Bab 17

95 7 0
                                    

Rumah sakit adalah tempat yang paling di benci oleh Devan, karena itu mengingatkan kepada seseorang yang sudah meninggalkannya. Dia terus menatap pintu IGD, bajunya yang terkena noda darah belum ia ganti.

Pandangan Zidan kosong, sekelebat mimpi buruknya menghantui pikirannya. Apakah itu bakal terjadi? Tidak! Dia segera menggelengkan kepalanya, banyak yang dia ingin bicarakan dengan gadisnya.

"Hiks ... hiks," tangis Nia dari tadi tidak berhenti. Kenapa dia tidak mendengar teriakan Alia? Kenapa harus Alia? Gadia itu menyelamatkan dirinya, sedangkan dirinya menyakiti hatinya.

Bugh!

"DIAM, BANGS*T. JANGAN NANGIS MULU! LO KIRA CUMA MODAL NANGIS, PERASAAN BERSALAH LO BAKAL ILANG? KAGAK GOBL*K!" Devan memuk*l tembok, melampiaskan amarahnya. Nafasnya memburu, dia menatap tajam Nia. Bukannya berhenti, malah tambah kenceng.

"DIAM! GUE BILANG DIAM, MAU GUE LEMP*R LO DARI SINI?!"

Nia memejamkan matanya, dia takut dengan kemarahan Devan. Dia ingin memeluk tubuh Zidan, tapi itu bakal menambah masalah. Badannya bergetar, nafasnya memburu, baru kali ini dia di bentak. Karena itu, orang tuanya memanjakan dirinya.

Zidan yang melihat Nia ketakutan segera merengkuh tubuh bergetarnya, tidak peduli dengan tatapan tajam sepupunya.

"KALO MAU MESRA-MESRAAN, MENDING LO PADA PERGI DARI HADAPAN GUE." teriak Devan murka, emosinya tidak bisa di kontrol.

Indra yang berada di sebelah Devan, segera menepuk-nepuk pundaknya. "Udah, Van. Ini rumah sakit, pasien yang lain keganggu dengan suara toa lo."

Andra menatap Zidan dengan tatapan datarnya. "Mending lo bawa cewek lo pergi, takutnya dia kena bentak Devan lagi."

"Iye, nanti dia pingsan disini, orang tuanya nyalahin kita."

Zidan tidak mau pergi dari tempat ini, tapi setelah melihat kondisi Nia. Mata yang sudah bengkak, tubuh bergetar hebat, rambut acak-acakan. Zidan menghela nafas, dia segera merangkul pundak Nia.

"Bisa jalan, 'kan?" Nia menggeleng lemas, dia dibantu Zidan.

Setelah Zidan pergi, Indra segera menarik Devan kasar dan mendudukan pemuda itu. Dia pusing melihat Devan yang terus mondar-mandir kayak setrikaan.

"Diem lo! Duduk anteng disini, nanti juga Om Elang keluar."

Indra lupa, dia belum mengabari Sasa kalau Alia masuk rumah sakit. Dia segera merogoh handphonenya, mencari aplikasi berwarna hijau.

Anda
[Sa! Alia masuk rumah sakit.]

Mecinta♡
[Yang bener lo? Ok gue kesana.]

Dia segera menyimpan kembali handphonenya, setelah mengirim lokasi dirinya.

Ceklek!

Devan buru-buru berdiri, dia tidak peduli dengan tatapan tajam Indra. Karena pemuda itu terjungkal, akibat kaget.

"Alia baik-baik aja, 'kan?"

Senyum kecil di bibir pria paruh baya terlihat. "Iya, dia hanya membutuhkan waktu istirahat. Lukanya tidak terlalu parah, mungkin sekitar lima jam, dia baru sadar."

"Alhamdulillah," gumam Devan. "Apa boleh kita masuk?"

"Nanti, kalo sudah di pindahkan. Om pamit," ujarnya. "Oh iya, nanti kalo Langit nanyain Om sama Tante. Bilang, kami ada di ruangan dokter."

"Siap, Om."

Setelah orang tua Alia tidak terlihat, Sasa datang bersama Langit. Mereka ketemu di parkiran, seperti biasa gadia itu makan kuaci.

"Gimana keadaan Alia?" Sasa duduk di samping Indra, tangannya sibuk membuka cangkang kuaci.

"Alhamdulilah dia tidak terluka parah, hanya butuh waktu istirahat saja." Devan menjawab pertanyaan Sasa, sekarang hatinya sudah agak tenang.

Langit menghembuskan nafas, jantungnya sudah berpacu cepat saat diberi tahu kalau adiknya kecelakaan. Dia segera duduk di samping Andra, mata ekornya melihat wajah datar Andra.

"Bapak gue mana?"

"Di ruangannya."

"Btw uka lo kenapa, tong? Datar amat, kayak badan si Sasa." Mata Indra menatap tajam Langit, apa katanya badan Sasa datar? Padahal menurut Indra, segitumah lumayan.

"Heh! Badan bohay gini, dibilang datar. Emang gue harus kayak Cupi Cupita dulu, gitu?" Sasa mendelik kesal, padahal badannya ideal.

"Jangan! Ntar banyak yang suka," cegah Indra.

"Cieee ... ternyata Indra possesive juga, ya."

Langit kembali melirik Andra, dia sudah puas melihat wajah memerah Indra.

"Gue belum tempe, nama lo sapa?"

"Tahu, Bang. T-A-H-U, dibaca?" Sewot Indra.

"Tempe," jawabnya. "Nama lo?"

Andra mendengus kesal, awas saja nanti ia akan memberi Langit hadiah.

"Andra."

"Irit amat, padahal gratis. Pantes mukanya datar," gumamnya. Andra tidak merespon sama sekali, dia hanya menatap lurus dengan tatapan datar, ntah apa yang dia pikirkan.

***

"Katanya cuman lima jam, tapi udah enam jam gak bangun-bangun." celetuk Indra memecah keheningan, mereka kini sudah berada di ruang rawat Alia.

"Lah iya, gue baru inget. Apa jangan-jangan Om Elang bohong, ya?" timpal Devan, pemuda itu sudah berganti pakaian. Dia tadi dipaksa Indra untuk pulang dulu, membersihkan badan.

"Bapak gue gak mungkin bohong!" ujar Langit, mana mungkin Papanya bohong.

"Iyain, kasian."

Tangan kekar Indra mengelus kepala Sasa yang tidur di atas pangkuannya, sepertinya gadis itu kelelahan. Tidurnya aja nyenyak banget.

Pandangan Devan tidak pernah putus dari tubuh lemah Alia, kapan gadis itu akan sadar? Kenapa lama sekali? Lamunannya buyar setelah melihat jari-jari Alia bergerak.

"Jarinya gerak," ujar Devan. Mereka menatap kearah brankar, dan benar saja.

Langit segera bangkit dari duduknya, kakinya melangkah menuju brankar. Senyumnya terbit dibibirnya, akhirnya.

"Bangun, Dek." Bibirnya menci*m puncak kepala adiknya.

"Eungh ...."

Mata cantiknya perlahan terbuka, yang semula terlihat tidak jelas, sekarang sudah jelas. "Siapa?"

"Siapa? Gue abang lo, masa lupa."

Alia menatap intens Langit, tangannya memegang kepala. "Bang Langit?"

"Iyalah, siapa lagi coba. Cuman gue abang lo," sewotnya.

"Lia, ada yang sakit?" Alia memandang Devan, siapa dia?

"Lo siapa lagi? Kenapa banyak orang asing," ujarnya. "Bang, dia siapa?"

"Omaygat! Alia anemia." pekik Indra histeris, setelah memindahkan Sasa ke sofa dia bangkit dan berdiri di samping Devan.

Tak!

"Amnesia, gobl*k!"

______

Zidan [END]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang