Gunung Pesugihan

111 14 4
                                    

==========

Gunung Pesugihan

Pria tinggi dan kurus melangkah gontai, sesekali menyeka peluh di keningnya. Sudah beberapa perusahaan ia datangi. Akan tetapi, tidak satu pun lowongan pekerjaan didapatinya.

Tiga bulan sudah ia  menyandang gelar pengangguran sejak pabriknya gulung tikar karena pandemi. Dua bulan kemarin, ia masih bisa menutupi kebutuhan pokoknya dengan mengandalkan uang PHK. Untuk bulan selanjutnya? Ia harus memutar isi kepalanya.

Berdagang dan menjual jasa sudah dilakoni. Namun, hasilnya tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Pria itu duduk di halte pemberhentian bis sembari mengipas tubuhnya dengan map berisi lembar CV.

Mata lelahnya menangkap selembar kertas tergeletak di sampingnya dengan tulisan menarik.

PESUGIHAN TANPA TUMBAL
>>Pelaris Dagangan
>>Pelaris Toko
>>Pelaris Usaha
Hubungi 0821××××××

Pria itu mengambil kertas di sampingnya, lalu melipat dan memasukannya ke dalam saku kemeja.

****
Aroma setanggi dan kemenyan menguar dalam ruangan sempit. Beberapa kali pria itu terbatuk karena terhirup asap dari tanah liat tempat pembakaran setanggi dan kemenyan.

Pria tua berpakaian hitam-hitam memejam. Bibirnya komat-kamit merapal mantra. Kemudian pria tua itu membuka mata.

"Jadi, kamu sudah bulat ingin ikut pesugihan?" tanya pria tua itu seraya mengelus janggut.

"Iya, Mbah. Tapi, bener, kan? Tidak ada tumbal? Apalagi menumbalkan anggota keluarga." Pria itu bertanya dengan hati-hati.

Pria tua itu terkekeh, jemarinya menaburkan serbuk ke tempat pembakaran yang terbuat dari tanah liat. Lagi-lagi pria kurus itu terbatuk.

"Tidak ada. Kamu mau pesugihan apa?"

"Sekarang ini, saya dan istri sedang berjualan nasi uduk dan gorengan, tapi usaha kami sepi. Nasi uduk sering bersisa dan modal kami hampir habis." Pria itu menceritakan.

"Pulanglah! Selama menuruni gunung ini, jangan pernah menoleh ke kanan dan ke kiri. Berjalanlah lurus dan jangan membeli satu pun makanan." Pria tua itu memberi pesan.

Pria itu menuruni gunung. Langkahnya mantap tanpa melihat kanan-kiri, padahal  sepanjang jalan menuruni gunung aneka jajanan yang mengeluarkan aroma memikat perut dan menampar hidung menggodanya. Ia tetap pada pendirian dan pertahanannya.

Kakinya sudah mulai lelah, tetapi pintu keluar untuk turun dari gunung belum juga terlihat. Pria itu berhenti sesaat untuk memastikan jalan yang dilaluinya tidak salah. Karena perjalanan pulang menuruni gunung kali ini memakan waktu lebih lama dibanding saat ia menaiki gunung dan setahunya hanya jalan ini arah menuju naik dan turun.

Senja beranjak malam, pria itu terus berjalan. Rasa lapar mulai menyerang perut, cacing-cacing makin bernyanyi nyaring kala mencium aroma makanan dari  penjual yang menjajakan aneka makanan. Kali ini tanpa berpikir lagi, ia memutuskan untuk mampir dan membeli pecel ayam.  "Bisa mati kelaparan kalau tidak makan," batin pria itu

Pecel ayam yang disantap pria itu benar-benar nikmat, lebih nikmat dari  biasa yang dijual dekat rumahnya, bahkan dia tergoda dengan sate ceker goreng yang gemuk-gemuk.

Setelah makan, ia melanjutkan kembali perjalanan. Pria itu terkesima, baru saja beberapa langkah sudah berada di depan pintu keluar gunung pesugihan.

Sesampainya di rumah, istrinya dan anaknya yang masih berusia dua tahun tidak ada. Menurut tetangganya sedang di rumah sakit. Sang istri membawa anak lelakinya yang terkena luka bakar  pada tangannya.

Pria itu pun langsung menuju rumah sakit.

"Mas dari mana saja? Sudah tujuh hari tidak pulang dan tidak memberi kabar." tanya istrinya terisak dan rautnya khawatir.

"Tujuh hari?" tanyanya bingung. Padahal, ia pergi setelah Subuh tadi. Sang istri mengangguk pelan.

"Kamu gimana sih! Kok, bisa anak kita sampai seperti ini?" Pria itu menatap istrinya penuh bara di matanya.

Si istri menceritakan, ia  meninggalkan sebentar wajan berisi minyak di atas kompor menyala bekas menggoreng kerupuk.

Sejak berjualan nasi uduk, ia dan istrinya meletakkan satu kompornya di lantai. Karena meja kompor tidak dapat menampung dua kompor sekaligus.

Istrinya tidak tahu kalau anaknya  sudah bangun tidur, mendekati kompor dan mencelupkan tangannya ke dalam wajan.

Beberapa jemari anaknya harus dipotong karena mengalami luka serius dan pembusukan.

Tubuh pria itu lemas seperti jeli mendengar cerita sang istri. Ia pun masuk ke dalam ruang rawat. Matanya menatap nanar saat melihat tangan anaknya. Kenapa dipenglihatannya seperti sate ceker ayam yang dimakannya.

Bulu halus di leher pria itu sesaat berdiri, ia merasakan embusan napas menerpa telinganya. Ia menoleh. Sesosok makhluk berbulu dan bermata merah tengah menikmati jemari anaknya. Air mata pria itu pun mengalir. Ribuan rasa bersalah dan penyesalan mengumpul dalam hatinya.

Seminggu setelah kejadian, jualan nasi uduknya ramai dibeli. Sang istri sampai merekrut orang untuk membantunya.

Seharusnya pria itu senang, kan? Namun, rautnya muram dan gelisah. Bulan depan, ia harus menyediakan jemari anak kecil untuk makhluk berbulu dan bermata merah. Pandangannya kembali kepada bocah dua tahun yang sedang duduk memainkan mobil-mobilan. Tangan kanannya saja masih diperban. Haruskah yang kiri juga?

Seharusnya, pria itu sadar. Tidak ada yang menguntungkan manusia jika melakukan perjanjian dengan setan karena setan penuh tipu daya. Seagaimana setan  memperdaya Hawa-istri Adam.

Bekasi, 8 Februari, 2023

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang