Sesuai dugaannya, di depan restoran ada beberapa orang wartawan yang menunggunya. Henry bersembunyi di dalam gudang penyimpanan bahan mentah dan menghela napas panjang. Setelah ini, Bos pasti akan marah besar padanya.
Henry mengintip dari celah gudang yang terbuka, samar-samar ia melihat Rachel masih mengobrol bersama sang Bos, mereka berdua keluar ke pintu belakang dan melihat sekitar.
Wanita itu memakai gaun terusan yang memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan jelas, rambutnya yang berwarna coklat itu disisir menyamping dan memperlihatkan leher yang jenjang. Ia memakai riasan yang tipis, tapi tidak menghilangkan pesonanya sama sekali.
Henry bertanya-tanya dalam hati, bukankah seharusnya mereka bulan madu?
Kenapa Rachel repot-repot mencari dirinya?
Sebegitu pentingkah mempermalukan Nyonya Ela?
Tiba-tiba Henry ingat Nyonya Ela menampar Gerald dan membuat para undangan gempar, gosip tentang perceraian mereka memanas, mungkin itu adalah salah satu alasan Rachel sangat dendam.
"Aku yakin itu Henry," kata Bosnya kemudian. Laki-laki gemuk itu tidak henti-hentinya mengatakan hal yang sama di depan Rachel. "Dia tidak mengakuinya, tapi aku sangat yakin, mereka memiliki hidung yang sama."
Henry secara spontan memegangi hidungnya, ia mendengkus.
"Ya. Itu sudah cukup," sahut Rachel sambil melipat tangannya di depan dada. "Siapa namanya tadi?"
"Henry Emanuel, dia pekerja paruh di restoran ini dan minimarket di ujung jalan sana, tidak hanya itu, ia kadang menerima pekerjaan panggilan."
Henry ingin menjahit mulut laki-laki itu saking kesalnya, tapi ia hanya bisa meringis dan berdoa agar Rachel cepat pergi.
Wanita itu kemudian berbalik dan masuk ke dalam restoran, Henry tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi ia yakin itu masih seputar dirinya. Laki-laki itu bersyukur karena ia tidak mengisi data kampus saat pertama kali masuk.
Henry menunggu selama satu jam, ketika ia benar-benar yakin Rachel sudah meninggalkan restoran barulah ia kembali dan ia langsung disambut dengan tatapan tajam sang Bos.
"Siapa yang membeli obat ke apotik sampai satu jam penuh? Kau sengaja melakukannya untuk membuatku malu, ya?"
Bos meradang, tangannya bergerak menepuk meja dan kentang goreng yang baru saja diangkat dari penggorenga berserak di lantai, Henry hanya bisa diam dan menatap kentang goreng.
"Dari sekian banyak karyawanku hanya kau yang banyak lagak!" Bosnya itu masih belum puas mengeluarkan semua uneg-uneg yang ada di dalam kepalanya. "Wanita kaya itu mencarimu dan ingin menawarkan pekerjaan, tapi kau sangat sombong hingga berani menolaknya terang-terangan seperti itu."
Henry mencibir dalam hati, andai sang Bos tahu apa yang dimaksud pekerjaan itu.
Hilda yang berada di ruangan yang sama dengan Henry dan Bosnya hanya bisa diam dan terus menggoreng kentang yang baru, tidak ingin ikut campur.
"Gara-gara kau yang menghilang, para pelanggan banyak yang mengeluh. Hilda harus melakukan semuanya sendirian. Apa kau mau bertanggung jawab kalau sampai pelangganku kabur?!"
"Bos, aku hanya pergi satu jam. Tidak akan ada yang kabur ...." Henry membantah sambil mendongak.
Bukankah Bosnya ini terlalu berlebihan memarahinya? Lagipula hari ini kalau ia lihat-lihat hari ini pelanggan tidak seramai biasanya.
"Kau selalu menjawab!"
Sang Bos itu menggertakkan giginya, entah apa yang membuatnya semarah itu, Henry tidak tahu. Matanya memerah dan kedua tangan gemuknya itu saling mengepal.
"Memangnya apa yang bisa kau banggakan selain kemiskinanmu itu?! Sial, aku benar-benar dibuat malu olehmu di hadapan Rachel."
Henry masih berdiri sejak tadi, ia menghela napas panjang. Laki-laki itu akhirnya mengerti sebab kemarahan bosnya yang iri padanya.
Hilda menatap Henry sambil menggelengkan kepala, rekan kerjanya itu tahu meski Henry kadang terlihat bangga dengan kemiskinannya tapi bila ada yang menyinggung seperti itu, laki-laki itu juga bisa marah.
"Apa yang membuat Bos malu? Aku punya hak untuk bertemu atau tidak dengan seseorang. Jangan hanya karena aku miskin Bos bisa semena-mena padaku."
BRAK!
Laki-laki itu menghentak meja, botol-botol saos yang ada di atasnya bergetar dan hampir berguling ke lantai, Hilda buru-buru menangkapnya tanpa suara.
"Justru karena kau miskin," lanjut Bosnya dengan jengkel. "Kau banyak lagak, sudah sana panggang daging untuk burger, jangan malas hanya karena seorang model terkenal mencarimu."
Henry mengatupkan bibirnya rapat-rapat, ia berbalik menuju kulkas mengambil daging beku. Laki-laki gemuk itu merasa di atas angin karena Henry tidak membalas perkataannya lagi, ia melenggang keluar dari dapur dengan langkah yang angkuh.
"Aku tidak tahan lagi."
Henry menghela napas panjang, ia duduk di kursi dan membuka botol berisi air dingin.
Dia memang miskin, terus apa yang salah dari itu?
Henry tidak punya orang tua, dia bahkan tidak tahu siapa orang tuanya dan seperti apa wajahnya. Sejak kecil ia tinggal di panti asuhan bersama anak-anak terlantar lainnya, ia tidak pernah diadopsi hingga ia beranjak dewasa dan ia hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri untuk bertahan hidup sampai seperti ini.
Mengapa orang suka sekali mengolok orang yang lebih rendah darinya?
Henry sama sekali tidak mengerti karena ia selalu berada di posisi yang selalu dihina orang lain.
Tapi Nyonya Ela berbeda.
Bayangan wanita itu tiba-tiba muncul di benak Henry, di mana saat ia dan wanita itu bertemu untuk pertama kalinya, Ela tersenyum padanya dengan lembut dan nada suaranya tidak terdengar merendahkannya sedikit pun, padahal waktu itu Henry tengah memakai setelan jas lusuh.
Ela tidak mengoloknya, ia juga tidak merasa diperlakukan dengan semena-mena oleh wanita itu, meski mereka bersandiwara sebagai kekasih pura-pura dalam semalam.
Seandainya saja Ela adalah kakak perempuannya atau kekasihnya, Henry mungkin akan benar-benar bahagia. Tapi sayang, statusnya sekarang hanyalah seseorang yang dibayar untuk menjadi kekasihnya di depan Gerald dan Rachel.
"Henry! Itu gosong!" teriak Hilda dengan lantang, Henry langsung tersadar dari lamunannya dan menyingkirkan daging yang gosong itu dengan panik, takut kalau sang Bos mengetahuinya dan kembali marah-marah.
Laki-laki itu mengusap wajahnya dengan kasar, perkataan Bosnya itu benar adanya. Dirinya yang miskin ini terlalu banyak lagak di depan orang-orang yang kaya.
Haruskah ia keluar dari permasalah yang rumit ini?
Hidupnya tidak tenang lagi mulai sekarang. Hari ini baru beberapa wartawan, mungkin besok akan lebih banyak lagi karena Rachel mengekspos tempat kerjanya. Bosnya juga mungkin akan mencari-cari kesalahannya dan memecatnya.
Atau yang paling buruk, Bosnya itu akan melemparkannya pada para wartawan demi uang menjual informasinya. Membayangkan itu saja sudah membuat Henry bergidik ngeri, reputasinya tidak sebesar Nyonya Ela, ia tidak terkenal. Tidak masalah baginya untuk dipermalukan oleh Rachel.
Tapi reputasi Nyonya Ela sangat besar, ia tidak hanya seorang desainer ternama, ia juga mantan istri seorang pengusaha Gerald. Jika wanita itu sampai dipermalukan, hidupnya mungkin akan hancur.
Dan Henry entah mengapa ... tidak bisa membiarkan hal itu terjadi padanya. Laki-laki itu tanpa sadar sudah menambatkan hati sedikit demi sedikit pada Nyonya yang baru saja ia temui kemarin malam.
.
.
.
.
.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lady
RomanceHenry Emanuel hanyalah mahasiswa miskin, kehidupannya berkisar antara kerja, kuliah dan tidur. Tidak ada cinta atau bersenang-senang dalam kamusnya, bisa dibilang dalam kehidupan Henry sangat monoton dan tidak berwarna. Hingga suatu hari ketika ia...