Singkat cerita, hari sudah malam. Saatnya makan malam. Kami semua pergi ke halaman belakang vila yang merupakan pantai. Kami bergotong-royong membawa alat bakar-membakar ke sana. Sisa ikan hasil tangkapanku dan dia tadi siang akan dibakar. Selain makan, kami juga akan menyalakan kembang api nantinya.
Aku dan dua orang teman bertugas untuk membakar ikan. Saking serunya mengipas-ngipasi ikan, aku sampai lupa akan tekad awalku untuk menyatakan perasaan padanya. Di tengah-tengah keseriusan kami, dia tiba-tiba memanggil namaku.
"Hei! Lihat ke sini!"
Saat menengok, aku mendapati dia sedang mengarahkan handy cam ke arah kami. Reaksi pertamaku adalah tersenyum dan melambai-lambaikan tangan ke kamera. Beberapa detik kemudian, barulah aku menutup muka karena malu. Dia tertawa kecil sebelum lanjut merekam hal lain.
Begitu ikan dan semua makanan lain selesai dibakar, kami duduk melingkar di atas kursi-kursi yang ada. Kami mengobrol sambil makan. Beberapa dari kami berdiri di tengah lalu bernyanyi-nyanyi. Kami mengikuti mereka bernyanyi. Dia merekam semuanya dalam handy cam-nya.
Sebenarnya, saat itu aku tidak bisa mengikuti kegembiraan yang lain. Isi kepalaku hanya "Kapan aku harus menyatakan perasaanku?" dan "Bagaimana aku harus menyatakan perasaanku?" Aku menjadi gugup. Aku tidak begitu mendengarkan percakapan yang lain. Jika semua tertawa, aku ikut tertawa tanpa tahu hal yang mereka tertawakan. Lama-kelamaan, kebisingan sekitar kalah dengan suara suara degup jantungku.
Kira-kira jam 10 malam, kami mulai menyalakan kembang api. Seperti sebelumnya, dia juga merekam. Untuk kenang-kenangan, katanya. Sejam kemudian, kami membereskan semuanya dan kembali ke vila. Setelah bercengkrama sebentar di ruang tengah, kami masuk ke kamar masing-masing.
Aku terus mengutuk diriku sendiri karena tidak kunjung punya keberanian untuk mendekatinya. Caci-maki dari diriku sendiri lah yang membuatku terjaga cukup lama. Aku hanya bisa melamun menatap langit-langit dan dinding.
Hampir satu jam tidak bisa tidur, aku merasa haus. Aku pun turun menuju dapur untuk mengambil minum. Kakiku terhenti di anak tangga paling bawah. Jantungku kembali berdegup kencang.
Dia juga sedang minum di sana!
Yah, rambutku sedang berantakan-berantakannya. Jika tahu akan bertemu dia, pasti aku akan menyisir rambutku terlebih dahulu.
Sadar akan keberadaanku, dia berbasa-basi, "Belum tidur?"
Aku menggeleng. "Belum mengantuk."
Setelah menenangkan jantungku sedikit, aku berjalan ke arahnya. Ralat, ke arah kulkas yang ada di sebelahnya. Aku membuka pintu kulkas dan mengeluarkan sebotol teh yang ada. Tanpa berkata-kata, aku langsung meminumnya.
"Eh- Itu punyaku," ucapnya dari sampingku.
Mendengar itu, aku refleks langsung berhenti minum dan menutup botol itu kembali. "Maaf! Aku salah ambil! Kukira gak ada yang punya! Nanti kuganti, deh! Kutraktir kamu minum yang lain!"
Jika dipikir-pikir, alasan "Kukira gak ada yang punya." sangat bodoh. Mana mungkin ada sebotol teh segar tanpa pemilik di kulkas milik bersama? Siapa malaikat yang secara sukarela mau mengisi kulkas dengan minuman untuk bersama?
Dia hanya tertawa. "Janji, ya?"
Aku mengangguk cepat. "Setelah kamu pulang dari lomba, aku bakal traktir kamu apa pun yang kamu mau."
Tunggu. Apakah aku baru saja –secara tidak langsung– mengajaknya kencan?
"Oke! Kutunggu, ya!" balasnya.
Selang beberapa detik, tidak ada yang bicara. Aku kembali meneguk teh (miliknya), sedangkan dia berdiri memandang entah apa yang dia pandang. Kurasa ini adalah saat yang tepat untuk menyatakan perasaan. Aku menarik napas sedalam-dalamnya, lalu menghembuskannya. Berusaha untuk mengatur degup jantung. Setelah dirasa siap, aku membuka mulut.
"Aku mau ngomong sesuatu."
"Ada yang perlu aku bilang ke kamu."
Kami saling menatap begitu sadar suara kami berdua bertabrakkan. Kami lalu tertawa canggung.
"Kamu dulu, deh," ucapku untuk mengulur waktu.
Dia menggaruk tengkuknya. "Sebetulnya aku baru bikin satu lagu baru. Aku mau kamu coba dengar, tapi alat perekamnya ada di rumah. Kapan-kapan aku bawa ke kamu, deh."
"Kamu mau aku nyanyi buat lagumu lagi?" tanyaku.
Dia menatapku penuh harap. "Ya ... kalau kamu mau."
"Mau," jawabku secepat mungkin.
"Eh? Tapi kamu belum tahu lagunya kayak apa."
"Lagu buatanmu pasti bagus. Aku percaya, kok." Aku terkekeh.
Dia tersenyum senang. "Oke. Habis lomba, ya?"
Aku mengangguk untuk kesekian kalinya. "Iya. Habis lomba."
"Kalau begitu, aku masuk duluan, ya?" pamitnya sambil melangkah mundur, "selamat tidur!"
"Selamat tidur!" balasku.
Aku tetap di dapur sampai melihat dia masuk ke kamarnya. Aku tersenyum-senyum sendiri, mengingat janji yang baru saja kita buat. Selang beberapa saat, aku baru ingat sesuatu.
Aku lupa menyatakan perasaanku!
Ah, sudah, lah. Masih ada hari esok, pikirku saat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
first love - nijiro murakami
FanfictionAku dan anakku baru saja pindah ke sebuah apartemen. Saat sedang membereskan barang-barang, anakku menemukan sebuah album foto. Album fotoku semasa SMA. dari antara puluhan foto yang terdapat di sana, matanya tertarik pada sebuah foto di halaman pal...