Bagian 6

2.3K 145 7
                                    

Kini suasana malam hari di rumah Oma sangat ramai. Berbagai anggota keluarga yang datang menguasai beberapa ruangan termasuk ruang santai yang biasanya Araya gunakan ketika suntuk sehabis pulang kerja.

Para tetangga juga ikut meramaikan dengan hadir di halaman rumah, melakukan permainan kartu domino dominan oleh bapak-bapak, dan anak muda tengah berkumpul bersama termasuk Gharvi.

Perasaan bersalah menyelimuti hati Araya setelah meninggalkan Gharvi pasca insiden Angga menarik paksa dirinya untuk pulang. Dengan langkah pelan, Araya mendekati dan memanggil nama Gharvi. Sekilas laki-laki itu melirik ke Araya lalu kembali menatap teman sekitarnya.

Tidak mendapat jawaban, Araya hendak kembali masuk ke dalam rumah tapi tiba-tiba tangan Gharvi menahanannya dan menuntun duduk sampingnya. Raut wajah Araya seketika berubah, dari yang memberengut kecewa sampai tersenyum lega.

“Abang nggak marah sama Araya?”

“Kamu buat salah emang?” Alis Gharvi terangkat sebelah tanpa melihat ke arahnya.

Tingkah Araya pas manggil Gharvi itu bener-bener gemesin banget. Dan sebenarnya juga Gharvi enggak sepenuhnya mengabaikan Araya, dia melirik sekilas sambil mengode lewat tatapan matanya agar Araya duduk tepat di sampingnya namun perempuan itu salah mengartikan semuanya.

“Kalau kamu enggak ada salah, jangan main kabur saja.” Tangan Gharvi menarik kursi Araya lebih dekat lagi.

“Oke Abang baik banget.”

“Sama kamu doang”

“Maksudnya?”

Gharvi tidak menjawab. Laki-laki itu melanjutkan pembicaraannya bersama temannya. Diabaikan begitu saja tidak membuat Araya marah atau kesal karena setelahnya Araya diberikan ponsel oleh Gharvi.

Yang Araya lakukan pada ponsel Gharvi selfie, memasukkan nomor ponselnya yang ternyata sudah ada di kontak, saling follow akun media sosial, dan diam-diam Araya meng-upload hasil selfienya ke akun milik Gharvi namun urung mengingat sesuatu.

“Abang punya pacar gak?” Bisik Araya karena suasana semakin ribut.

Secepat itu Gharvi menoleh hingga hampir hidung mereka bersentuhan, “Kamu bertanya seperti ini karena mau sesuatu?”

Araya menggeleng “Enggak. Aku nggak butuh sesuatu dari Abang.”

“Terus?”

“Araya pengen upload hasil foto di akun sosmed Abang. Jadi sebelum itu aku pengen mastiin ada apa enggak. Gimana boleh nggak?”

Jari Gharvi terulur merapihkan helaian rambut Araya ke belakang telinga, “Selama yang kamu pengen Abang bisa lakukan, kenapa nggak boleh?”

“Bahasa Abang baku banget,”

“Loh, dari jurusan sastra indonesia tapi nggak bisa paham ucapan Abang. Kamu lulus karena joki, kan?”

Araya mendelik sinis, “Mana ada aku pake joki. Lihat hasil print aku di gudang seberapa banyak baru ngomong gitu?!”

“Kamu ini nggak bisa di ajak bercanda. Udah, upload foto kamu sana.” Gharvi menepuk pucuk kepala Araya kemudian kembali berbincang dengan temannya.

Mendengar persetujuan dari sang empu, Araya langsung upload. Ting! Selesai sudah. Tapi anehnya belum sampai lima menit, deretan direct message masuk memenuhi ruang notifikasi Gharvi.

Merasa terganggu, Gharvi balik badan lalu menanyakan kenapa ponselnya terus mengeluarkan suara.

“Dari siapa”

“Fans Abang” jawab Araya sembari mengembalikan ke pemilik ponsel.

“Kenapa dikembaliin?”

“Kan ponsel Abang.”

“Maksud aku, kenapa bukan kamu yang balas pesan mereka?”

Araya membalik paksa tubuh Gharvi menghadapnya, mengambil ponsel itu dan membuka pesan paling pertama. “Kita balas sama-sama ya. Kalau sendiri doang aku susah nyusun kalimatnya, bisa tersinggung juga kalau salah kata. Oke Abang?”

Laki-laki itu tampak antusias. Mengikuti arahan Araya. Menjawab apapun dari pertanyaan fansnya.

Dari kejauhan, Bara tengah resah karena tidak mendapat satu balasan dari kekasihnya. Berulang kali Bara menelfon sang kekasih namun suara operator yang ia dapatkan.

Secara spontan nama tetangga Araya muncul di kepala Bara, tangannya mengetik nama orang itu lalu menelfon. Tak lama telfon itu tersambung.

"Halo?"

"Araya?" Dahi Gio mengernyit saat Araya yang ngangkat telfon itu.

"Kamu Gio?"

"Kamu habis dari mana? Aku Telfon kamu kenapa nggak aktif? Aku telfon berkali-kali tetap aja nggak ada jawaban."

"Pelan-pelan ya Gio. Ponsel aku lagi pengisian daya di kamar, aku nonaktif supaya cepet penuh. Ada sesuatu ya sampai kamu panik banget?"

Helaan nafas kasar terdengar "Dengar aku baik-baik. Alasan aku panik sama kamu itu ada sama kamu sendiri penyebabnya. Kamu nggak ada kabar seharian, aku samperin di kantor tapi pulang lebih dulu, aku tanya ke Mama kamu belum nyampe rumah. Ponsel kamu nggak aktif. Dan masih polosnya kamu nanya kenapa aku panik?"

Araya merenung. Ini memang salahnya sendiri karena lupa memberikan kabar kepada kekasihnya. Lebih mengutamakan menghabiskan waktu dengan laki-laki lain. Terkesan jahat dan itulah yang Araya lakukan.

"Aku matiin telfon ya. Nanti aku telfon balik. Oke?"

"Sekarang apa lagi?"

"Enggak aku tinggalin. Aku mau kembaliin ponsel Abang Gharvi. Jangan marah dulu, tahan emosinya, tarik lalu buang nafas. Perlahan aja."

Dan Gio ngikutin arahan Araya yang sebenarnya ingin mengalihkan semuanya.

Kan luluh juga pertahanan Gio karena kekasihnya.

Nggak jadi marah.

Namun sebelum Araya mematikan sambungan telfon itu, ponsel Gharvi tiba-tiba melayang dan dilempar ke jalanan. Araya terpekik melihat ponsel Gharvi terlempar kasar hingga pecah. Tangannya bergetar menyaksikan depan matanya tanpa ada sebab.

Dengan emosi memuncak, Araya balik badan hendak menampar sang pelaku, tangannya terangkat ke udara ingin melayangkan ke pipi sang pelaku namun secepatnya tangan orang itu menahannya kemudian menarik maju masuk ke dalam rangkuhannya.

"Sudah begitu jauh cara kamu, Arayaku," bisik tepat dekat telinga Araya. Sebelah tangannya merengkuh pinggang kecil gadis   dalam dekapannya. Meremas pelan dan mengatakan

"Aku tidak suka gadis murahan. Tapi kenapa kamu melakukannya?" Tangannya semakin menarik masuk ke dalam pelukannya hingga tak ada jarak.

Sementara Araya tidak berbuat apapun, jika ia memberontak yang ada perlakuan Angga akan semakin jauh. Tapi tanpa melakukan perlawanan Angga semakin seenaknya kepada dirinya.

Araya mulai berontak dalam rengkuhan itu, bergerak kanan ke kiri agar tangan Angga terlepas dari pinggangnya namun yang ada kedua tangan Angga tambah memeluk semakin erat dan kesempatan buat kabur sangat susah.


ANGGARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang