Bab 18

91 6 0
                                    

"Apa? Jadi beneran, Alia amnesia."

Devan memutar bola matanya malas, sudah berapa kali Indra mengatakan itu. "Gak ada pertanyaan lain? Dari tadi, itu-itu aja."

"Kumaha aing, dong!"

Elang yang melihat itu tersenyum, beruntung sekali anaknya memiliki teman seperti mereka. "Iya, tapi hanya sementara. Om minta sama kalian, jagain dia kalo nanti sudah kembali sekolah."

"Kira-kira dirawatnya berapa hari, minggu, bulan, tahun, Om?" Tangan Devan sudah gatal ingin mencak*r wajah Indra, orang lain serius. Eh dia malah becanda.

"Mungkin seminggu lebih," jawabnya. "Yasudah, Om kembali lagi. Jagain Alia, Om percaya sama kalian."

Mereka mengangguk, dan kembali masuk. Pemandangan pertama yang mereka lihat, Alia dan Sasa tengah berbicara dengan diiringi candaan. Langit tidak ada, dia pamit pulang. Katanya mau mandi, badannya sudah bau keringat.

"Gimana, masih sakit banget?" Devan berdiri disisi kanan brankar, tadi Alia berteriak kencang karena kepalanya terasa mau pecah.

"Udah enggak, eh iya nama kalian siapa?"

Devan menghela nafas. "Gue Devan, itu Indra, nah yang mukanya datar Andra."

Alia mengangguk. "Oke, gue tau sekarang."

"Lo ingat sama Zidan gak?" Pertanyaan konyol keluar begitu saja dari mulut Indra, sudah tahu amnesia. Ya, pasti lupa.

Kening Alia mengkerut, kenapa banyak orang yang kenal sama dirinya. Tapi dia tidak tahu siapa aja mereka. "Zidan? Siapa lagi dia."

Tak!

Andra menjitak kening Indra dengan gemas. "Tol*l, udah tau amnesia."

"Yaelah, cuman basa-basi doang." Indra mengerecutkan bibirnya kesal, apa dia salah? Dia hanya ingin bertanya, tapi bingung. Di pikirannya ada nama Zidan, kenapa pemuda itu tidak datang lagi? Makanya pertanyaan itu lolos begitu saja.

"Mau makan?" tawar Devan.

"Gak suka sama buburnya, hambar. Mau martabak," balasnya.

"Lia, lo harus makan bubur. Ingat, lo masih sakit! Atau lo mau makan kuaci?" Tangan Sasa menyerahkan sebungkus kuaci kedepan Alia, tapi buru-buru dia tarik lagi. Sasa ingat, stok kuacinya sudah habis. "Eh, gak jadi. Kuacinya tinggal sebungkus lagi, kapan-kapan gue bagi sama lo."

"Dasar, maniak kuaci," cibir Indra.

"Serah gue dong, beli pake duit orang tua gue. Gak nyusahin elo, 'kan?" Indra menggeleng. "Makanya mingkem!"

Alia terkekeh geli melihat perdebatan mereka. "Kalian lucu, pasti udah taken, 'kan?"

Blush ... wajah Sasa seketika bersemu merah, begitupun dengan daun telinganya.

"Udah dong," jawab Indra dengan nada songongnya.

"Gue pamit," ujar Andra.

"Eh, Ndra! Gue ikut," tangannya menarik tangan mungil Sasa. "Ayok, Sa. Kita pulang, mumpung ada tumpangan gratis."

Sasa mendecak kesal. "Gue pamit, Lia. Semoga cepat sembuh!"

"Aamiin, makasih. Hati-hati di jalannya!"

Sasa mengacungkan jempolnya, dia segera membalikan badannya kedepan.

Devan pindah, dia segera duduk di kursi samping brankar. Dia mengambil mangkok bubur, kalau tidak di paksa, pasti Alia kelaparan.

"Aaa ... buka mulut lo. Gue tau, pasti lo laper. Buka mulutnya, pesawat mau mendarat." Alia menurut, dia membuka mulutnya.

"Buka lagi, masa cuman satu sendok." Alia menggeleng, perutnya sudah kenyang, dan juga rasanya tidak enak.

Devan menghela nafas, susah sekali membujuk Alia. "Mau cepet sembuh, 'kan? Makanya buka lagi mulutnya."

Alia tetap tidak mau, dia menatap Devan dengan pandangan memelasnya. "Udah kenyang, gue mau tidur."

"Nih, minum dulu."

Gluk! Gluk!

Alia segera merebahkan kepalanya, dibantu dengan Devan. Tangan kekarnya mengelus lembut kepala Alia yang di perban.

"Semoga cepat sembuh, Alia Qariera Wijaya!"

'Gu harap, lo jangan kaget saat tau, pacar lo lupa sama diri lo. Jangankan sama lo, sama gue aja lupa! Gue akan buat ingatan Alia pulih kembali, dengan cara perlahan.'

_______

Zidan [END]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang