Setelah beberapa kali latihan di sekolah dan di rumahnya, kami melakukan rekaman. Dia menyewa sebuah studio untuk rekaman kami. Beberapa minggu setelah rekaman, dia mendatangiku dengan sebuah kaset. Di kaset itu terdapat namaku, namanya, dan judul lagunya. Katanya, hanya ada dua kaset itu di seluruh dunia. Hanya kami berdua –dan orang-orang terdekat kami– yang mengetahui keberadaan lagu itu. Dia bercita-cita untuk menjadi musisi besar agar seluruh dunia bisa dengar lagu pertama buatannya. Saat itu, aku mendoakannya dengan sungguh-sungguh.
Setelah semua itu, kehidupan kembali berjalan seperti biasa. Dia kembali menjadi drummer band sekolah kami. Aku sudah tidak pernah bermain ke rumahnya. Dia sudah tidak pernah mengantarku pulang. Kami hanya mengobrol jika ada yang perlu dibicarakan. Rasanya semua yang pernah terjadi di antara kita hanyalah halusinasiku semata.
Jujur, aku rindu padanya. Rindu mengobrol dengannya, rindu menyanyi untuknya, rindu pulang bersama, rindu mendengar tawanya. Namun, apa boleh buat. Memang seharusnya aku tidak banyak berharap dari awal.
Tidak terasa, libur musim dingin sudah di depan mata. Tanpa aku sadari, aku telah menghabiskan satu semester penuh memendam perasaanku sendiri.
Hari itu adalah sehari sebelum libur musim dingin. Sepulang sekolah, dia memanggilku. Dia memintaku memanggil anggota band lain karena dia ingin membuat pengumuman. Lima menit kemudian, kami semua sudah berkumpul. Dia memiliki dua kabar gembira. Yang pertama, sekolah kami akan mengikuti dua lomba band yang akan diselenggarakan di waktu bersamaan. Itu berarti, kami butuh mengirimkan dua tim yang berbeda. Berita kedua, akan ada seleksi ulang untuk memilih anak-anak yang pantas mewakili sekolah. Semua orang harus membawakan salah satu dari dua lagu yang sudah dia tentukan. Dua lagu itu memiliki dua genre yang berbeda. Lagu pertama ber-genre pop ballad, sedangkan lagu kedua rock.
Aku tidak menyangka mereka akan memberikan pilihan lagu pop ballad karena selama ini band sekolah kami selalu membawakan lagu rock. Aku memiliki suara yang lembut, tidak terlalu kuat, tidak cocok untuk lagu rock. Dia juga pernah mengatakan hal yang sama. Dengan adanya pilihan tersebut, aku melihat harapan di depan mata. Aku harus bisa lolos seleksi ini agar bisa ikut mewakili sekolah. Aku ingin menyanyi bersama dengan permainan drum atau gitarnya.
Kami diberi waktu latihan sepuluh hari. Aku berlatih vokal sungguh-sungguh. Aku sangat ingin berada di satu tim yang sama dengannya. Sepuluh hari kemudian, kami kembali berkumpul di sekolah untuk mendengarkan hasil latihan tersebut –padahal waktu itu sudah libur musim dingin. Beberapa mengeluh karena waktu liburannya tersita untuk ini. Aku sendiri sangat menikmati momen ini. Pertama, karena aku bisa bertemu dengannya. Kedua, karena aku pun tidak punya kegiatan di rumah.
Semuanya mulai maju satu per satu. Semuanya memiliki bakat yang tidak diragukan lagi. Aku jadi sedikit gugup. Rasa gugupku lalu hilang begitu dia mulai berjalan ke tengah ruangan. Mataku membesar ketika melihat dia mengambil gitar elektrik, bukannya duduk di depan drum. Dia akan bermain gitar? Aku tidak menyangka. Akhirnya aku bisa mendengarnya bermain gitar lagi setelah sekian lama.
Berbeda dengan audisi pertama, kali ini aku berhasil menyelesaikan kedua lagu tanpa cacat. Aku pun berhasil mewakili tim untuk lomba. Begitu pun dia.
Sayangnya, kami berada di tim yang berbeda.
Walaupun agak kecewa tidak bisa satu tim dengannya, aku tetap senang bisa menjadi vokalis untuk sebuah lomba. Itu sebuah prestasi bagiku karena itulah satu-satunya lomba band yang aku ikuti.
Kami berlatih cukup lama. Tepatnya hingga tiga minggu setelah kembali masuk sekolah. Karena sekolah kami hanya punya satu ruang band, maka dia mengajak timnya untuk berlatih di rumahnya. Betapa irinya aku saat itu karena tidak bisa ikut ke sana. Aku terjebak di gedung sekolah yang membosankan ini. Di hari terakhir latihan, tepatnya hari Jumat, semuanya berkumpul di sekolah untuk saling mendengarkan. Memastikan kembali bahwa kami semua sudah layak ikut lomba.
Saat itu sudah lumayan sore. Latihan kami sudah selesai. Kami sudah siap tempur. Sebelum kembali ke rumah untuk istirahat, dia mengucapkan beberapa patah kata.
"Halo. Sebagai ketua band, saya mau mengucapkan beberapa hal. Pertama, terima kasih kepada semua teman-teman yang sudah banyak berjuang untuk lomba kami. Terima kasih sudah mau meluangkan waktu liburannya untuk latihan," ucapnya sebagai pembuka.
"Lomba kita hari Senin. Tiga hari lagi. Sebagai tanda terima kasih dan untuk seru-seruan," gantungnya sebentar, "ayo kita pergi ke vila pantai selama dua hari satu malam!"
Semuanya diam. Masih belum mencerna ucapannya. Aku pun bertanya, "Uangnya dari mana?"
Seorang anggota band lainnya –wakil ketua kami– mengangkat tangan dengan riang. "Sebelumnya, kami berdua sudah sempat diskusi soal ini. Aku bilang, keluargaku punya vila di pinggir pantai. Aku langsung bilang ke keluargaku. Keluargaku bersedia vilanya kita pakai. Gak perlu bayar, kata mereka. Untuk transportasi, kita gak perlu pusing lagi. Sudah siap semua! Tinggal berangkat!"
Dia pun tersenyum ke arah kita semua. "Begitu. Maaf, ya, baru bilang. Biar surprise, ceritanya. Semoga kalian bisa, ya! Yang besok bisa ikut, kita kumpul di sekolah jam 9, ya!"
Sebenarnya, aku berencana untuk tidur panjang dan banyak-banyak istirahat di akhir pekan itu. Namun, begitu mendengar ajakannya menginap, aku pun langsung berubah pikiran.
Kapan lagi aku bisa pergi menginap bersama teman-teman –terutama dia? Aku tahu kesempatan itu tidak akan datang dua kali.
Aku pasti akan datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
first love - nijiro murakami
FanfictionAku dan anakku baru saja pindah ke sebuah apartemen. Saat sedang membereskan barang-barang, anakku menemukan sebuah album foto. Album fotoku semasa SMA. dari antara puluhan foto yang terdapat di sana, matanya tertarik pada sebuah foto di halaman pal...