"Kamu gak akan paham apa yang saya rasakan,"
"Kamu selalu menuntun aku untuk paham, kamu sendiri gak pernah mau ngertiin aku mas. Aku capek, ngurus anak sendirian. Dia juga anakmu kenapa kamu tidak mau mengurus dia."
"Sudah saya jelaskan berulang kali, saya belum siap memiliki anak dalam waktu cepat. Tapi kenapa kamu hamil saat itu?"
"Tuhan sudah kasih anugrah paling indah buat kita,Mas."
"Tapi saya gak mau, urus aja anak itu sendiri."
~~~
"Fyuhh, rupanya hanya mimpi." Anak kecil yang kini telah dewasa baru saja melihat dirinya dalam versi beberapa tahun silam. Ia tersenyum, mengingat betapa sang Mama membela dan menyangnya. Sampai tibalah saat, seluruh cinta kasih hanya di berikan untuk anak terakhirnya saja.
FLASBACK
"Mama, Papa, kok Fala tidak seperti teman teman Fala lainnya yah?" Anak kecil itu bertanya dengan sangat polos kepada kedua orang tuanya yang duduk di bagian pengemudi dan sejajarnya pengemudi. Kala itu ia masih berusia sangat kecil, belum menginjak 7 tahun malah. Tapi ia sudah merasakan bahwa dirinya berbeda dengan anak kecil pada umumnya.
"Anakmu nanya tuh," kulihat lelaki di depan itu sama sekali tak ingin menjawab. Menatapku melalui kaca yang terletak di dalam mobil saja tidak.
"Beda kenapa Fara?"
"Fala sepelti tidak di sayang oleh Mama dan Papa," ucapnya, sulit menyebut huruf R sehingga di plesetkan menjadi huruf l saja. Lagipun cara bicaranya sudah sangat sempurna untuk anak seusia dia. "Kamu mau tahu Fara?" Tanya Papa ke aku, aku benar bahagia saat itu karena Papa ingin membuka obrolan.
"Karena kamu perempuan, perempuan gak akan bisa jadi penerus Saya nantinya. Memiliki anak perempuan adalah bencana, seharusnya yang ada saat ini hanya Naka." Naka, atau Naranka Alfero Hutomo, adik satu-satunya Fara. Sosok yang sampai saat ini membuat dirinya selalu merasa iri.
"Naka, selamat, kamu benar-benar jadi anak di dalam rumah ini." Tak di sadari, matanya sudah bengkak, wajahnya pun lembab. Padahal ini masih sangat malam. Untungnya besok libur, sudah terlanjur bangun malam ini. Ia ingin mengingat apapun hal menyakitkan baginya. Ada emosi yang ia pendam sejak kemarin, saat ini tepat sekali untuk meluapkan emosinya.
"Tuhan, kenapa takdir begitu menyakitkan rasanya?"
"Aku ingin rumah, aku ingin menjadi anak, aku ingin takdir itu berpihak adil kepadaku."
Satu ruangan itu menyaksikan tangisan nya, jika benda-benda bisa berbicara ia mungkin akan menenangkan gadis malang yang terlahir ke dalam keluarga yang salah. Kasihan, sangat amat sakit menjadi dia. Tangisan dengan isakan di iringi teriakan sesekali benar-benar memenuhi ruangan itu. Kamarnya, menjadi tempat pulang paling sungguh. 'Rumah itu tidak membawaku pulang dengan seutuhnya. Hanya ada satu ruangan yang mampu menerima serta membawaku pulang dengan segala rasa.'
Ia memeluk dirinya sendiri, ia menangis dalam pelukannya. Butterfly hug, itu mampu membuatnya tenang jika dalam kesendirian seperti ini.
Kelelahan karena menangis berjam-jam. Fara membaringkan tubuhnya pasrah. Menidurkan kepalanya di atas bantal yang selalu mendengar ia berkeluh kesah, selalu menerima tangisannya. Menghapus air mata yang sudah berani membasahi pipinya. Ia memeramkan mata, di atas bantal yang sama. Seperti di elus elus, ketenangan datang, emosi meredam, rasa ikhlas atas takdirnya juga kembali muncul. Katanya sambil mengelus dada "gak papa, maafkan semua yang telah menyakitimu ya. Jika bahagiamu tidak ada disini, suatu saat nanti pasti akan bahagia."
~~~
"Fara bangun Faraa!"
Fara terbangun, ada goncangan kuat yang dirasakan terjadi pada tubuhnya. Kedua mata yang bengkak, penglihatan jadi sedikit tertutup. Saat ia buka matamu, ruang untuk mata hanya sebesar bolongan celengan ayam.
"Fara lo nangis?" Ia mengenal suara itu, buru-buru menengkurepkan tubuh. Ia berharap orang itu akan pergi, memberi waktu sebentar untuk Fara mengembalikan bentuk matanya seperti sediakala. "Far, lo nangis yaa? Lo kenapa Fara?" Fara masih tidak ingin menampakkan wajah, pasti jelek, duganya.
"Dena, pergi dulu sana. Buatin kompresan nanti gue telfon lagi kalau matanya udah kembali." Dena tertawa, ia juga menepuk bokong Fara yang kecil, sehingga Fara bangun dan menampakkan wajah. Dena terus tertawa, sampai batuk malahan. Lain dengan Fara, ia berusaha semaksimal mungkin menutupi matanya yang bengkak sebab nangis malam tadi.
"Kayak kecebong dah mata lo, HAHAHAHAHA." Tawa Dena makin menjadi, Fara semakin kesal. Ia melempar guling tepat ke wajah Dena. Mulut Dena yang awalnya terbuka lebar, menertawakan Fara, jadi tersumpal dan diam. "Mampus, makanya diem." Dena diam, ia menyerahkan guling yang baru saja ia gigit. Gantian Fara menertawakan wajah Dena, wajah sebelumnya rapih, terias. Usai di pukul pakai guling malah berubah kusut.
"HAHAHAHAHAHAAHAHHAAHAH," Fara tertawa sangat puas. Guling yang di letakkan di atas kasur oleh Dena di ambil olehnya. Ketika guling itu di ambil oleh kedua tangan Fara, Dena malah mengungkapkan kejujuran diluar nalar.
"Fara, kan gue belum gosok gigi Far," Fara berhenti ketawa, melemparkan guling kelantai begitu saja. Ia perhatikan guling itu, benar, ada bekas gincu merah jambu yang di kenakan Dena menempel disana. "DENAA!!!!!" Pekiknya, bikin Dena menutup telinga rapat-rapat.
"Dena, gue gak mau tahu pokoknya laundry in ah, lo mah gitu sih Den. Minimal gosok gigi lah. Udah mandi, udah catokan, udah makeupan belum gosok gigi. Gue cepuin lo ke...."
"Kesiapa anjir?"
"Yaaaa ke cowok loo lah gila, yakali cowok guee."
Fara meraih ponsel di atas nakas, ia ingin mengucapkan selamat pagi kepada sang kekasih. Entah dia sudah bangun apa belum, biasanya sih kalau hari libur jam tidur akan lebih lama.
Rayvando
Fara, lagi ngapain?
Fara di kejutkan dengan notif aneh yang muncul di layar homescreen ponsel miliknya. Bergidik ngeri sekaligus memberi tatapan heran. Dena penasaran apa yang di lihat oleh Fara. Ia langsung duduk di sebelah Fara, ikutan melihat ponsel Fara. "HAH?" Fara terkejut, kagetnya Dena mengundang kaget dirinya juga. Benar berarti isi chat itu, tadinya di pikir kalau ia hanya salah lihat karena space untuk matanya melihat lebih minim dari waktu biasa.
-----
Sampai sini dulu yaa hihihi