Singkat cerita, aku sudah menguasai bagian vokal dari lagu ciptaannya. Saatnya mulai latihan bersama. Sore itu, kami membuat rencana untuk latihan di ruang band sekolah. Baru saja lima menit, kami berdua sudah diusir. Hari sudah terlalu sore. Ketua OSIS harus mengunci seluruh ruangan club. Kami pun tidak punya pilihan lain selain mengalah.
"Jadi ... kita mau latihan di mana?" tanyaku dengan nada kelelahan.
Dia berpikir sebentar sebelum mengusulkan, "Di rumahku, mau? Untuk latihan, kita bisa di rumahku dulu. Untuk rekaman, kita bisa sewa studio satu hari."
"Oh. Boleh, deh!"
"Oh, iya. Tapi rumahku agak jauh. Harus naik kereta dulu. Tapi gak lama, kok!" tambahnya, "Gak apa-apa, kah?"
Aku diam sejenak sebelum mengangguk setuju. Kapan lagi kesempatan ini datang? "Oke!"
Dengan begitu, kami pun jalan keluar dari gedung sekolah. Kami berjalan sedikit menuju stasiun terdekat, lalu naik kereta selama 20 menit. Butuh waktu sekitar 5 menit untuk berjalan kaki ke rumahnya. Selama perjalanan, kami banyak mengobrol. Ini kali keduaku mengobrol selama itu dengannya.
Rumahnya tingkat dua. Tidak terlalu besar, tapi tidak kecil juga. Sedikit lebih besar dari rumahku. Ada pekarangan kecil yang ditumbuhi berbagai tanaman hias di depan rumahnya. Katanya, mamanya senang berkebun. Di samping teras, ada garasi yang diisi dengan satu mobil. Karena rumahnya sedikit jauh, mamanya harus mengendarai mobil untuk ke kantor. Katanya juga, mamanya baru saja pulang dari kantor.
"Aku pulang," ucapnya sambil membuka pintu rumah.
"Permisi," ucapku setelah ikut melepas sepatu.
"Selamat datang!" seru seorang wanita yang muncul dari dapur.
"Eh?" Wanita itu, mamanya, memiringkan kepala ketika melihatku. "Siapa, ini?"
Aku tersenyum ramah dan membungkuk untuk memperkenalkan diri. "Salam kenal, Tante."
"Kita mau latihan buat rekam lagu di atas," terangnya pada mamanya.
"Makan dulu, mau? Setelah itu baru naik," tawarnya sambil tersenyum ramah padaku, "kamu pasti belum makan, kan?"
Aku tertawa malu. "Belum, Tante."
"Kalau begitu, yuk! Tante jago masak, loh!" seru beliau, mengajakku ke ruang makan.
"Kamu duluan saja. Aku mau ganti baju dulu," katanya padaku sebelum menaiki tangga.
Hari itu, aku ikut makan dengannya dan mamanya. Kami banyak berbincang. Beliau sangat ramah. Aku merasa sangat diterima di sana. Setelah makan, aku membantu beliau mencuci piring sembari menunggu dia menyiapkan semuanya.
"Kamu cantik," ucap mamanya sambil membilas piring kotor.
"Eh?" Kaget mendengar kalimat itu, aku langsung menoleh.
Beliau tertawa kecil. "Sudah cantik, baik, lucu, manis, pula. Coba kalau anak tante pacaran sama kamu."
Aku menahan diri supaya tidak tersenyum, tetapi sepertinya pipiku sudah sangat merah. Sekitar 5 menit kemudian, barulah dia mengajakku naik. Ruangan yang kita pakai adalah sebuah ruangan kecil di sebelah kamarnya. Aku terpukau melihat ruangan itu. Ruangan tersebut mirip studio band. Dindingnya dilapisi busa peredam suara. Terdapat beberapa poster band tertempel di sana. Ruangan itu memiliki beberapa gitar listrik, sebuah gitar akustik, sebuah keyboard, dan sebuah drum. Tidak ada kabel yang simpang-siur dan amplifier-nya juga tidak diletakkan sembarang tempat. Sepertinya, dia baru saja membereskan ruangan ini.
Dia mengambil salah satu gitar dan duduk di sebuah kursi kosong. Dia juga menepuk kursi kosong di hadapannya. "Semoga nyaman, ya!"
"Kamu memang suka band, kah, dari dulu? Sampai buat studio sendiri di rumah," komentarku sambil duduk di kursi tersebut.
Dia tertawa. "Ya ... begitu, deh. Di SMP, aku juga ikut band. Kita suka latihan di kamarku. Karena diprotes berisik sama tetangga, akhirnya papaku buat ruangan ini, deh. Oh, iya. Semua alat musik yang aku punya dikasih sama papa. Dia dulu anak band, tapi karena berhenti, semuanya jadi buat aku."
"Oalah ... papamu suka band, toh. Turun ke kamu, rupanya."
Dia mengangguk. "Aku pertama kali belajar gitar waktu SD juga karena dia."
Aku membulatkan mulutku, takjub. "Oh, iya. Omong-omong, papamu di mana?"
Dia terdiam beberapa saat, lalu tersenyum. "Papa-mamaku cerai setelah aku lulus SMP. Meskipun begitu, aku masih sesekali ketemu Papa. Ya, tanpa sepengetahuan Mama, sih."
Aku menunduk, merasa bersalah telah mengungkit topik sensitif. "Maaf. Aku gak tahu."
"Gak apa-apa," balasnya segera, "keluargamu ... baik-baik saja, kan?"
Aku mengangguk pelan. "Iya, untungnya begitu."
Dia tersenyum. "Syukurlah. Semoga terus aman, ya."
Baru saja aku mau membalas, dia sudah mengalihkan topik. "Yuk, mulai!"
Kami pun memulai latihan. Dia adalah pemain gitar yang handal. Tidak sulit bagiku untuk menyamakan langkah dengannya. Setelah dirasa cukup bagus, kami merekam permainan kami dengan handycam. Dengan begitu, kami akan tahu perkembangan permainan kami setiap latihannya nanti.
Kira-kira jam delapan, kami menghentikan latihan. Aku harus pulang. Awalnya, aku berencana untuk pulang sendiri saja. Namun, dia bersikeras untuk mengantarku pulang. Untuk memastikan aku aman, katanya. Ya, sudah. Aku membiarkannya menemaniku.
Hari itu, aku sangat lelah. Namun, rasa lelahku tertimbun dengan rasa senangku bisa menghabiskan satu hari penuh bersamanya. Jika aku bisa mengendalikan waktu, aku akan mengulang hari itu berkali-kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
first love - nijiro murakami
FanfictionAku dan anakku baru saja pindah ke sebuah apartemen. Saat sedang membereskan barang-barang, anakku menemukan sebuah album foto. Album fotoku semasa SMA. dari antara puluhan foto yang terdapat di sana, matanya tertarik pada sebuah foto di halaman pal...