first love - 7

26 5 4
                                    

Sepertinya aku sudah bercerita kurang lebih setengah jam pada anakku. Aku bahkan tidak yakin apakah dia paham akan apa yang aku ceritakan atau tidak. Namun, dia tetap mendengarkan dengan penuh antusias. Mungkin dia menganggapnya seperti dongeng.

"Terus? Habis itu apa, Ma?" tanyanya lagi.

Aku terdiam untuk waktu yang cukup lama. Setelah itu, aku menarik napas dan tersenyum. "Itu kali terakhir Mama ketemu dia, Sayang."

...

Keesokan paginya, tepatnya hari Minggu, kami mulai bersiap-siap untuk pulang. Kira-kira jam 10 pagi, jemputan kami datang. Kami di antar dari vila hingga kembali ke sekolah. Dari sekolah barulah kita pulang ke rumah masing-masing.

Dari vila ke sekolah, aku dan dia tidak berbincang sedikit pun. Setiap kali mata kita tidak sengaja bertemu, kami akan sama-sama tersenyum sebelum memalingkan wajah masing-masing untuk menyembunyikan semburat merah di pipi kami. Aku jadi makin tidak sabar untuk kencan.

Beberapa dari kami makan siang bersama di kedai makan kecil dekat sekolah, sedangkan beberapa lagi langsung pulang. Aku ikut makan bersama karena ada dia. Selama makan siang, kita semua banyak mengobrol. Namun, aku tidak sempat berbincang secara personal dengannya. Tempat duduk kami cukup jauh.

Setelah makan siang, kami saling berpamitan untuk pulang. Melihat yang lain sudah mulai berjalan menjauh, barulah aku melangkahkan kaki. Baru saja aku melangkah satu kali, dia memanggilku.

"Ya?" Aku membalikkan badan.

Dia memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya. "Terima kasih buat kemarin dan hari ini. Terima kasih karena mau ikut acara menginap dadakan ini. Acara ini seru karena ada kamu."

Aku salah tingkah bukan kepalang. Aku mengangguk kecil dan membalas, "Aku juga banyak senangnya dua hari ini. Terima kasih juga buat acaranya."

"Lombanya besok. Semoga usaha kita gak sia-sia, ya," ucapnya lagi.

Aku mengangguk lagi. "Sayangnya, kita gak bisa antar kalian ke stasiun. Coba kalau lomba kita beda sehari, aku pasti bakal antar kalian pergi."

Dia tertawa. "Gak apa-apa. Aku juga sedih karena gak bisa lihat kalian tampil."

Aku tidak tahu harus menjawab bagaimana lagi, jadi aku hanya terkekeh.

"Habis lomba, kita bakal pergi berdua. Aku bakal jadiin ini sebagai penyemangat aku buat lomba besok," ucapnya, "jangan lupa janji kita, ya!"

"Iya!" balasku sambil tertawa kecil.

"Oh, iya." Dia berhenti sejenak untuk mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah omamori cantik berwarna biru dengan motif bunga berwarna pink. Dia lalu memberikan omamori itu kepadaku.

"Buat kamu," ucapnya, "semoga bisa bawa keberuntungan buat kamu. Siapa tahu ini bisa bikin tim kamu menang besok."

Aku menerimanya dengan perasaan tersentuh. "Tapi aku gak punya apa-apa buat kamu."

Dia tersenyum dan menggeleng. "Gak apa-apa. Aku gak minta imbalan, kok."

Aku tersenyum tidak enak padanya. Merasa bersalah. "Thank you! Aku janji bakal
kasih kamu omamori juga setelah kamu pulang nanti!"

Dia tertawa. "Oke, oke. Aku pegang semua janjimu!"

"Dah! Hati-hati!" pamitku.

Dia melambaikan tangan sambil tersenyum. "Hati-hati juga!"

Setelah itu, kami berpisah.

Keesokan harinya, aku dapat tampil dengan maksimal. Tidak ada cacat sedikit pun. Kami berhasil menerima juara 3. Ini semua berkat omamori darinya. Aku tidak sabar untuk segera menceritakan semuanya pada dia. Aku tersenyum sepanjang malam. Tidak sabar pula menunggu "kencan" kita.

Namun, keesokan harinya aku menerima berita yang berhasil merenggut senyumku. Bus yang tim dia gunakan mengalami kecelakaan saat pulang.

Aku tidak kuat hati untuk mencari tahu kabarnya. Aku tidak tahu apakah dia selamat atau tidak. Aku terlalu takut untuk menghubungi mamanya. Aku menangis semalam suntuk. Terlalu banyak menangis, kepalaku sakit. Aku pun tidak masuk sekolah selama seminggu karena demam.

Ketika aku kembali ke sekolah, aku melihat vas bunga lili putih di atas loker belakang kelas. Di sebelahnya, terdapat foto teman-teman yang menjadi korban kecelakaan. Tidak ada foto dia. Jelas. Kami tidak sekelas. Mungkin foto dia dipajang di kelasnya. Aku tidak tahu dan aku tidak mau tahu. Aku tidak mau mengecek ke kelasnya. Aku menghindari topik pembicaraan itu.

Seiring berjalannya waktu, sudah tidak ada lagi bunga lili putih di kelas. Semester berganti. Aku memasuki tahun ketigaku. Perlahan semua orang sudah melupakan tragedi itu. Aku pribadi juga berusaha melangkah maju, meskipun terkadang hatiku sakit mengingat janji-janji yang tidak sempat aku kabulkan waktu itu.

Hari-hari tanpa dia berjalan dengan sangat cepat. Aku sibuk belajar untuk persiapan ujian masuk perguruan tinggi. Di hari kelulusan, aku memberanikan diri untuk pergi ke rumahnya. Namun, ternyata rumah itu sudah memiliki penghuni baru. Aku tidak tahu kemana mamanya pergi.

Dengan demikian, bab tentang dia di buku kehidupanku telah selesai.

first love - nijiro murakamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang