The Reason

174 27 7
                                    

Dari Sudut Pandang Seorang Ning Yizhuo

Hari ini, ketika aku baru saja sampai di lobi kantor setelah seharian bekerja, aku kembali mendapati Lee Jeno ada di sana–menjemputku, apa lagi. Dia melakukan ini nyaris setiap hari terutama semenjak kami resmi bertunangan. Menyebutkan tentang itu, aku masih benar-benar tidak rela. Karena itu sama saja mengingatkan bahwa hubunganku dengan Renjun benar-benar telah berakhir. Dan hal itu serupa mimpi buruk di hidupku.

Rasanya menyakitkan. Terlalu menyakitkan.

"Aku akan pergi ke luar kota besok. Jadi maaf, mungkin aku tidak bisa menjemputmu untuk beberapa hari ke depan."

Aku bisa mendengar perkataan itu ketika mobil kami berhenti akibat lampu merah. Aku hanya menganggukkan kepala mendengarnya. Malah senang karena akhirnya aku bisa bebas pulang sendiri lagi. Tidak lama, mobil kembali melaju dan tangan Jeno tergerak untuk menyalakan radio. Hal yang sering ia lakukan karena mungkin bosan dengan keheningan yang selalu menyelimuti kami.

Aku memang menjadi lebih pendiam akhir-akhir ini dan untungnya Jeno juga tidak banyak membuat ulah. Tapi hey membuat pertunangan ini benar-benar terjadi bahkan adalah salah satu ulah terbesarnya jadi memang seharusnya dia tidak perlu melakukan sesuatu yang lebih mengacaukan hidupku.

Terdengar seperti aku menyalahkannya ya?

Memang!

Meskipun mungkin tidak sepenuhnya salah dia tapi aku butuh pelampiasan atas rasa sakit hatiku. Coba saja Jeno tidak ngotot menyetujui perjodohan sialan ini, mungkin aku masih bisa mencari cara untuk membatalkannya. Tapi dia bahkan sejak awal tidak terlihat keberatan sama sekali.

Dasar menyebalkan!

"Jangan lewatkan makan malam. Kau terlihat lebih kurus akhir-akhir ini."

"Bukan urusanmu."

"Jelas urusanku. Orang-orang bisa mengira aku memperlakukanmu dengan tidak baik."

Dasar haus pencitraan!

Jadi dia tidak benar-benar peduli tetapi hanya karena mengkhawatirkan pandangan orang lain? Cih memang harusnya jangan berekspektasi apapun padanya!

"Terserah!"

Aku keluar dan membanting pintu mobilnya dengan keras. Aku sering melakukan itu sebenarnya. Awalnya karena kesal dengan dia yang bebal walaupun sudah aku peringatkan untuk jangan pernah menjemputku. Tapi sekarang aku sudah lelah melarang karena ternyata dia cukup keras kepala. Bisa dibilang itu adalah salah satu cara untuk melampiaskan rasa kesalku atas seluruh sikapnya.

Hal yang paling aku benci setelah pulang bekerja adalah berdiam diri sebelum aku bisa benar-benar terlelap dalam tidur. Jeda seperti itu sangat cukup bagi otakku untuk memutar segala kenangan yang pernah aku lewati bersama Renjun. Biasanya aku akan berakhir menangis dengan sangat keras.

Sehari setelah perpisahan kami, aku bahkan tidak keluar dari kamar sama sekali dan berlanjut hingga beberapa hari setelahnya. Aku hanya akan terdiam dengan pikiranku yang melayang entah kemana. Kemudian menangis, begitu seterusnya. Sejak hari itu, aku merasa sangat takut untuk menghadapi dunia. Aku seperti berubah menjadi orang yang sangat lemah.

Kadang aku berpikir apakah Renjun juga mengalami hal yang sama? Apa dia juga merasakan sakit seperti yang aku rasakan?

Kemudian aku teringat dengan tangisannya malam itu yang terdengar sangat pilu. Dan seketika aku yakin, rasa sakit yang dirasakannya mungkin lebih parah dari yang aku alami. Aku, boleh saja jadi pihak pertama yang jatuh cinta. Namun aku bisa merasakan dengan jelas bahwa Renjun juga mencintaiku sama besarnya, atau mungkin lebih. Dan sedikit banyak hal itu membuatku takut, apakah dia bisa menjalani hari-harinya dengan baik?

Dear, SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang