Aku dan Suamiku.Pernikahan itu kata orang adalah tempat belajar dan beradaptasi. Trus, sampai kapan belajar dan beradaptasinya?
Sudah sepuluh tahun kami menikah, tetapi tidak ada yang berubah dari sikap suamiku. Kebiasaan meletakkan handuk basah di kasur setelah mandi tidak pernah absen meskipun sudah ditegur berkali-kali, dari mulai teguran pelan sampai naik satu oktaf.
Seperti biasa, pria itu hanya cengengesan membalas omelan panjangku membuatku makin mendongkol.
Bukan itu saja. Kebiasaan lain suamiku yang lain adalah buang angin sembarangan-tidak pada tempatnya. Menurutku, itu tidak sopan dan jorok.
"Nggak boleh ditahan, Sayang. Kalau jadi penyakit gimana? Coba aja tanya sama Bang Jose. Pasti dia akan menjelaskan bahayanya menahan buang angin. Pasien abis operasi aja yang pertama ditanya perawat, ‘sudah kentut?’ Dan kalau belum buang angin tidak boleh minum dulu," kata suamiku. Dia selalu membuat pembenaran atas ulahnya.
"Iya, tapi liat tempatnyalah. Kan, bisa ke kamar mandi. Gimana kalau anak-anak mengikuti ayahnya. Trus, mereka melakukannya dekat orang lain.” Aku melotot membalas ucapan suamiku.
"Tadinya mau lari ke kamar mandi, tapi nggak keburu. Ya … maaf.” Lagi-lagi, suamiku cengengesan.
***
Minggu sore, aku sekeluarga diminta datang ke rumah Kakakku. Dia ingin memberikan oleh-oleh yang dibawa suaminya dari luar negeri.
Rumah kakakku lebih besar dari rumahku. Letaknya di kompleks perumahan elite. Sesampainya di sana, kami disambut kakakku sementara Bang Jose-suami kakakku masih ada jadwal operasi di rumah sakit. Bang Jose seorang dokter orthopedi.
Seperti biasa, anak-anak kami langsung bermain di ruang bermain. Meskipun itu ruangan bermain, tetapi semua mainan tertata rapi pada tempatnya. Tidak seperti di rumahku. Semua mainan berserakan di lantai, seperti baru saja terjadi gempa bumi. Padahal, aku sudah sering mengingatkan anak-anak untuk memasukan kembali mainan ke dalam container box besar yang sudah kusediakan.
Karena banyaknya yang berserakan, telapak kakiku sering tanpa sengaja menginjak mainan membuatku meringis menahan nyeri. Kalau sudah begitu, aku akan mengomel memekakkan telinga persis suara siulan teko saat air mendidih.
Ketika aku dan kakakku menyiapkan makan di ruang makan. Bang Jose datang. Pria itu masuk melalui pintu penghubung garasi dan ruang keluarga. Sebelum masuk kamar untuk membersihkan diri, Bang Jose menyapa suamiku sebentar.
Ah ... berbeda sekali dengan suamiku. Kalau suamiku sepulang dari kantor, pertama yang dilakukannya memeluk anak-anak dan menguselnya.
Bukan aku cemburu pengin diusel-usel juga. Akan tetapi, membuatku kesal adalah; dia tidak mencuci tangan dan kaki terlebih dahulu ketika sampai rumah.
Kuperhatikan suami kakakku saat keluar kamar. Rautnya kelihatan segar, rambutnya basah, dan tubuhnya harum musk sehingga harum parfumnya menguar ke seluruh ruangan.
Suamiku dan Bang Jose, ibarat bumi dan langit. Bang Jose lebih tertata, bersih, disiplin, dan mengajarkan hidup sehat juga bersih.
Awalnya, kupikir karena dia seorang dokter, tetapi kakakku pernah cerita, bahwa Bang Jose sudah seperti itu sejak masih di SMA karena mereka berteman sejak SMA.
Anak-anak didikan Bang Jose dan kakakku berbeda dengan anak-anakku. Terkadang, aku suka meminta mereka mencontoh sepupunya, bukan bermaksud membandingkan.
Lagi-lagi, suamiku selalu berada di belakang anak-anakku mendukung mereka untuk melakukan hal yang disukai.
"Biarkan mereka menikmati masa kecilnya. Aku juga dulu gitu, kok. Ibu nggak pernah melarangku main bola saat hujan." Suamiku membela saat aku marah melihat anak-anakku pulang basah kuyup, bibir biru gemetar kedinginan, dan baju penuh lumpur.
"Bukan soal baju kotornya, tapi gimana kalau sakit?" kataku kesal.
Kalau boleh memilih, aku ingin punya suami seperti Bang Jose. Namun demikian, aku tidak pernah menyesal menikah dengan suamiku.
Dia- pria bertanggung jawab, pengertian, dan agamanya baik.
****
Hari ini, aku meminta suamiku menjemput anak-anak di tempat bimbel setelah dia pulang kerja. Karena aku akan menemani kakakku ke Senci untuk membeli hadiah ulang tahun suaminya.
Sesampainya di sana, aku langsung masuk melalui pintu samping, seperti biasanya. Pintu itu langsung menuju ruang keluarga.
Aku tertegun melihat ruangan yang biasanya rapi, tampak berantakan. Ada pecahan kaca di lantai, sepertinya berasal dari hiasan dan bingkai foto.
Kuhampiri kakakku sedang duduk menunduk di sofa. Bahunya berguncang pelan dengan isak tertahan.
Kakakku menegakkan kepala saat dia merasakan aku berdiri di hadapannya. Mata indah yang selalu bersinar ceria, sekarang meredup. Ada sisa air mata di sudut matanya yang bengkak.
"Ada apa, Mbak?" tanyaku.
Kakakku menggeser duduk, aku pun duduk di sebelahnya. Kuusap punggungnya.
"Mbak ingin bercerai." Perkataan kakakku membuat mataku melebar.
"Bang Jose tidur dengan perempuan malam," kata kakakku di sela isak tangisnya.
Mendengar ucapannya tubuhku langsung melemas seperti jeli. Rasa tidak percaya menyergap seluruh tubuh. Pria yang aku sanjung dan kuanggap selalu hidup bersih dan sehat, ternyata ....
Setelah merapikan rumah kakakku dan menenangkannya, aku kembali ke rumah.
Sampai di rumah, pertama yang kutuju adalah kamar anak-anak. Aku melihat anak-anak tertidur lelap. Kemudian aku menuju dapur. Kupandangi punggung pria berbalut kemeja putih sedang mencuci piring. Punggungnya bergerak mengikuri gerakan tangan.
Air mataku menganak sungai menatapnya saat teringat, aku mengomelinya karena kejorokannya.
Tanpa tahu diri dan tanpa malu, aku melangkah lebar, lalu memeluknya dari belakang. Membuatnyanya terkesiap, menoleh, dan terkekeh melihat ulahku yang tak biasa.
"Aku belom mandi, loh! Pulang jemput anak-anak langsung buat mie instan, trus nonton tivi. Tapi, jangan khawatir, sebelum tidur anak-anak sudah cuci kaki dan gosok gigi," urainya seraya memutar keran air.
"Aku juga mau dibuatkan mie instan." Kataku dan aku mendengar suamiku terkekeh.
"Kok, pulang cepat. Katanya malam."
"Iya, nggak jadi Senci. Aku beneran mau mie instan buatan Mas."
Aku terus memeluk suamiku dari belakang dengan menyandarkan kepalaku di punggungnya, dari saat dia mulai menghidupkan kompor sampai memasak mie.
"Kamu kenapa, sih, ikutin aku terus. Aku jadi ribet, nih. Duduk aja sana," kata suamiku seraya menoleh, tapi dia tidak menemukan wajahku yang tenggelam di punggungnya.
"Aku suka keringet Mas."
Suamiku terkekeh. "Mulai kapan? Aneh!"
Aku tidak menjawab. Kubiarkan dia dengan rasa penasaran akan ulahku yang tiba-tiba.
Aku baru menyadari, bahwa Tuhan tidak pernah salah memberi pundak.
Bekasi, 1 Februari 2023

KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
Cerita PendekKumpulan cerita pendek, romance, religi, horor action.