"Terimakasih untuk hari ini Jaemin." Ujar Renjun begitu keluar dari mobil Jaemin.
"Sama-sama, istirahatlah." Jaemin melempar senyum sebelum pamit pulang dari rumah Renjun.
Sebelum memasuki rumah, Renjun melirik rumah Jeno. Mengecek bila ada Jeno disana, atau mama Lee yang melihatnya. Tapi tak ada, Renjun bernapas lega.
Lalu ia segera memasuki rumahnya yang cukup sepi, tak ada mamanya yang tengah mengacak-acak beberapa kertas di atas meja. Atau ayahnya yang langsung menanyakan keadaannya hari ini.
Renjun pikir mungkin orangtuanya sedang keluar juga.
Sampai di kamar, Renjun menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah memakai baju ia berbaring di atas kasur, sambil sesekali mencoba mengatur napasnya yang mulai tak biasa.
Matanya melirik jam dinding, memastikan kalau Jeno tidak akan pulang sebelum kondisinya membaik. Ia takut kalau Jeno menemukannya dengan keadaan seperti ini, dan akan bertanya segala macam. Lalu berakhir Jeno yang akan tau soal kepergiannya hari ini.
Renjun tetap tak mau kebohongannya diketahui Jeno.
Harapana Renjun soal Jeno yang tak menemukannya dalam keadaan sepeti itu terwujud, sampai malam Renjun menatap jam dengan was-was sambil meremas tangannya yang masih dingin. Takut Jeno tiba-tiba datang. Tapi tak ada, sampai Renjun mulai mengantuk setelah napasnya mulai normalpun Jeno tak ada. Sepertinya Jeno memang belum pulang, dan lembur.
Keesokan harinya, Renjun turun saat matanya bersitatap dengan sang mama yang menatapnya sendu. Kenapa? Mamanya kan tak tau soal kondisinya semalam, biasanya sang mama akan memberinya tatapan seperti itu saat tau soal kondisinya.
"Ada apa ma?"
"Berbohong ya?" Tanya sang mama dengan lemah.
Renjun mematung mendengar hal itu, dadanya berdetak cepat. Ia takut berbohong, tapi kemarin ia melakukannya dan sekarang ketahuan. Jelas hal ini membuat Renjun berdebar.
"Mama.."
Wanita yang sudah melahirkan Renjun itu, menatap kecewa pada sang anak. "Kenapa? Sudah tidak mau diperhatikan lagi? Sampai tak meminta izin pada Jeno."
"Maaf.." Renjun menunduk.
"Jeno mengkhawatirkanmu, tapi kau malah menganggap itu hal yang penting?" Tanya mama Huang.
Renjun diam, ia mulai berpikir untuk menemui Jeno sekarang. "Mama, maaf. Aku juga akan meminta maaf pada Jeno."
Langkahnya ia bawa menuju rumah Jeno, semoga saja Jeno belum berangkat.
"Jeno." Renjun lega begitu melihat Jeno masih memasang dasinya di ruang tengah rumahnya.
Yang dipanggil namanya menatap Renjun, kemudian memanggil sang mama. "Mama, ada Renjun."
"Aku kemari untukmu." Ujar Renjun.
"Kebetulan aku harus berangkat lebih awal hari ini, karena kemarin aku mengambil waktu pulang lebih awal." Jeno hanya menatap Renjun sekilas, bahkan enggan mendekat pada submisif yang berdiri beberapa langkah di depannya.
"Maaf.." Renjun menunduk, meminta maaf pada Jeno.
"Eh, kenapa meminta maaf?" Tanya Jeno. "Kau berbuat salah?" Jeno masih terdengar ramah, seolah tak ada apapun antara mereka.
Renjun menelan salivanya, Jeno tengah menyuruhnya mengatakan sendiri kesalahannya. "Aku kemarin pergi tanpa izin padamu."
"Kemana?" Tanya Jeno nadanya berubah dingin.
Dan satu jawaban yang keluar dari mulut Renjun, membuat Jeno mengeraskan rahangnya. "Jadi aku memang setidak penting itu ya?"
"Kau sampai rela melakukan apapun dengan Jaemin, pergi kemanapun dengannya tanpa mau memikirkan dirimu sendiri dan orang-orang yang mengkhawatirkanmu."
"Tapi, Jeno. Aku pulang sebelum malam, dan aku baik-baik saja. Sungguh." Di akhir kalimatnya,auara Renjun terdengar lemah.
Jeno mengangkat halisnya. "Jadi, setelah kau pulang dengan keadaan baik-baik saja ini kau semakin menyadari kalau kau memang tak perlu rasa khawatirku kan?" Tebak Jeno.
"Yasudah, setelah ini tak usah berbicara soal izin lagi padaku. Aku akan berbicara pada mama mu agar soal izinmu itu kembali berpindah pada mamaku, jangan lewat aku." Tukas Jeno sebelum pergi keluar dari rumahnya.
Seharian itu, Renjun hanya diam di kamarnya. Mencoba mengirim pesan pada Jeno berisi permintaan maafnya, tapi Jeno tetap tak membalasnya. Jeno benar-benar marah padanya.Ada rasa menyesal pada diri Renjun karena kemarin begitu lancang pergi tanpa memberitau Jeno, hanya karena alasan takut Jeno tak mengizinkannya. Padahal kalau Renjun mau menurut pada Jeno, itu pun demi kebaikannya. Hanya saja, terkadang Renjun pun ingin menuruti kemauannya pergi tanpa harus meminta izin pada beberapa orang.
Sekarang Renjun yakin, kalau Jeno akan mengabaikannya. Melihat seberapa dinginnya Jeno padanya tadi pagi, itu bahkan melebihi dari sikap Jeno begitu tau Renjun mencuri pizza milik papa Jeno.
Membayangkan akan seberapa besar marahnya Jeno pada Renjun, membuatnya sedih. Kemarahan Jeno bukanlah soal bentakan dan perlakuan kasar, Jeno akan mengabaikannya cukup lama sampai kemarahannya benar-benar hilang. Dan pengabaian Jeno adalah hal yang Renjun benci.
Tapi sepertinya memang sekarang kesalahan Renjun lebih besar dari hal itu. Karena bahkan sesak di dadanya kembali menyerang, membuat Renjun mencengkram seprai kasur dengan erat. Beberapa saat Renjun bisa merasa lebih baik.
Sampai ia mendengar suara mobil Jeno yang ia kenali, dengan cepat ia berlari keluar dari rumah untuk menghampiri Jeno. Sampai baru beberapa langkah ia keluar dari rumahnya, ia merasakan sesak itu datang lagi. Tapi ia melanjutkan langkahnya untuk menemui Jeno yang dapat ia lihat baru keluar dari mobilnya.
"Jeno, aku benar-benar minta maaf." Renjun melompat memeluk Jeno.
Tak banyak yang bisa Jeno perbuat selain diam, tanpa membalas pelukan itu. Hingga ia merasakan pelukan Renjun mengerat, dengan isakan kesakitan anak itu yang membuatnya panik.
"Renjun!"
"Maaf.." Ucap Renjun sambil merintih kesakitan.