekatan juga sudah kenal sedari mereka masih kecil. Tapi, semakin kemari Jaemin mulai aneh akan keposesifan Jeno atas diri Renjun. Menurutnya itu terlalu berlebihan untuk ukuran seorang teman.
Ya, setau Jaemin. Renjun dan Jeno tak memiliki hubungan apapun melebihi teman, Renjun sendiri yang mengatakan padanya. Sempat ia memiliki pikiran kalau Jeno memiliki perasaan lebih untuk Renjun, sampai membuatnya begitu posesif dan terlihat tak suka setiap Jaemin berinteraksi dengan Renjun. Tapi, apa perasaan Jeno normal jika disebut seseorang yang memiliki cinta tapi malah mengekang Renjun semaunya.
Bukan sekali dua kali Jaemin mendengar alasan Renjun tak bisa kesana kemari karena Jeno tak mengizinkannya, bukan sejenis-dua jenis makanan yang Jeno larang untuk Renjun makan. Menurut Jaemin ini sudah sangat amat keterlaluan, Jeno terlalu ikut campur dalam kehidupan pribadi Renjun. Yang Jaemin takutkan adalah, kalau Jeno justru memiliki obsesi pada Renjun.
"Kau menemuiku atas izin dari Jeno?"
Renjun yang baru duduk menggeleng. "Tidak, aku kemari tanpa sepengetahuan Jeno. Kalau ia tau pasti akan melarangku."
"Kemarin kau tidak jadi ikut denganku karena Jeno melarangnya. Renjun, apa kau memang seperlu itu meminta izin pada Jeno?" Tanya Jaemin.
"Iya. Mamaku dan mama Jeno mengatakan padaku untuk selalu minta persetujuan Jeno kalau ingin keluar." Ungkap Renjun.
Jaemin mengangkat halisnya, apa keluarga Renjun dan Jeno berencana menikahkan mereka sampai menitahkan juga Renjun untuk apa-apa harus izin pada Jeno. "Tapi sekarang?"
"Ini masih dekat dengan rumah, aku bisa pulang sebelum Jeno pulang. Jadi tidak akan ketahuan." Kikik Renjun, ia senang karena bisa keluar menemui Jaemin tanpa harus berdebat dulu dengan Jeno.
Lalu mata Renjun menemukan kamera Jaemin yang berbeda dengan yang dipakai tempo hari saat dengannya. "Oh? Kau baru mengambil kamera yang waktu itu?"
"Iya, aku berniat mengajakmu pergi besok. Tujuanku kali ini sepertinya akan cocok denganmu, kemungkinan besar kau akan suka." Jaemin sebenarnya memang berniat mengajal Renjun pergi sejak awal, meski sempat ragu mengingat Renjun itu seperti bocah yang mesti mendapat izin kemanapun ia pergi. Tapi menyusul pikiran anehnya soal Jeno, ia kembali yakin untuk mengajak Renjun karena ia ingin mencoba membantu Renjun banyak mengetahui dunia luar tanpa halangan dari Jeno.
"Benarkah? Kemana memangnya?" Renjun bertanya antusias.
Jaemin menyebutkan satu tempat, yang pernah Renjun dengar juga sebelum-sebelumnya. "Mau, aku ikut ya Jaemin besok?"
"Iya, aku kan mengajakmu." Jaemin tersenyum melihat senyum Renjun.
Kemudian..
"Renjun, kau akan minta izin pada Jeno untuk hal ini? Tempatnya lumayan jauh, ia bisa saja tak mengizinkanmu." Ucapan Jaemin ini sengaja untuk memprovokasi Renjun agar tak minta izin pada Jeno.
Jaemin kasihan pada Renjun yang terus-terusan dikekang, ia ingin Renjun mulai membiasakan diri lepas dari peraturan Jeno itu. Gantinya nanti ia bisa meminta izin pada orangtua Renjun, karena kalau memang perlu izin harusnya cukup pada orangtua bukan pada Jeno.
Mendengar hal itu, membuat Renjun merenung. Benar, Jeno pasti tak akan mengizinkannya. Kecuali Jeno ikut juga. Tapi seingatnya, besok bukan jadwal Jeno libur.
"Lihat besok saja ya? Nanti aku hubungi lagi." Renjun dilema, haruskah ia meminta izin pada Jeno atau pergi tanpa sepengetahuan Jeno?
Disisi lain ia ingin pergi dengan Jaemin, tapi juga memikirkan Jeno yang banyak mengkhawatirkannya.