Tas Pandan Untuk Bu Wid

69 9 0
                                    


Nama : Semtina Liany
Tema: Tanda Kasih Guru
Judul: Tas Pandan Untuk Bu Wid
Jumkat: 652

Tas Pandan Untuk Bu Wid

Tetesan hujan membasahi tanah, rerumputan, dan genting yang tadi terpanggang sinar matahari. Hasan, bocah laki-laki  sembilan tahun, berkaus putih, berteduh di bawah pohon besar. Sesekali tangannya mengusap tetesan hujan yang mengenai wajah.

Senyum Hasan saat melihat sekelompok anak bermain bola di tengah hujan. Secara naluriah, dia ingin bergabung. Namun, keinginan itu harus dikubur dalam-dalam.

Hujan mulai reda bersamaan selesainya anak-anak bermain bola. Anak lelaki itu mendekati rumah tanpa pagar. Sebentar lagi rumah itu akan ramai oleh anak-anak yang belajar calistung.

Sudah hampir satu bulan, setiap sore dia datang ke rumah itu. Mengikuti diam-diam aktifitas anak-anak yang belajar calistung.

"Seperti biasa ya, angkat tangan terlebih dahulu, baru menjawab. Bagi yang jawabannya benar, Bu Wid kasih hadiah, dan boleh pulang duluan," kata wanita muda berjilbab lebar.

Bu Wid mengambil spidol, lalu menulis tiga suku kata.

"Ada yang bisa menjawab?"

Semua anak diam. Ekspresi mereka beragam. Ada yang menggaruk pelipis, ada mimik berpikir, dan ada yang membuka mulut tanpa suara.

"Ke-re-ta," ucap Hasan.   

Beberapa pasang mata menatapnya, dia pun menunduk.

"Siapa namamu?" tanya Bu Wid ramah.

Hasan mengangkat kepala ragu-ragu. "Hasan, Bu."

Bu Wid tersenyum bersahaja. "Kamu kelas berapa?"

"Saya belum sekolah, Bu."

Bu Wid memperhatikan Hasan. Rasanya tidak percaya anak sebesar itu belum sekolah.

Setelah anak-anak pulang. Bu wid menghampiri Hasan.

Bu Wid mengeluarkan cokelat, lalu memberi kepada Hasan. Dia tidak langsung mengambil. Dia menatap Bu Wid dengan tatapan ragu dan tidak percaya.

"Ini hakmu. Tadi, sudah menjawab pertanyaan." Hasan pun mengambil.

"Bu Wid perhatikan, kamu sering berdiri di sana," kata Bu Wid. Hasan mengangguk.

"Rumahmu di mana?"

"Tidak jauh dari sini, Bu."

"Kamu beneran tidak sekolah? tanya Bu Wid. Aneh saja jika zaman seperti ini ada anak tidak sekolah.

"Kata Nenek, anak yang kakinya X seperti saya dan bapaknya di penjara tidak bisa sekolah," kata Hasan pelan.

Bu Wid diam sejenak, ditatap lekat paras Hasah. Hatinya terenyuh mendengar jawaban Hasan.

"Ibumu?"

"Ibu meninggal sewaktu Hasin bayi."

"Kamu mau sekolah?"

Hasan menatap Bu Wid. "Emang boleh?" Bu Wid tersenyum seraya mengangguk.

***

Bumi berputar pada porosnya mengumpulkan detik, menit, jam, hari, minggu, dan bulan. Tidak terasa sudah enam bulan Hasan bersekolah di sekolah negeri. Semua itu karena usaha Bu Wid. Ayah-Bu Wid adalah kepala sekolah SD.

Setiap sore, Hasan belajar calistung untuk mengejar pelajaran yang tertinggal.

***
Mata Bu Wid menganak sungai kala menatap halaman rumah. Mulai besok, dia tidak dapat mengajar anak-anak sekitar rumahnya karena dia diterima di perusahaan BUMN di Jakarta.

"Ayo ... Wid, berangkat sekarang, takut ketinggalan kereta," kata Bapak.

Bu Wid mengangguk seraya menggeret tas koper. Ketika akan menaiki mobil, Bu Wid menoleh ke arah suara yang memanggilnya.

"Jangan lari!" kata Bu Wid cemas. Dia khawatir Hasan akan jatuh. Namun, Hasan tidak memedulikan ucapan Bu Wid.

Hasan berhenti tepat di hadapan Bu Wid. Napasnya tersengal, kaki gemetar karena Hasan  tidak pernah berlari secepat itu.

"Bu Wid, mau pergi?"

"Iya ... Bu Wid diterima kerja di Jakarta."

Mata Hasan berair. "Bu Wid nggak akan ke sini lagi?"

"Rumah Bu Wid, kan, di sini. Nanti, kalo cuti dan libur hari raya, Bu Wid pulang."

"Janji, ya ...." Bu Wid mengangguk meyakinkan.

"Kami akan selaly merindukan Bu Wid." Pipi Hasan sudah basah.

"Bu Wid juga akan merindukan kalian.  Janji sama Bu Wid, Hasan harus belajar dengan giat." Hasan mengangguk.

"Ini buat Bu Wid." Hasan menyerahkan tas dari pandan undak. "Terima kasih, ya ... karena Bu Wid, Hasan bisa sekolah. Karena Bu Wid, Hasan bisa membaca, menulis, dan berhitung."

Air mata Bu Wid merembes. Tangannya mengambil tas dari pandan.

"Ini Hasan beli?" Hasan menggeleng.

"Nenek pembuat tikar pandan. Hasan tanya Nenek, bisakah pandan dibuat tas? Nenek bilang bisa," kata Hasan tersenyum.

"Ini tanganmu?" tanya Bu Wid khawatir.

"Pandan itu ada durinya, Hasan kurang hati-hati. Bu Wid jangan khawatir. Meski kaki Hasan lemah, tangan Hasan kuat.

Bu Wid mengangguk seraya mengusap kepala Hasan.

Mobil yag dinaiki Bu Wid melaju pelan. Bu Wid mengusap air mata melihat Hasan berlari kecil mengikuti mobilnya sampai menghilang di pandangan.  Meski tidak mendengar teriakan Hasan, Bu Wid tahu yang diucapkan Hasan."Terima kasih, Bu Wid."

Bekasi, 13 Oktober 2023




Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang