Pagi itu Renjun tengah sarapan dibantu sang ibu, lalu saat ia menawar ingin buah karena rasa mual dari menu sarapannya kebetulan Jaemin masuk. Membuat sang ibu menitipkan mangkok supnya pada Jaemin, karena ia melangkah cepat menuju meja di sisi ruangan untuk mengupas buah untuk Renjun.
"Renjun, papa akan—" Ucapan Jeno terhenti saat memasuki ruangan sudah ada Jaemin disana dengan mangkok sarapan Renjun yang dipegangnya.
Seketika itu pula Jeno tersenyum miris, Renjun tak pernah mau ia bantu sarapan. Dan sekarang melihat Jaemin sudah ada di ruangan Renjun lebih dulu darinya, dengan membantu Renjun sarapan. Membuat Jeno rasanya harus lebih banyak terbiasa lagi akan sakit hati, karena mendapati kenyataan kalau Renjun memang lebih nyaman dengan Jaemin.
"Jeno, papa mu bilang apa?" Nyonya Huang yang menyadari ucapan Jeno belum selesai tadi, langsung menanyakan lanjutannya.
Kemarin nyonya Huang sudah memohon pada Tuan Lee agar mau membantu suaminya untuk mencari pendonor untuk Renjun, karena kemungkinan ia tak bisa menemani suaminya mengingat ia mesti menjaga Renjun. Kondisi Renjun yang sebenarnya, sudah ia tau betul dari dokter Lee. Renjun harus cepat melakukan tranplantasi jantung, karena kondisinya sudah semakin buruk. Putranya itu semakim sering meringis sakit, sampai menangis ketakutan. Padahal ia berharap Renjun bisa cepat keluar dari rumah sakit, dengan pulih.
"Papa nanti siang akan kemari, ia belum menengok Renjun sejak masuk rumah sakit. Ia ingin tau, kau ingin dibawakan apa nanti?" Jeno melanjutkan ucapannya sambil menghampiri nyonya Huang, tak jadi menghampiri Renjun yang diam-diam menatap Jeno.
Nyonya Huang selesai mengupas buahnya, dibantu Jeno. Renjun pun dibantu Jaemin untuk minum terlebih dahulu, sebelum menikmati buah tadi.
"Jeno, kau tidak ke kantor?" Tanya Renjun.
Yang ditanya menggeleng sambil menatap Renjun. "Ini harimu, hari dimana aku selalu libur untuk menemani check up mu."
"Tapi sekarang aku tidak perlu check up lagi, kau bisa pergi ke kantor Jeno." Ujar Renjun.
Jeno yang tadinya menatap Renjun, kini ganti menatap Jaemin. Ia tau alasan Renjun mengusirnya, karena sudah ada Jaemin disana. "Aku akan di luar kalau keberadaanku mengganggu kalian."
Langkah Jeno diperhatikan Renjun dengan sedih, padahal bukan itu maksudnya.
"Aku dengar dari ayahmu, kalau kemungkinan kau mendapat donor dalam waktu dekat bukan?"
Mendengar ucapan Jaemin, Renjun menoleh cepat pada Jaemin. Sebenarnya, sejak Renjun sadar akan perasaan Jaemin padanya mulai ada. Ia jadi ragu untuk menatap mata Jaemin, karena mata itu menunjukkan jelas semua perasaannya. Dan Renjun tak tega untuk itu, tak tega pada Jaemin yang kemungkinan akan sakit saat ditinggal pergi olehnya. Juga tak tega pada dirinya sendiri, yang memang hidup dengan menyedihkan seperti ini.
Tapi, kali ini Renjun memaksakan diri menatap Jaemin mengingat apa yang Jaemin ucapkan adalah hal yang penting. "Kapan ayah mengatakan itu?"
"Kemarin-kemarin ayah sebenarnya sudah bertemu seseorang, tapi ia perlu diskusi dulu dengan mama Jeno dan papa Jeno." Nyonya Huang benar-benar mempercayakan semua urusan penyakit Renjun pada keluarga Jeno, karena mereka lebih tau juga terhubung pada banyak kenalan yang akan tau soal sakit yang Renjun miliki.
"Jangan dulu ma." Tiba-tiba Renjun meraih lengan mamanya, dan menatapnya penuh permohonan.
"Jangan apa?" Nyonya Huang mengerutkan dahinya bingung.
"Operasinya, jangan dulu meminta mama Jeno melakukan operasi padaku."
Mendengar ucapan Renjun, Jaemin mengerutkan dahinya. "Renjun, kenapa? Lebih baik cepat dilakukan bukan? Kau bisa kembali sehat. Dan tak akan kesakitan lagi nanti."