Suasana tempat yang menjadi kunjungan Araya kian ramai. Suatu supermarket dikenal karena harganya terjangkau dan lengkap menjadi incaran para orang tua memenuhi kebutuhan sehari hari.
Tangannya mengulur beberapa barang yang ia beli dari keranjang belanja ke pegawai kasir. Tak lupa mengeluarkan dua kartu khusus untuk ia gunakan. Satu sebagai kartu member supermarket dan satu kartu atm.
Setelah membayar dan mem-packing barang belanjaan, ia memesan uber dan memilih menunggu di lobby. Tak lama kemudian, mobil bercat hitam berhenti di hadapannya, sang driver turun dan membantu memasukkan barang belanjaan ke seat belakang.
Araya membalas chat dari kekasihnya yang ingin menjemputnya setelah kerjaan di kantor selesai. Namun perempuan itu mencegat agar tidak bekerja buru buru. Waktu mereka masih panjang untuk kencan, dan Araya sangat menyukai lelaki yang fokus membangun masa depan dengan tujuan visi yang sama. Dia adalah Giotama Mahendra.
Lelaki berusia 25 tahun itu sudah menjalin hubungan bersama Araya selama dua tahun, semenjak kelulusan di kampus yang sama. Tepat wisuda, Gio meminta menjalin hubungan bersama. Tentu saja Araya terima karena perjuangan mereka selama skripsi sangat bermakna dalam hatinya.
Setiba di rumah, Araya menyimpan barangnya depan kulkas dapur. Belum sempat ia menginjakkan kaki ke kamar, suara ketukan pintu rumah terdengar. Segera ia membalikkan badan, melangkah ke ruang tamu.
Tangannya menarik knop pintu, melihat dua sosok pria berdiri dengan tegap sembari tersenyum.
Araya mengernyit keningnya, "Om tamu Papa, ya?" tanya Araya sebelum lelaki paruh baya itu angkat bicara.
"Bukan tamu Papa kamu, Nak. Om tidak mencari Papa kamu."
Asing. Orang itu tidak pernah sekalipun muncul di rumah, ini pertama kalinya datang mengunjungi rumah keluarganya.
"Kalau begitu, silahkan masuk Om," Araya memersilahkan kedua lelaki tersebut masuk kedalam rumah dan mengarahkan duduk di sofa ruang tamu. Sementara ia berlari menuju kamarnya dengan tergesa gesa, mengambil ponselnya lalu menelfon Mamanya yang kebetulan lagi arisan di rumah sebelah.
Seusai mengabari Mama Ratna, Ia kembali menuju ruang tamu. "Ini Arayana Haninta? Anak kedua Ratna?"
Araya tersenyum kecil menanggapi ucapan pria itu. "Jangan malu malu Nak. Saya ini Om Dirga, sepupu Mama kamu."
Kening perempuan itu mengernyit. Araya tidak pernah tahu jika Mamanya memiliki sepupu kecuali Tante Gina, Tante Farah dan Om Sema.
"Kabar Om Dirga baik baik saja?"
"Kabar Om baik. Kita belum pernah ketemu sebelumnya?" tanya Om Dirga.
Mulut Araya hendak menjawab pertanyaan itu seketika terhenti kala seseorang samping Om Dirga menginstrupsi.
"Om sampai lupa sama anak sendiri. Nak Araya, ini anak Om namanya Anggara Dirgantara. Dan Angga, kamu sudah tau Araya, kan?" Om Dirga mengenalkan kedua insan dengan saling menjabat tangan.
Suasana dalam rumah itu menjadi hangat, Om Dirga menanyakan banyak hal mengenai Araya beserta hal lain yang belum Araya ketahui. Bahkan, Araya tidak lagi merasa canggung karena penuturan Om Dirga yang selalu membuatnya ketawa.
Tanpa Araya sadari, Angga tidak henti meliriknya. Semua tindakan dan perkataan Araya saat menyambutnya telah tersimpan dengan jelas dalam memori otaknya. Bibir yang membentuk senyuman manis dan kedua mata yang ikut tersenyum saat si pemilik mengeluarkan senyuman manis dari bibir tipis itu menjadi candu Angga.
"Om boleh istirahat di kamar ini. Kalau butuh sesuatu bisa panggil Bibi Yana, ya." ujar Araya sembari menuntun Om Dirga ke kamar tamu.
Rumah Araya tidak terlalu luas namun cukup jika ada tamu yang akan menginap. Dengan 3 kamar tidur di lantai bawah, 3 kamar tidur di lantai atas serta garasi kecil yang bisa mengisi kendaraan milik keluarga Fernanda.
Araya berucap lagi, "Untuk Kak Angga boleh tidur di sebelah kamar Om Dirga atau satu kamar di lantai atas. Sisa Kak Angga pilih saja."
Merasa namanya disebut, Angga menoleh lalu menatap wajah gadis itu. Tanpa menjawab juga, Angga memilih tidur di lantai bawah dekatan dengan kamar Om Dirga.
"Kamu mau keluar?" tanya Om Dirga.
Araya yang menyalakan lampu kamar, membalikkan badannya, "Iya Om, Araya mau keluar. Tidak apa apa kalau Araya tinggal sebentar?"
Baru saja Om Dirga akan menjawab, lelaki didepannya menanyakan hal ini.
"Mau kemana?" tanya Angga
Kenapa melihat tatapan tajam Angga membuat Araya sedikit menciut takut. Ada apa sebenarnya?
"Jalan bareng teman Kak"
"Sama siapa?" tanyanya balik.
"Teman kantor. Kak Angga butuh sesuatu?"
Setelah tak ada lagi Om Dirga, Angga melangkah maju ke Araya dan menganggukkan kepalanya.
"Saya butuh sesuatu."
Tubuhnya sedikit terhimpit antara tembok dan badan kekar Angga. "Boleh Araya tau, Kak Angga butuh apa? Biar Araya bisa beliin nanti."
Bibir Angga membentuk senyuman kecil di sudut bibirnya.
"Kamu, Araya"