Bagian 11

1K 81 3
                                    

Suara alarm terdengar pada ponsel yang ada di atas nakas. Pukul 05.00 sampai 07.00 pagi sang pemilik ponsel masih belum sadar dari mimpinya. Ketukan pintu dari luar disusul suara Mama Ratna menggelegar. Araya yang kurang jam tidur terpaksa menutup kedua telinganya dengan menggunakan bantal.

Tok!

Tok!

Tok!

"Bangun Araya?! Jam berapa kamu berangkat ke kantor kalau masih tidur!"

"Mama dobrak nih pintu. Biar sekalian rusak, besok-besok Mama nggak perlu ketuk pintu kamu lagi!"

Masih belum mempan, Mama Ratna tak kehabisan ide. Segera ia turun ke lantai satu untuk mencari sesuatu yang bisa membantu membangunkan anak bungsunya dari tidur. Sementara Araya yang merasa sudah tidak ada suara kembali melanjutkan tidurnya dengan menarik selimut hingga ke leher.

"Mama bawa panci dan spatula ke atas buat apa? Dapur Mama 'kan ada di belakang." Papa menghentikan posisi istrinya di anak tangga keempat.

"Anakku susah dibangunin. Mama teriak teriak, gedor pintunya nggak ada hasil. Tuh anak lanjutin tidur."

"Anak kita berdua, sayang. Papa gak suka Mama bilang anak kamu saja." Tangan Papa menuntun badan Mama untuk turun ke lantai satu.

Sampai di ruang makan, Papa mengarahkan istrinya duduk di kursi. "Biar Papa yang bangunin anak kita. Kamu duduk dan tunggu di sini." titah Papa setelah mencium kening istrinya dan mengusap pundaknya.

Kaki Papa terhenti pas sosok Angga keluar dari kamar tamu. Angga melihat Papa Fernanda menerbitkan senyum, menyapa. "Om naik ke atas sendirian?" tanya Angga tak melihat wanita yang selalu mengikuti suaminya seperti anak kucing.

Papa Fernanda menyuruh mendekat dengan gerakan tangannya. Dengan cepat Angga jalan.

"Papa kamu belum bangun?" tanya Fernanda sembari melangkah ke depan kamar anaknya.

"Jam segini Papa sudah ada depan komplek. Jalan pagi sambil lihat tetangga, Om"

"Aktif juga Papa kamu."

"Karena paksaan Bunda. Tiap pagi Bunda pasti telfon Papa supaya bangun terus lakukan rutinitas pagi."

Empat langkah lagi mereka berdua sampai depan kamar Araya. Sebelum melangkah lagi, Fernanda berhenti membuat Angga ikut henti, alisnya terangkat sebelah.

"Ada yang mau Om bicarakan sama kamu. Apa malam ini kamu sibuk?" tanya Fernanda karena beberapa hal yang harus beliau komunikasikan meskipun tidak ada pengaruhnya. Hanya saja pikiran Fernanda menyuruh untuk berbicara hal itu melibatkan Angga dan Dirga.

Angga menggeleng. "Kerjaan Angga sampai sore, Om. Bisa Angga luangkan waktu untuk Om. Bicara di rumah atau diluar, Om?"

"Taman belakang saja. Pembicaraan yang akan disampaikan bukan memberatkan kamu hanya meminta saran."

"Angga nggak merasa keberatan apalagi direpotkan. Om boleh cerita dan nyuruh Angga apapun."

"Kamu memang terbaik" tangan Fernanda menepuk pundak laki-laki itu dan tersenyum. Angga mendengar pujian itu seperti mendapat lampu hijau dari calon mertua. Ah, Araya. Gadis bandel itu.

Fernanda mengetuk pintu anaknya.

Tok!

Tok!

"Putri Papa sudah bangun belum?"

"Hari ini hari kerja. Kamu siap-siap dulu. Kamu bisa terlambat kalau masih tidur! Kamu ada seminar, kan?

Araya sedikit sadar mendengar suara Papa. Dengan malas ia mengucek matanya. Menyibak selimut. Turun dari kasur lalu jalan ke daun pintu. Tangan Araya membuka pintu itu dan melotot tak percaya. Ia melihat orang yang harus dihindari. Baru saja ia hendak menutup pintu, sebuah tangan kekar menahannya lalu mendorong ke dalam.

"Dengar ucapan Papa kamu." tegas Angga melihat tatapan Araya. Ia dan Angga saling menatap selama sepuluh detik. Araya yang penuh permohonan untuk berhenti mendekatinya dan Angga memandangnya dengan obsesi gila.

"Papa tunggu di bawah, ya. Kamu siap-siap sebelum jemputan kamu datang atau naik kendaraan sendiri?" Papa mengelus pucuk rambut anaknya.

"Tunggu Mas Gharvi jemput Araya."

"Lho, Gharvi gak kantor?" tanya Papa. Sementara Angga mendengar hal itu, mengepalkan tangannya kuat. Raut wajah tak terima dan tatapan tajam memandang Araya. Kepalanya menggeleng pelan menyuruh Araya tidak berangkat bersama laki-laki lain.

Perempuan dengan baju tidur itu tak perduli. Setelah menjawab pertanyaan Papa, Araya langsung menutup pintu kamarnya dan mengambil pakaian hari ini. Melangkah masuk ke kamar mandi. Seusai bersih-bersih dan makeup tipis, tangan Araya menarik pintu kamar mandi, keluar bersiap menyiapkan perlengkapannya. Setelah keluar, Araya dikejutkan dengan sepasang tangan melingkar di pinggangnya, kepala yang bersandar di pundaknya. Pikiran Araya seketika kosong. Niat awalnya menyiapkan perlengkapan serta membersihkan kasurnya, kini dihentikan oleh seseorang di belakangnya. Tubuhnya membeku saat hembusan nafas laki-laki itu mengenai lehernya.

Araya juga belum mengetahui siapa laki-laki dengan lancang memeluknya. "I-ini siapa?" Pandangan Araya turun melihat tangan kekar putih dengan erat memeluk perutnya dari belakang.

Tak ada jawaban. Araya tidak bisa menebak. Sekali lagi Araya bertanya dan berharap dugaannya benar. "Siapa kamu? Mas Gharvi?"

Setelah mengeluarkan kalimat pertanyaan itu, tubuh Araya ditarik makin kuat masuk ke dalam dekapan orang itu. Kepala orang itu bersentuhan dengan rambutnya bahkan ia merasakan kalau orang itu mengecup rambutnya berulang kali dengan rakus.

"L-lepas. Gue sesak nafas!"

Nafas Araya tak teratur. Perutnya yang dipeluk kuat membuat ia kesulitan menarik pasokan udara.

"Jangan menyebut nama bangsat itu."

Suara itu menyadarkan Araya. Dia bukan Mas Gharvi. Araya menyadari bahwa Mas Gharvi tak pernah melakukan hal sekasar ini.

"L-lo Kak Angga?"

"Yes, here i am. Kamu." kata Angga setengah berbisik. Mengoreksi panggilan Araya. Lo - Kamu.

"Pintu kamar tadi gue kunci. Lo kenapa bisa masuk?"

"Kamu"

"Haa? Apaan sih?"

"Aku gak akan jawab sebelum kamu mengganti panggilan untukku."

"Mau lo apa? Kan bisa ngomong di bawah"

"Kamu, Araya atau aku nggak bakal lepas posisi kita"

"Iya-iya. Kamu ngapain di kamar gue"

"Araya" desis Angga sekali lagi mendengar panggilan yang belum berubah. Angga merasa dirinya tak sedekat itu dengan Araya maka ia harus menyuruh panggilan gue-lo menjadi aku-kamu.

Helaan nafas Araya keluar. Ia tidak tau keinginan Angga ke kamarnya sampai memeluknya seperti ini dalam hal apa.

"Sarapanku ada sama kamu." ujar Angga kemudian memutar posisi Araya. Menghadap Angga. Ia menundukkan kepalanya agar sejajar dengan wajah gadisnya.

Tangannya menjulur ke helaian rambut di wajah Araya, menyampirkan ke belakang agar ia bisa memandang perempuan ini dengan puas. Matanya menyorot secara dalam setiap inci wajah gadisnya, dari mata yang teduh, hidung, bibir tipis yang sialnya pagi ini memancing gairah Angga. Bibir Araya dipoles dengan lipstick pink dan cukup mengkilap membuat Angga tak suka. Angga menaruh tangannya di tengkuk Araya lalu tanpa aba-aba Angga menarik maju kepala Araya ke pipinya. Araya mencium Angga!

Sontak Araya melotot terkejut. Ia cepat cepat hendak menjauh namun Angga manahannya kuat. "Tunggu selama sepuluh detik sampai lipstick kamu hilang."

"Si-sialan!" Ucapan Araya tertahan.

"Jangan memamerkan riasan wajahmu di depan orang lain. Hanya aku boleh melihatnya"

Setelah itu Angga melepaskan tak rela. Angga melakukan itu bukan di bibirnya karena ia ingin Araya mengecapnya sebagai laki-laki baik. Pipinya tercetak sebuah bentuk bibir dengan lipstick pink.

"Kamu gila"

"Itu karenamu, sayang."

.
.
.

Ayolah vote. Gratis kok supaya makin semangat.

ANGGARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang