Bagian 8

1.8K 144 19
                                    

Seketika matanya terblalak kaget mendengar suara benda terjatuh dari belakang. Ritme jantungnya berdetak kencang, nafasnya tersendak. Ia membalikkan badan dan menemukan Oma masih dalam keadaan baik-baik saja, berdiri menjauh pot yang jatuh mengenai meja kaca. Ia menghela nafas panjang setelah mendapati tak terjadi apapun. Tangannya memegang tepat pada jantungnya yang masih berdetak kencang.

"Ah tendanganku meleset rupanya. Posisi Oma kurang pas, ya, sayang. Apa harus mencobanya lagi?"

"Jangan!" Seru Araya cepat agar orang itu tidak melukai Oma. Pandangan Araya terangkat menuju cowok itu, menunjukkan tatapan memohon agar berhenti melukai salah satu keluarganya.

"Kau begitu menyedihkan. Ada apa dengan tatapan memohonmu itu? Mau aku tidak melukainya?"

Secepatnya Araya mengangguk masih tatapan memohon, bahkan bibirnya ikut bergetar, "Aku mohon jangan lakukan itu."

"Suaramu sangat menggodaku. Apa kau sedang memohon lagi?"

"Apapun itu asal jangan melukai Oma. Dia sangat berarti untukku,"

"Lalu aku?"

.

Setelah menetralkan perasaan heebie jeebies, Araya merebahkan tubuhnya di atas kasur miliknya. Memejamkan matanya. Orang gila itu berhasil membuat Araya hampir jadi gila juga. Jika saja itu terjadi Araya tak akan memaafkan dirinya dan sang pelaku. Debaran karena kilasan ancaman masih terasa. Ia memijat keningnya pelan, menghilangkan rasa pening.

Tok! Tok! Tok!

"Raya? Lo ada di dalam gak?"

Suara ketukan pintu serta suara sepupunya membuat ia membuka kedua matanya. Bernafas pelan melalui mulut, segera ia beranjak menuju pintu mempersilahkan Greya masuk ke dalam. Baru saja pintu terbuka, tak hanya ada satu manusia, Greya akan tetapi sosok lain ikut berdiri menunggu Araya membuka pintu. Tatapannya terpaku pada sosok itu yang sedikit memberikan atmosfer berbeda beberapa saat.

"Ray?"

Lamuman Araya tersentak, raut wajahnya berusaha kembali normal agar Greya tak menyadari apa yang Araya rasakan. Mendapat izin dari pemilik kamar, tangan Greya menggandeng tangan sosok itu sebelum masuk. Duduk tepat depan ruang santai dalam kamar Araya. Tak ingin ada apa-apa pintu kamar ia biarkan terbuka.

"Kok pintunya nggak tutup?"

"Gapapa, barang kali ada yang panggilan dari bawah, jadinya harus gerak cepat," alasan Araya terpaksa duduk lasehan tepat samping sosok itu karena dekat posisi pintu kamar.

Mereka bertiga menikmati waktu bersama, menonton serial netfix, memakan cemilan yang Greya bawa. Namun sepertinya hal itu tidak termasuk Araya, karena setelah serial mulai sebuah tangan menjangkau tangan kirinya, menyentuh pelan, dan mengenggam erat. Kepala Araya melirik pada sang pemilik tangan, yang dibalas dengan alis terangkat sebelah. Ia berusaha melepas tautan kedua tangan itu, tidak menimbulkan suara atau gerakan tambahan agar Greya tidak menyadari sekitarnya, semakin berusaha hendak melepaskan tangan Araya semakin digenggam kuat bahkan orang itu membawa tangan Araya kebawah pahanya.

"Sedang apa kalian?"

Sontak Araya menjauhkan tangannya lalu menoleh ke samping tepat ke arah sumber suara, Mamanya. Dari pandangan Mama tertuju pada kedua manusia saling berdekatan. Memicingkan matanya, Mama maju melangkah masuk ke arah mereka bertiga.

“Greya pacaran dengan Angga?”

Mendengar hal tersebut ia menghela nafas lega ternyata bukan dirinya. Tapi sebuah suara geram dari arah samping membuat Araya menoleh, kala matanya bertemu dengan mata setajam tatapan elang itu mengernyitkan dahi bingung. Secepatnya ia beralih kepada Mamanya yang memilih duduk atas ranjang.

“Iya, Tante, doain supaya segera Greya jadi kekasih Bang Angga,” tutur Greya nada malu serta mengode laki-laki yang juga menatap Greya.

“Kalau gitu Araya kenapa ikutan santai disini, lebih baik bantuin Mama masak buat persiapan makan malam. Jovan akan tiba sebentar lagi, kamu nggak siap-siap?”
Mata dan mulut Araya membulat setelah mendengar ucapan Mama yang mengatakan si pemilik alis tebal itu akan segera tiba, di sini, rumah Oma, bersama keluarganya.

“Dari kapan, Ma?” tanyanya semangat membara. Ia beranjak berdiri mendekati Mama.

“Loh, Jovan enggak kabarin kamu?”
Kepala Araya menggeleng cepat. “Cepet siap-siap. Ngapain malah tinggal nanya sama Mama. Sana buruan,”

“Siapa Jovan?”

Suara berat itu menghentikan Araya yang ingin bergerak mengambil ponselnya. Tubuh Araya seakan membeku tak mampu memberikan respon apapun, sementara Greya dan Mama menjelaskan siapa sosok yang membuat gadis impiannya jadi semangat.

“Dia tidak sepenting itu buat kamu” desis Angga tertuju pada gadis telah menghilang dari pandangannya.

•°°•

“Jovan!”
Merasa namanya dipanggil, Jovan membalikkan badan dan menemukan seseorang yang sangat ia rindukan selama melanjutkan pendidikan di negeri paman sam. Kakinya ikut berlari menghampiri perempuan itu lalu memeluk sangat erat.

“Adek Abang makin gede,” disela pelukan Jovan sedikit bingung kala orang tak dikenal memandang mereka dengan tatapan setajam pisau. Bulu kuduk Jovan berdiri mendapati tatapan asing itu.

Araya melepaskan pelukan, tersenyum ngeledek, kemudian mencubit pipi Jovan dengan gemas. “Susah belajarnya nggak?”

“Sedikit rumit,” jawab Jovan

“Rumit apa susah?” tanyanya dengan raut mengejek.

“Sedikit rumit berarti cukup mudah juga.”

“Elah, Abang ngaku aja. Araya, kan, jadi semangat pengen lanjutin kuliah sama kayak Abang,”

“Nggak bisa!”
Sontak Araya dan Jovan menatap Angga dengan tatapan heran. “Ma-“ ucap Araya yang langsung dipotong oleh Angga.

“Pulang. Sudah malam,”

“Yang ngomong siang juga siapa,” ejeknya tapi tetap mengikuti perintah Angga didepan sana.

Setelah memasukkan barang Jovan, hendak masuk kursi tengah yang kebetulan Jovan telah duduk itu tertahan kala tangannya ditarik kuat Angga menuju kursi penumpang depan.

“Masuk”

“Enggak!” Angga menghela nafas jengkel

“Masuk aku bilang”

“Lo kenapa, sih, maksa gue,”

“Sekali lagi masuk Araya!”

Mendengar perbedabatan di luar, Jovan menengahi mereka. Menyuruh Araya mengalah duduk di depan sesuai perintah Angga.

“Tau gini lebih baik gue sendiri jemput Abang” gumam Araya menatap luar kaca mobil,

“Coba ulang,” Angga denger ucapan Araya dari sampingnya, sekecil apapun itu selama dekat Araya Angga akan selalu menajamkan fungsi telinganya. Sedangkan Jovan merasa bingung dan janggal melihat dua sosok manusia berbeda jenis itu seperti saling bermusahan.

“Kalian pacaran?” tanya Jovan pelan karena menurutnya sedikit sensitif.

“Iya!” “Enggak!” suara mereka menjawab pertanyaan Jovan, membuat lelaki duduk kursi tengah sedikit terkejut. Mendengar jawaban satu sama lain, Araya menoleh ke belakang kemudian menegaskan, “Sampai kapanpun dia bukan pacar Araya. Abang yang jadi saksi,”

Angga mendengar hal itu hanya menarik sudut bibirnya kecil. “Akan aku buktikan ucapan siapa yang akan jadi kenyataan,”

•°°•

jujur sedih banget peminat angga araya menurun sekali padahal udah ngetik bab selanjutnyaaaa... huhuhu

Tapi ga boleh nyerah, kalian harus semangat ngasih dukungan cerita aku supaya aku juga semangat untuk upload kisah angga mendapatkan araya yang ternyata susah betulll:'


ANGGARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang