Dari Sudut Pandang Seorang Lee Jeno
"Tidak mau. Pergi saja sendiri, aku sudah ada janji."
Jeno hanya mengangguk mengerti begitu Yizhuo menjawab pertanyaannya dengan nada yang terdengar sangat ketus. Sebelumnya, ia mengajak perempuan itu untuk menemaninya dalam acara pesta yang diadakan oleh salah satu koleganya. Jeno sudah menebak kalau ia akan ditolak, tetapi tetap nekat mencoba. Tidak ada alasan khusus, sesederhana karena tidak ada salahnya kan kita mencoba, siapa tau berhasil.
Lalu seperti biasa, perempuan itu akan keluar dari mobilnya sambil membanting pintu dengan keras. Jeno hanya akan sedikit memejamkan matanya ketika itu terjadi. Mulanya ia cukup terkejut tapi lama-lama mulai biasa saja. Mungkin cara itu yang dilakukan Yizhuo untuk melampiaskan kekesalannya. Walau Jeno bertanya-tanya, kenapa harus pada dirinya? Memang dirinya melakukan kesalahan? Kan tidak juga.
Sampai suatu hari, Yizhuo mengatakan sesuatu kepadanya. "Kesalahan kamu tuh karena mau-maunya nerima perjodohan ini. Gila tau gak sih! Udah jelas aku gak pernah mau tapi kamu selalu diem aja. Muak tau gak liatnya!"
Kalau itu orang lain, mungkin saja Yizhuo akan terlibat cekcok setelahnya. Tapi Jeno hanya diam dan mengangguk saja, sama sekali tidak terganggu dengan perkataan semacam itu. Dia punya pemikirannya sendiri dan orang lain tidak semudah itu mengubahnya, termasuk Yizhuo sekalipun.
Lagipula menurut Jeno, hal seperti itu tidak termasuk sebuah kesalahan. Ia hanya berusaha menjadi anak yang baik dengan menuruti permintaan kedua orang tuanya. Mama dan Papa pasti tidak akan sembarangan memilihkan orang untuk menjadi pasangan hidupnya. Itu yang Jeno yakini.
Namun sepertinya itu juga yang makin memancing amarah Yizhuo. Bagi perempuan itu, alasan yang Jeno berikan terkesan sangat dangkal. Tapi bagi Jeno jelas tidak. Menuruti permintaan kedua orang tuanya adalah salah satu hal yang selalu ingin Jeno lakukan–selama itu baik tentunya. Dan Jeno rasa, perjodohan dengan Yizhuo bukan hal yang buruk.
Jeno ingat ada seorang temannya semasa sekolah yang pernah berkata, "Lo itu kayak robot tau gak? Mau aja disuruh ini itu sama orang tua lo. Choose your own life lah jangan nurut-nurut doang!"
Jeno hanya mengernyitkan dahinya mendengar itu. Memangnya apa yang salah? Menurutnya tidak ada yang salah dengan orang tuanya yang memintanya untuk selalu berprestasi di sekolah ataupun mencapai kesuksesan dalam hidupnya. Lagipula, mereka tidak hanya berharap dengan kosong. Maksudnya adalah Jeno disediakan segala fasilitas untuk mencapai hal tersebut.
Dirinya malah merasa senang karena sejak kecil hidupnya sudah sangat terstruktur. Mama selalu mengatur dan mengarahkan hal-hal apa saja yang harus ia lakukan. Jeno hanya perlu menurutinya dengan baik. Dan sejauh ini tidak pernah ada masalah sama sekali. Hidupnya berjalan dengan lancar, tanpa ada satupun masalah besar yang menghadang. Tentu, karena hidupnya sudah penuh dengan rencana yang matang. Kalaupun ada, ia selalu bisa menyelesaikan semuanya dengan baik.
Namun sepertinya orang-orang mengartikan hal tersebut dalam arti yang lain. Bukan sekali dua kali Jeno mendengar orang yang berkata kalau hidupnya terlihat seperti dikekang. Sudah diatur disana sini, tanpa memberinya kebebasan. Sungguh hal itu membuatnya terheran karena dirinya tidak merasa begitu sama sekali. Ia baik-baik saja dengan itu, serius.
*
Normalnya, ketika kita telah ditolak habis-habisan oleh seseorang, maka akan ada masa dimana kita lelah dan memilih untuk mengakhiri semuanya. Tapi itu tidak berlaku untuk Jeno. Walau sudah tidak terhitung berapa kali Yizhuo menolaknya dengan terang-terangan Jeno tidak menyerah. Ia tetap dengan keputusannya untuk melanjutkan perjodohan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Sunshine
FanfictionKarena bagi Renjun, yang sulit itu bukan melupakan; tetapi merelakan. *** Versi twitter bisa diakses lewat akun @.beauxreves24