Pagi ini tak terlihat sedikitpun pucuk kepala si gadis periang, lagi-lagi ia hilang tidak tahu kemana. Lelakinya akan terus mencari kabar apa yang terjadi pada wanita kesayangan yang ia miliki. Walau mungkin akan sia-sia juga kalau tidak ada alasan yang tepatnya.
Ia termenung, duduk sendirian di depan kelas 11 IPA 2. Masih menunggu wanitanya datang ke sekolah, walaupun sedikit mustahil, sebab 3 menit lagi bell segera berbunyi. Yang ia herankan, Dena, sahabat terdekatnya pun tidak ada disana.
"Halo, kamu pacarnya Fara kan," Reion yang tengah duduk sambil menunduk dan memegang kepalanya dikagetkan dengan suara halus dan lembut dari wanita yang sepertinya tak ia kenali.
"Iya kak, ada apa ya?" tanya Reion, wanita itu menggeleng dan berkata "tidak apa-apa kok, Fara emang jarang masuk kelas, dan alasannya kadang suka gak jelas. Dari kelas 10 dulu, bahkan tidak ada yang benar-benar tahu kehidupannya," Reion mengerti ucapan barusan, ternyata tidak hanya dia saja yang belum mengenal siapa Fara. Tapi, sedikit tersinggung juga, sebab, ia merasa dirinya tak ada beda dengan teman Fara. Mereka sama, sama-sama tidak tahu Fara.
Dena berjalan dari arah tengah lapangan, ingin memasuki kelasnya, tapi pemandangan aneh ia dapati. Reion duduk berdua di kursi depan kelas yang sudah di sediakan oleh sekolah, yang buat ia terheran-heran, Reion tidak duduk dengan sahabatnya. Melainkan teman kelas yang tidak dekat dengannya. Reion menyadari kehadiran Dena, langsung berjaga jarak dengan kakak kelas di sebelahnya, Reion tidak ingin Dena salah paham, setelah itu melaporkan ini semua ke Fara.
"Ngapain lo duduk sama dia?" Pertanyaan yang tepat, sama sekali tidak meleset dari pembayangan Reion, Dena akan menanyakan itu, pasti. "Dia nyamperin gua duluan Kak Den," timpal Reion santai, ia menjelaskan tanpa ada yang di tutupi, benar nyata kejadiannya seperti itu. "Centil banget lo, cowok orang ini," kata Dena ketus, kalimat itu tepat sasaran. Hati Sella seperti tertusuk duri tajam, ia juga malu, beberapa anak kelas menyaksikannya.
"Aduh-aduh, namanya cuma ngobrol ya wajar kali ya. Yang gak wajar mulut cewe yang gak pernah di sekolahin. Makanya asal ucap aja itu mulut." Dena menoleh, di ambang pintu sana ada seseorang yang berdiri, tubuhnya menyandar sedikit dengan pintu kayu, kedua tangan juga terlipat di bawah dada.
"Diem lo cabe-cabean, gue gak bicara sama lo ya," perkataan itu dibalas pedas, "ngaca klo ngomong." Tidak terima mendengarnya, Dena kembali menyauti ujaran Farsya "Klo gue cabe-cabean, lo apa? Biarpun gue dibilang kaya cabe-cabean, gue tetep berkelas bayy. Gak kaya lo, mulut lo bau pake kumur-kumur dulu deh sana."
Farsya menghembuskan nafas lewat mulut, dan menutup nya dengan telapak tangan. Ia menjadi tidak percaya diri, karena Dena sering mengatakan kalau mulutnya bau.
Dena tertawa, orang-orang yang menyaksikan ini juga tertawa terpingkal-pinhkal. Adapun mereka yang takut dengan Farsya, jadi mereka tertawa di balik tangan yang menutupi setengah wajahnya. "Gini nih klo orang di kasih satu otak tapi di jual, jadi gak punya otak lagi, hahahaha." Reion ikut tertawa, setelah itu bangun, berjalan beberapa langkah mendekati tubuh Dena. "Kak gua balik ke kelas masuk, kabarin gua ya kak klo lo tahu kabarnya Fara," "iya, nanti gue kasih tau secepatnya," sekedar ucapan terimakasih yang di berikan Reion ke Dena, Reion pun berjalan melalui koridor sekolah yang tersambung, sampai ia terhenti di depan kelasnya sendiri.
Kecemasan semakin memenuhi kepala Reion, ia sangat amat takut kalau wanitanya kenapa-kenapa. Ada banyak pertanyaan juga yang muncul dari lama, hubungan mereka sudah berjalan 3 bulan lamanya, semestinya ia sudah tahu banyak tentang Fara. "Kasihan banget, padahal lo cowoknya ya, kok lo gak tahu sih, hahaha. Makanya cukup sama satu aja."
BRUKKK
Meja yang sudah ditata rapih oleh anak kelas yang piket pagi ini, berantakan lagi. Dua meja bertubrukan dan melenceng dari garis barisan semestinya. Amarah Reion memuncak saat ini, biasanya ada kekasih dia yang menemani, jadi emosi itu akan memadam dengan sendirinya.
"Mau lo apa sih anjing?" Reion mendekati tubuh Rayvando, menarik kerah baju tepat dekat simpul dasi terbentuk. "Bangsat jawab," keributan didalam kelas jadi sorot pandang. Kini keduanya jadi satu-satunya objek tontonan gratis bagi mereka. Tak sedikit juga dari para penyaksi keributan, mengambil video dari keduanya. Reion yang sudah di kuasai oleh amarah, tambah jengkel dengan reaksi Rayvando. Padahal Rayvando cuma tertawa saja.
"Kenapasih emosi banget? Santai aja kali," bukan meredamkan emosi yang ada, malah memperburuk suasana. AC didalam ruangan memang ada 2, suhunya juga rendah, sangat rendah malah. Namun, seisi ruangan jadi panas, serta menegang. "Lo gila tahu gak? Mulut lo di jaga, ucapan lo bikin orang lain mikir engga-engga tentang gua, anjing!" Usai di cekik kerah bajunya, Rayvando di dorong sampai jatuh tergeletak di lantai. Tak hanya itu tubuh bagian belakang terbentur kencang persis mengenai kaki meja. Rayvando ikut tersulut emosi, ditambah lagi banyak yang menyoraki keduanya. Ia tidak ingin malu, sudah terlanjur seperti ini keadaannya. Sebab, dari awal memang dia yang menggoda Reion sampai Reion menjadi murka, tidak lucu sekali jika harus dia yang kalah dalam pertengkaran ini.
"Sok jagoan lo anjing," tidak terima, Rayvando membalas apa yang sudah Reion berikan. Pundaknya masih terasa nyeri, memang dan sudah pasti. Tetapi tubuh kekar sedikit melindungi tulang di tubuh belakangnya. Sebelum pertikaian besar terjadi, muncul cewek mungil di antara keduanya. Cewek itu bertolak pinggang, sepertinya ingin memarahi Reion dan Rayvando. Rayvando memandang geli ketika melihat lagaknya bak jagoan mungil, hehe.
"Reion, Rayvando udah dong, bisa gak sih kalian tuh jangan ribut terus ihhh, kesel kan aku lihatnya,"
Tanpa basa-basi sedikitpun, Rayvando mencetuskan serangkaian kalimat pedas, tajam, setajam silet. "Dih, alay lo. Keren lo begitu? Cewek lo tuh pengen di puji, ihh kimi lici bingit trimikisih yii idih pisihin iki ribit." Kata Rayvando, sambil meragakan pelafalan kalimat pakai kosakata i, melebarkan bentuk bibi kesamping, ujung bibir sedikit di turunkan, jika dilihat seperti huruf n tidak sempurna. Rayvando mengudahkan keributannya, waktu ini mungkin tepat untuk meladeni bocah kencur seperti Reion, tapi lebih baik bijak mengambil keputusan, rawan takut CCTV dalam kelas mereka ternyata menyala.
"Makasih ya udah misahin gua tadi, lo gak papa kan?" Tanya Reion kepada si cantik mungil, lebih mungil dari Fara. "Kan, diem-diem menghanyutkan," padahal dia telah menyudahi pertikaiannya, tapi ia juga yang mengundang emosi dari pihak lawan. "Ihhh Vando kamu tuh gak boleh gitu tahu! Dia cuma nanya keadaan aku kok, kan niatnya baik." Vando melirik cewek itu, dari lirikan atas kepala, kekaki, ke atas kepala lagi. Sambil menelan salifa secara terpaksa, terlalu memaksakan, katanya dalam hati. Si cewek hanya membutuhkan sebuah validasi, ia ingin di akui sebagai cewek yang lucu, terlebih lagi badan mungil yang sangat mendukung dia untuk tampil menggemaskan.
"Bisa gila gua klo dapet modelan temennya pororo, keren juga Reion bisa nimpalin modelan begitu, gua sih bakalan pindah sekolah klo di deketin sama yang kaya gitu."
Teman berbincang yang duduk tepat di sebelahnya menepuk pundak Rayvando, ia tertawa, bahkan satu perkumpulan itu tertawa semua karena perkataan Rayvando. Ditambah lagi reaksi Rayvando ketika mengingat-ingat bagaimana cara cewek sok imut tadi berlagak di hadapannya.
"Buset bos, jangan gitu lah, lucu tau punya cewe mungil, klo marah tinggal..." kalimat terpotong, bukan melanjutkan bicara, orang tersebut malahan menatap satu persatu teman nongkrongnya.
"Tinggal banting,hahaha." celetuk salah satu dari keempat orang disana. "krik krik, jangkrik bos," mereka semua baru tertawa, walaupun sebelumnya sudah ada yang melawak tapi respon mereka tidak ada yang tertawa.
Dia yang membawa topik lucu malah dia yang tertawa sendiri. "Eling bos eling," lagi-lagi mereka ketawa terbahak-bahak, sampai sakit perut di buatnya.
"Jangan berisik anjir, ini di cafe kasian kalau pada ke ganggu." Satu orang mengatakan itu, satu orang lagi sudah siap menutup mulut, bak anak kecil yang tengah di marahkan orang tua setelah melakukan hal berisik.
"Emang agak gila manusia satu ini," "sehat ora, Ka?" Deoz bertanya, "sehat mas, opo kabar sampeyan?" Rayvando menggeleng-geleng kepala, tingkah laku teman-temannya sudah lewat dari masa kewarasan manusia pada umumnya.
'Fara kemana ya?' gumam seseorang di dalam batinnya.