1. Bangku Tua

189 103 142
                                    

"Cantik, anak ibu selalu cantik."

Ibu, sangat pandai membuat pagi ku menyenangkan. Entah mulai dari pujian, semangat, atau doa yang tidak terucap.

"Aku berangkat dulu ya, mau nyantai dulu di kampus." Aku berpamitan dengan kedua orang tuaku dan kakak laki-lakiku.

Sekarang masih pukul setengah delapan pagi. Kelas ku akan dimulai satu jam lagi. Aku memilih duduk di bangku kesukaanku. Sangat jarang orang lain yang mendudukinya. Mungkin karena terlihat lusuh. Tapi bagiku, bangku itu istimewa. Entah dimana letak istimewanya, bangku itu yang menemaniku setiap waktu kosong ku.

Aku mengeluarkan sebuah novel dengan cover yang bertuliskan Garis Waktu dari dalam tas ku. Ya, aku suka membaca novel. Terutama perihal cinta. Padahal, aku sendiri tidak tahu apa makna cinta yang sebenarnya. Merasakan cinta? Ah tentu aku pernah. Cinta dari dan kepada orang-orang terdekatku.

Kembali pada hal yang kulakukan sekarang. Aku mulai fokus pada setiap kata yang ku baca. Memahami bagaimana cerita itu berjalan. Di halaman lima puluh tiga, aku berhenti dari aktivitasku. Menatap seorang pemuda berkacamata yang duduk di sebelahku. Dia melihat mataku, seolah tahu apa yang aku pikirkan.

"Gue Gara." Pemuda itu mengulurkan tangannya, matanya berbicara 'mari bersalaman'. Aku menjabat tangannya.

"Aca." Jawabku singkat, lalu aku menutup novelku dan menaruhnya di atas meja.

"Gue udah tahu, dari tas lo ada namanya Aca. Hmm, nama yang bagus."

Ah aku lupa jika tas ku ini adalah hadiah dari ibu tahun lalu. Beliau sengaja memesan tas dengan bordiran namaku. Entahlah, aku tidak tahu maksud ibu. Jelasnya, tas tersebut kugunakan saat awal masuk universitas. Tepatnya satu hari setelah ibu memberikannya.

Aku sedikit tersenyum, lalu ku ucapkan terima kasih padanya. Ku anggap itu adalah sebuah pujian untuk orang tuaku yang telah memberikan nama padaku.

"Maaf, aku permisi dulu, karena ada kelas sekarang."

Aku melangkah pergi meninggalkan lelaki yang masih setia duduk di bangku tua itu. Bukan maksudku tidak menghargainya, memang kelasku akan segera dimulai. Maka dari itu tidak ada perbincangan panjang di antara aku dan dia.

✿✿✿

"Assalamu'alaikum, aku pulang!"

Sepi, begitulah suasana di rumahku di siang hari. Ralat, rumah orang tuaku. Aku menuju kamarku, lalu melihat Ibu yang sedang berdiri di dapur. Sepertinya sedang memasak untuk makan siang. Aku menghampirinya, mencium punggung tangannya dan kemudian kedua pipinya.

"Mas di mana, Bu?" tanyaku yang melihat ibu menata hasil masakan di meja. Ah, bukanya aku tidak ingin membantu ibu. Tapi aku belum membersihkan diriku.

"Main sama temennya," jawabnya singkat

"Oh ya udah, Aca mau ke kamar dulu Bu."

Setelah ibuku mengatakan 'iya' aku melangkah menuju kamarku, membersihkan diriku, lalu menemani ibu makan siang. Jika ditanya ayah ada di mana, jawabannya adalah beliau sedang bekerja. Biasanya, sore baru pulang.

Acara makan siang yang dihadiri oleh ku dan ibu telah selesai, aku kembali ke kamarku. Otakku tertuju pada novel yang belum habis ku baca. Aku membuka tas ku, mencari keberadaan buku itu. Hasilnya nihil, buku itu hilang. Aku berusaha mengingat di mana aku meletakkannya.

"Huh, ini otakku kenapa sih. Sama satu novel aja lupa."

Bermonolog seperti orang gila memikirkan jika novel itu di ambil oleh orang lain. Inginku kembali ke kampus, tapi aku terlalu nyaman dengan kasur yang ku duduki sekarang. Aku berpikir positif, mungkin penjaga kampus akan menemukannya. Lalu esoknya aku akan menanyakan bukuku yang tertinggal.

✿✿✿

Sengaja bangun pagi untuk pergi ke kampus hanya untuk satu novel yang tertinggal. Meskipun hari ini aku tidak ada kelas, aku rela demi satu buku itu. Begitu pentingkah novel itu? Tidak terlalu, hanya saja aku menyayangi buku-buku ku.

"Aca, apa gak mau sarapan terlebih dahulu?"

"Enggak Bu, aku akan sarapan di kampus aja." Tolak ku pada ibu.

"Sebentar, ini bekal untuk Aca. Jangan lupa dimakan oke. Selesai urusannya langsung pulang!"

Begitulah ibukku, selalu membuatkan bekal roti dengan selai coklat didalamnya. Aku berpamitan pada mereka yang tengah sarapan. Mencium punggung tangan ibu dan ayah. Melakukan tos bersama Mas Ariel, lalu berjalan keluar menuju garasi.

Pukul tujuh pagi aku sampai di kampus. Aku memarkirkan motor beat milikku di parkiran. Segera ku cari penjaga kampus dan menanyakan novelku yang tertinggal.

"Bapak ndak tau nduk, coba tanya ke Pak Sarpan. Mungkin beliau menemukan bukumu nduk."

Pak Sarpan, beliau adalah salah satu tukang kebun di kampusku. Memang beliau terlihat lebih sering membersihkan taman yang sering aku kunjungi. Mungkin saja Pak Sarpan yang menemukan bukuku.

Aku menuju taman kampus, mencari seorang paruh baya untuk menanyakan satu novel yang belum selesai ku baca.

Ternyata jawaban Pak Sarpan sama dengan penjaga kampus. Mereka tidak tahu keberadaan bukuku.

Pasrah, hanya itu yang bisa kulakukan. Memilih duduk pada bangku tua kesukaanku. Berperang dengan pikiranku tentang buku yang hilang.

"Lo lagi nyari novel?"

Mataku tertuju pada pemuda di samping ku yang tiba-tiba duduk dan bertanya seperti itu. Ah, bukankah dia laki-laki berkacamata yang kemarin. Ya, itu benar dia.

"Eh, bagaimana kamu tahu aku sedang mencari novel?" tanyaku bingung.

"Kemarin ketinggalan di atas meja."

Dia menyodorkan buku yang kucari. Aku menerimanya. Ah maksudku, menerima bukuku yang dikembalikan olehnya.

Ku ucapkan terima kasih padanya, dia menganggukkan kepalanya. Kami saling diam, sibuk dengan angan-angan yang berputar di dalam kepala.

"Lo tahu gak, setiap cerita yang dimulai tidak akan pernah ada selesainya. Bahkan ketika tokoh itu mati, maka dia akan melanjutkan ceritanya di alam yang berbeda bukan?"

Keheningan di antara kami pecah, dimulainya suara lelaki di sampingku. Aku tidak tahu akan merespon bagaimana. Aku hanya melihatnya dan tersenyum. Tanpa menatapku, dia kembali berbicara.

"Kadang gue mikir, gimana bisa orang-orang menyebut bahwa cerita mereka berakhir menyenangkan, atau bahkan menyedihkan."

Dia melihat mataku yang sedari tadi menatapnya sedang berbicara. Tanpa ku sadari, bibirku tersenyum tipis.

"Hmm, jangan natap gue kayak gitu. Gue terlalu banyak ngomong untuk perkenalan awal kita. Lo pasti kurang suka."

Aku memalingkan wajahku, menghindari kontak mata dengannya. Menatap lurus ke depan.

"Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?"

"Bukan seperti itu, justru lebih menyenangkan bukan? Sejatinya mendengarkan dan didengarkan orang lain lebih asik ketimbang diam dan dipendam bukan?" lanjutku dengan menatap matanya.

Sambil menunjuk orang-orang berlalu lalang di lingkungan kampus, dia berkata,

"Lihat mereka, sibuk ke sana ke mari mengejar waktu. Padahal kita tahu bahwa ending dari sebuah waktu akan sama."

Aku menatap apa yang ditunjukkan olehnya, lalu dia tersenyum menoleh ke arahku.

"Pergi dulu ya, ada kelas. Next time ketemu lagi."

Dia berdiri dari tempat duduknya, lalu mengacak rambutku dan berlalu begitu saja meninggalkan perasaan aneh di dalam diriku. Dasar manusia, terlalu mudah terbawa perasaan.

Aku memperhatikannya, jalannya terlihat kaku namun pembicaraan dengannya hari ini membuatku ingin selalu mendengarkan ceritanya.

Hari itu, dengan taman kampus dan bangku tua yang kami duduki menjadi saksi dimana cerita yang tidak pernah selesai, itu dimulai.

✿✿✿

Aeonian Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang