"Lo beneran gak mau langsung pulang aja, Den?"
Ramainya Jalan Braga pada pukul tujuh malam menjadi pemanis obrolan keduanya selepas makan malam.
"Capek, Lin. Lo aja pulang sendiri kalau mau."
"Lo ngusir gue? Gak inget siapa yang maksa minta ditemenin ke sini?" Lintang mengadahkan tangan kirinya di depan Dena dengan mata yang tetap lurus ke depan. "Kasih gue ongkos balik."
***
Kepulan asap rokok mengudara dari setiap sudut kafe outdoor itu. Reyza yang tadinya selalu sesak nafas, kini sudah terbiasa.
Di kafe ini hanya cowok yang berkunjung, entah bagaimana hal ini terjadi padahal kafe itu dibuka untuk umum. Hal yang sangat diuntungkan bagi para cowok karena mereka bisa bebas melakukan apa saja tanpa perlu menghawatirkan ada cewek atau tidak.
Sejak pandemi, pengunjungnya tidak seramai dulu.
"Gimana sama Lintang?"
"Liat aja nanti kedepannya gimana."
"Lo suka?"
"Belum."
"Tapi lo gak kasih dia harapan apapun kan?" yang ditanya hanya menggeleng santai, "Gue cuman bilang, gue mau ketemu langsung sebagai teman nyata atau bahkan bisa lebih dari itu. Dan tadi gue bilang welcome to my world, Lintang Anindita, gitu."
Hampir saja Bagas tersedak kopi panasnya. Ternyata memang benar kalau orang pintar biasanya sedikit bego dalam hal percintaan.
"Trus menurut lo itu bukan kasih harapan?"
"Ya nggak lah."
"Ya Tuhan, tolong jelaskan pada manusia satu ini dan hindarkan ia dari rasa penyesalanya nanti," monolognya dramatis pada langit yang dipenuhi bintang-bintang.
"Za? Gue harap lo bisa beneran suka sama Lintang. Lo udah kasih harapan, curut!"
"Y-ya, I don't know, dia juga cuek-cuek aja. Berarti aman, kita liat aja kedepannya gimana."
"Gila!"
Hening kemudian. Keduanya menikmati kopi dan indahnya langit malam ini. Mereka menyadari bahwa ternyata langit jauh lebih cerah di saat pandemi. Ribuan bintang menyinari Bumi Pasundan yang juga dicintai banyak manusia.
Ada rasa senang sekaligus sesak yang kini dirasakan Lintang. Para penduduk bumi sedang beristirahat sekarang, termasuk Dena, namun ia masih terjaga. Ia tidak tahu mengapa tiba-tiba ia bisa merasakan hal itu dalam waktu yang bersamaan.
Pandangannya kosong ke depan, ia juga mengabaikan dinginnya udara malam di balkon hotel. Pintunya ia tutup rapat, jadi bisa ia pastikan sahabatnya itu tidak akan terganggu dengan terpaan angin malam dari luar.
Sakit itu semakin terasa saat ia memandangi foto berempat tadi sore sebelum berpisah. Ia ingat bagaimana tawa keempatnya menyatu layaknya sekumpulan manusia yang sudah lama saling mengenal.
Hangatnya sebuah pelukan masih bisa ia rasakan malam ini. Baru kali ini ia mendapatkan sebuah peluk dari seorang cowok. Rasanya sangat tenang dan aman.
Ia akui Reyza menge-treat-nya dengan sangat baik. Ia tidak sepenuhnya bangga karena ia masih belum tahu apakah perlakuan itu hanya untuknya atau untuk semua orang.
"Gue senang ketemu lo, meskipun gue ngerasa sakit. Semoga lo gak semenakutkan yang gue bayangkan."
Malam itu, akhirnya ia lontarkan kalimat yang sedari tadi bertengger di dalam kepalanya. Kalimat yang terus berputar menjadi berisik di dalam benaknya.
Perlahan kepalanya menunduk dan ia mulai merasakan dinginnya angin malam yang sedari tadi ia abaikan. Harap-harap mulai bermunculan, semoga sakitnya tidak nyata dan tidak terus berlanjut.
***
Makasih udah baca sampai sejauh ini🤗
Ceritanya blm selesai, ayo scroll lagi
Jgn lupa tinggalkan jejak ya🙌🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
Where are You? - [ END ]✔️
Teen FictionMari kita kembali pada tahun 2020, dimana masa pandemi dimulai. Semua berubah menjadi serba virtual, bahkan cinta pun berlangsung secara virtual. Entah bagaimana kaum remaja bisa cepat menjatuhkan hatinya hanya melalui untaian kata yang diketik den...