'Tidak ada yang ingin berada dalam ruangan sepi, untuk berkali-kali'
Genap empat hari seseorang yang ia cari-cari sama sekali tidak terlihat sama sekali. Sekedar kabar melalui pesan pun tidak ada, tidak ada juga berita atas hilangnya seseorang itu. Ia, perempuan misterius, ia tahu itu sejak awal mengenal. Tetap jatuh hati, karena baginya itu bisa di pahami. Ingat kan, dia pernah berkata dunia yang ia singgahi baru sebentar saja, makanya belum banyak hal yang ia tahu dari dunia 'milik-nya'.
Sepi, itulah yang dirasakan. Sekolah seperti tak ada semangatnya sama sekali.Bayangkan betapa membuat bahagia kalau di sekolah ada sang kekasih. Ketika lelah, ia bisa kembali semangat setelah bertemu kekasihnya. Ketika kesulitan, kekasihnya akan bisa membantu dia.
'Kamu sebenernya kemana?' tanya kepada diri sendiri, pertanyaan itu, sering sekali di ucapkan selama 2 hari berturut-turut.
"Kak, gimana udah ada kabar?" Dia, yang berbincang dengan lelaki di hadapannya hanya memberi jawaban singkat. senyum simpul, serta gelengan kepala sebanyak tiga kali. Melihat respon berulang sejak lusa lalu yang masih sama, membuatnya ingin diam dan berhenti ingin tahu, akan lebih baik sepertinya.
"Masih aja di cari tahu, dianya aja gak ada sama sekali niat buat kasih kabar ke lo? Ya perlu di ingat aja, cewek kalau belum bisa terbuka sama pasangannya belum jatuh cinta seutuhnya," seperti mendengar lalu dilupakan. Ucapan tadi yang di dengar oleh telinganya berusaha untuk di tepis dari isi kepala yang sudah runyam. Ada benarnya, tapi ada salahnya juga. Tidak, tidak boleh terhasut omongan orang yang tahu betul dia hanya aku, kekasihnya. Pikir lelaki itu.
Dia menyendiri, menutup telinga penuh tentang argumen orang-orang yang bisa saja merubah pikirannya. Sungguh, hari ini adalah hari yang berat. Di hari Kamis, waktu paling menyebalkan baginya. Mulai dari jam pulang lebih lama, guru-guru pengajar sebagian besar adalah guru kiler, serta Matpel yang membosankan. Ia cabut dari jam pelajaran, pergi ke kantin untuk sekedar memakan makanan ringan saja. Meringankan kepala teramat berat ini, katanya.
"Tumben lo disini?" Tidak ada gubrisan sama sekali, malah meladeni sosok manusia satu ini. "Gua ngomong gak di jawab gimana sih," masih tetap diam, dingin sekali. "Gak usah di pikirin berlarut-larut, besok dia masuk. Lagi juga dia gak masuk itu karena ulah l-." Belum mengutarakan semua, omongannya tiba-tiba saja terpotong karena balasan Reion. "Tahu dari mana lo?Lo juga mau bilang karena gua, iya kan? Tolong jawab tahu dari mana."
"Tanya aja sama cewek lo nanti, gua duluan." Reion menarik serta menghembuskan nafas kesal, tidak pernah betul kalau bertanya dengan dia. Sudahlah, tidak apa-apa nanti juga akan tahu.
"Bu, pesan kopinya yaa dua gelas," "Baik neng." Jawab ibu kantin.
"Yon sendiri aja?" Reion yang sedang melamun langsung sadar ketika mendengar ada suara dari sebelahnya, "Iyaa, duduk sini." Wanita itu mengangguk, ia memberikan secangkir berisi kopi susu kesukaan Reion, juga kopi rasa moccacino kesukaannya. "Makasih yaa," "Sama-sama Yon." Keduanya berbincang, meskipun keadaan sebenarnya saat ini masih ada jam pelajaran berlangsung. Reion juga tak bertanya kepada perempuan yang duduk di hadapannya, mengapa ia bisa disini sampai memesan kopi dan duduk bareng. Setelah keasingan mereka.
~~~
"Apa kata dokter?"
"Udah membaik kok, cuma lebam aja, gue di rawat juga karena kambuh. Bukan luka di badan gue kok"
Buah yang di bawa, diletakkan olehnya di atas nakas putih milik rumah sakit.
"Gue capek," baru saja seseorang duduk ia malah mendengar keluhan menakutkan, baru saja di ucap. "Lo harus kuat, gue tahu di posisi lo gak mudah, sakit, dan cape pastinya. Tapi gue ada kok buat lo, bertahan ya? Kalau gak ada alasan bertahan, tolong jadikan gue alasan lo untuk bertahan di dunia ini."
Tetesan air mata tergelincir cepat di pipinya, keadaan berubah menjadi pilu. Tidak ada kata lagi untuk ucap sebagai balasan, ia hanya menatap ke sembarang arah menahan kesedihan yang sudah lama selalu di pendam.
"Tidak ada yang ingin berada dalam ruangan sepi, untuk berkali-kali." Katanya lirih.
"Lo pasti akan keluar dari ruangan ini, gak akan kembali lagi kesini." Gelengan kepala di dapati sebagai jawaban dari perkataan yang baru saja terucap. "Kenapa enggak?" Ia diam, tidak tahu ingin memberikan balasan apa. Intinya ia merasa tak akan pernah bisa untuk tidak kembali kesini. Belaian halus terasa di pucuk kepala si gadis malang, "lo pasti sembuh, percaya sama gue."
~~~
"Selamat pagi, sayang." Lelaki yang sedang berjalan menggendong ranselnya dibuat kaget sekaget-kagetnya. Teramat senang saat tahu siapa yang menyapa. "Kamu?" Gadis cantik itu menyertakan senyum dalam gelengan antusias. Peluk erat sebagai reflek pertama kali, ia ingin membagi segala rasa rindu yang terus saja membara sejak kemarin
"Kamu kemana sih, kok gak ada kabar, aku tuh khawatir sama kamu."
"Aku baik-baik aja kok, kamu pasti kangen ya. Hehehe."
"Kangen banget lah, abis dari mana sih?"
"Aku habis pergi sama Mama kemarin, mau kabarin tapi gak ada waktu buat ngabarinnya. Mama selalu gak bolehin aku pegang hp kalau lagi kumpul sama keluarga. Yaaa, karena Papa sibuk kerja makanya pas lagi ada waktu kosong kita liburan deh." Fara memberikan penjelasan serinci mungkin, dan Reion percaya atas cerita Fara saat kemarin hilang. Mereka melanjutkan bicara sambil berjalan agar tidak terlalu lama sampai kelas. Sepanjang koridor Reion menanyakan banyak hal, Fara bisa menjawab itu semua.
"Tunggu," langkah kaki terhenti sejenak. "Kamu kenapa pakai sweater? Aku bingung setiap kali kamu hilang pasti setelahnya kamu pakai sweater, jaket, atau hoodie, kenapa?" Gelagapan, Fara seperti tidak tenang, ekspresinya seakan ada yang di tutupi. Ia merapihkan rambut yang sejak sudah rapih sebetulnya. "Kenapa, kok kaya bingung?" "Hah? Ke-kenapa?"
Reion curiga kali ini, dari raut wajah Fara terpampang jelas kalau ia sedang gelisah usai di beri pertanyaan mengenai sweater. "Ada apa Fara? Kamu sakit yaa? Kamu bilang ke aku kalau emang kecapean habis pergi, biar nanti izin atau di UKS mungkin biar kondisi kamu membaik." Semakin di perhatikan lebih jelas, ada lebam di tulang pipi wanitanya itu. Entah memang benar lebam atau dia memakai blush on. Tapi sepertinya tidak mungkin kalau itu blush on, Fara tidak sebegitunya dalam penampilan, Pikir Reion.
"Pipi kamu kenapa?"
"Pipi? Ah, ini bekas eyeshadow eh blush on maksud ku. Ungu yaa? Tadi mau aku hapus tapi cleansing balmnya habis, aku kira memudar kalau cuma pakai tisu basah saja, ternyata tidak ya?"
Tenang saat tahu al asan dari merah di pipi kanan Fara, awalnya ia mengira itu sebuah lebam tapi ternyata benar dugaan awal, kalau hanya blushon yang sulit di hapus sebab tak ada pembersihnya. Reion mengandeng tangan wanita yang teramat mungil baginya. Ia jadi tertawa sendiri, membayangkan bagaimana tingkah menggemaskan Fara. "AUHH," Fara meringis kesakitan, Reion segera melepaskan gandengannya. "Eh? A-aku sakit perut kok belum sarapan hehe," Kini jadi Fara yang melingkarkan tangannya sejajar dengan sikut Reion.
Ada yang janggal, Reion kembali ragu kalau di pipi Fara bukan sisa blush on melainkan memang benar memar.
~~~
'Kasihan lo Far,andai lo tahu sesuatu.'