==💕 Dendan Nami💕==
Ayah berdiri menatap tajam kepadaku. Pandangannya menyala dan berkilat, bagai ujung belati yang siap menikam. Bahasa tubuhnya sudah menunjukkan gesture penuh amarah. Membuatku dikepung rasa takut. Kutundukkan kepala, tidak berani menatapnya.
Aku mendengar langkah kaki mendekat. Meskipun aku menunduk, aku tahu langkah kaki itu milik siapa.
Sreet ...
Suara sabuk lolos dari pinggang ayah. Jantungku seperti dipompa dua kali lipat, kakiku gemetar membayangkan yang terjadi selanjutnya.
Kugigit bibir bawahku untuk menahan rasa panas dan perih pada betis dan punggung. Percuma saja aku menghiba, itu tidak akan meluluhkan hatinya yang sudah sekeras batu.
“Berhentilah ... Mahmud! Kamu ingin membunuh anakmu?” Aku mendengar suara wanita yang aku kenal berkata dengan intonasi berat dan tegas. Sesaat Ayah menghentikan pukulannya.
Aku mengusap air mata, mengangkat kepala. Ayah memunggungiku. Dihadapannya ada wanita renta yang biasa aku panggil Jiddah.
“Kalau saya dapat membunuhnya, maka akan saya lakukan, Umak. Kenapa mesti Aini yang pergi dari dunia ini, bukan anak pembawa petaka ini.” Suara Ayah bergetar.
Mata Jiddah menganak sungai saat menatapku. “Semua sudah tercatat, Mahmud. Bukan kesalahan Nami."
Ayah menggeleng tidak peduli, dia berbalik. Kulihat dada Ayah turun naik karena jutaan amarah mengumpul di dadanya. Tangannya yang memegang sabuk terayun ke udara. Aku memejam.
“Pukul saya saja,” kata Jiddah. Tubuh kurus itu menabrakku dan menjadi tameng untukku. Hanya itu yang dapat dilakukan Jiddah untuk menghentikan perbuatan Ayah.
Aku membuka mata saat mendengar kepala sabuk jatuh di lantai. Ayah meninggalkan kami dengan membawa amarah yang tersisa. Ketika memasuki rumah, dia melewati Bunda Laksmi dan Sekar, Ayah menarik lembut tangan Sekar. Dia merangkul dan membawanya masuk. Sempat kulihat Sekar menaikan sudut bibirnya, tersenyum sinis penuh kepuasan ke arahku.
Jiddah menggamitku, membawaku ke belakang rumah, diikuti Bunda Laksmi.
Ketika kami sampai di ruang yang hanya diterangi lampu temaram. Jiddah memintaku untuk duduk berselonjor pada kursi panjang bambu.
Bunda Laksmi membantu menaikan rok dan kaus yang kukenakan. Matanya berkabut. Meskipun tidak bicara, aku tahu apa yang dia rasakan.
Tangan Jiddah yang kurus berhiasi beberapa kerut, mengoles betis dan pinggangku yang kemerahan. Aku merintih menahan sakit. Setiap aku merintih, Bunda Laksmi mengusap punggungku seraya berkata, “Maafkan ayahmu, Nami.” Aku hanya menjawab dengan anggukan pelan.
“Bunda akan menasihati Sekar. Bunda tahu, kamu tidak bersalah,” kata Bunda Laksmi kemudian wanita itu memelukku erat.
Awalnya kupikir, Bunda Laksmi adalah ibu kandungku karena beliaulah yang merawatku sejak kematian ibuku. Terkadang aku berpikir, mengapa beliau bodoh sekali mau menikah dengan duda seperti Ayah. Padahal menurut cerita, dulu semasa mudanya banyak pria yang terpikat olehnya. Mengapa dia memilih mengemis minta dijadikan istri dari pria pemarah.
****
Aku berbaring menatap langit-langit kamar. Setiap ingat perlakuan Ayah, mataku memanas. Pria yang seharusnya menjadi cinta pertamaku, malah menjadi pria yang aku benci seumur hidupku.
Rasanya sudah cukup menguras air mata hari-harinya. Namun mengapa, air mata itu tidak kunjung kering. Terus mengalir, bahkan saat aku tidak menginginkannya.
Aku beruntung memiliki Bunda Laksmi. Meskipun dia bukan ibu kandungku, wanita itu selalu menguatkanku saat mendapat perlakuan buruk ayahku.
Bunda Laksmi akan menghukum Sekar dengan cara tidak memberi uang jajan atau tidak memanjakannya dengan membelikan barang kesukaannya. Tentu saja itu akan membuat adikku makin kesal Dia akan mencari cara dengan membuat ulah agar aku dihukum Ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
Short StoryKumpulan cerita pendek, romance, religi, horor action.