Sebening Kaca

36 5 0
                                    

"Pras, Mama percaya, kamu-laki-laki baik. Mara sering menyebut namamu sewaktu masa kuliah. Dia bilang kalau kamu banyak membantunya. Sekarang, Mama minta tolong  sama kamu untuk mencintai Mara dan buat Mara jatuh cinta kepadamu. Mama tahu rencana pernikahan ini. Kami bukan orang bodoh, tapi kami berusaha diam karena tidak ingin Mara terluka.

Pras, jika kamu berhasil membuat Aimara jatuh cinta, Mama punya kebun lada dan kopi yang luas. Kamu boleh minta berapa yang kamu mau." Ibu Ros menatap penuh harap kepada Prasaja, pria yang satu hari lagi akan menikah dengan anaknya.

Pria berkulit sawo matang itu pun membisu. Siapa pun akan tergoda dengan tawaran Ibu Ros. Rasanya juga bukan hal yang sulit untuk mencintai Aimara. Kesempurnaan fisik  ada pada diri Aimara. Namun, haruskah Prasaja mengkhianati janji sahabatnya? Dan apakah Aimara dapat jatuh cinta kepadanya?

Acara pernikahan berlangsung sederhana. Namun, tidak mengurangi kesakralannya. Senyum bahagia menghiasi keluarga Prasaja, terutama Bude Sri Ningsih.

Wanita itulah yang banyak menyiapkan acara pernikahan layaknya menyiapkan pesta pernikahan anak kandungnya.

Seandainya saja, Bude Sri Ningsih tahu tentang  pernikahan keponakan yang sesungguhnya.

Entahlah, pria itu tidak dapat membayangkan bagaimana kecewanya sang bude.

Setelah orang tua Aimara kembali ke kampung halaman, sesuai permintaan Aimara, mereka tinggal di rumah Prasaja.

Sesampainya di rumah Prasaja mereka disambut Dyah, adik semata wayang Prasaja.

"Ini kamarnya, maaf ya, kalau tidak sesuai ekspetasimu. Kamarnya tidak seluas kamarmu dan kamar mandinya ada di luar," ucap Prasaja canggung.

Aimara mengedar pandangan ke seluruh kamar. Sejak memasuki rumah seluas enam puluh meter, aura kedamaian dapat dirasakannya meski semuanya sederhana.

"Malam ini kita satu ranjang dulu, ya. Besok, aku beli kasur tambahan. Kemarin mau minta dibelikan Dyah atau Bude, tapi takut mereka curiga

Oh iya, kamu tidak perlu mengerjakan pekerjaan rumah. Selama ini, Dyah biasa menyiapkan sesuatunya sendiri. Sejak orang tua kami meninggal, Dyah sudah aku ajari mandiri," kata Prasaja.

"Mulai hari ini, tugas Dyah menjadi tugasku," kata Aimara.

"Jangan Ai! Biarkan Dyah yang mengerjakannya sendiri, lagian kita kan_"

"Bukan suami-istri betulan?' Aimara memotong ucapan Prasaja. "Aku tidak pernah bermain-main dengan masalah pernikahan." Wanita itu menatap tegas.

"Bukan begitu, Ai."

"Biarkan aku menjalani tugasku sebagai istri meski hanya tiga bulan. Kamu juga jalani kewajibanmu sebagai suami. Kamu punya hak penuh atas tubuh istrimu. Artinya, jika kita berpisah. Mara harus merasakan madumu dan kamu juga merasakan maduku."

Prasaja menelan liur.

Mengapa serumit ini pernikahanku. Prasaja membatin.

Aimara memulai babak baru dalam pernikahannya, meski ini bukan pernikahan  yang pertama baginya, dia merasakan seperti pernikahan pertamanya.

Kehangatan yang diciptakan Dyah dan Prasaja membuatnya lupa tujuan menikah dengan Prasaja, hingga suatu malam pada bulan pertama pernikahannya, datang pria berpenampilan maskulin turun dari mobil mewah masuk ke rumah yang penuh kedamaian.

"Dyah, tolong antarkan kopi ini ke depan. Mbak Mara capek," kata Aimara beralasan.

Dyah menurut, gadis remaja itu membawa dua cangkir kopi ke teras rumah. Aimara pun masuk ke dalam kamar.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang