Henry tidak pernah ke pesta pernikahan orang-orang kaya sebelumnya, dibalik kemudi tangannya berkeringat dingin, jantungnya berdegup dengan kencang karena terlalu gugup memikirkan apa yang akan terjadi.
Seandainya yang berada di posisi ini adalah Galen, teman sekamarnya itu mungkin akan tersenyum hingga giginya kering sampai pulang ke asrama.
Mobil melaju menuruni jalan menanjak di wilayah Primrose Hilss, samar-samar Henry melihat banyak mobil yang terparkir diluar dan beberapa orang melangkah dengan gaun mereka yang indah.
"Ini tempatnya, Nyonya?"
Ela yang duduk di samping Henry berdecak, ia menoleh dan memelototi laki-laki itu. "Bukankah sudah kubilang panggil aku dengan sayang?"
Wajah Henry langsung memerah, ia terbatuk dan menepikan mobilnya. Sebelah tangannya bergerak menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
"Itu ... anu ... sayang itu terlalu intim. Saya tidak terbiasa."
"Apa kau tidak punya pacar? Apa panggilan kesayanganmu dengan pacarmu?" tanya Ela tanpa basa-basi. "Honey? Darling? Baby? Atau ... my little bunny?"
Henry menggeleng dengan lemah, jangankan untuk pacaran, waktu tidurnya saja kadang terkuras hanya untuk bekerja paruh waktu.
"Saya tidak pernah punya pacar."
Ela terdiam dan keningnya berkerut tidak percaya, matanya bergerak memperhatikan Henry ke atas sampai ke bawah, laki-laki itu memiliki tubuh yang bagus dan wajahnya tidak buruk, bagaimana bisa tidak pernah memiliki seorang kekasih?
Tapi mengingat seberapa lusuh pakaiannya ketika datang ke mansionnya beberapa jam yang lalu, Ela hanya bisa menghela napas.
"Saya akan jujur Nyonya ... Saya ini miskin." Henry berkata dengan wajahnya yang semakin merah sampai ke telinga. "Saya ini terlalu miskin."
Entah kenapa ada sedikit kebanggaan di hati Henry ketika menyebutkan kata miskin dua kali, laki-laki itu membuang muka, merasa malu dengan keadaan hidupnya yang malang.
"Oh." Ela menyahut tanpa sadar, entah apa yang akan terjadi malam ini ia harap Henry tidak melakukan hal yang membuatnya malu karena kemiskinannya. "Ingat apa yang aku katakan tadi?"
"Yah, saya ... maksudnya aku ingat say ... um ... bolehkan saya memanggil nama Nyonya saja?"
"Ya, cobalah jangan terlalu gugup." Ela melotot dan hendak membuka pintu mobil, Henry berdehem pelan dan melirik wanita itu.
"Aku akan berusaha tidak membuatmu malu, Ela."
Ela menoleh ke arah Henry, nada suaranya yang rendah itu sesaat membuatnya terpaku. Wanita itu kemudian tersenyum dan menepuk bahunya. "Ya. Teruslah berbicara dengan nada rendah seperti itu, kau memiliki kesan yang seksi."
"Oh, benarkah?" Mata Henry berbinar-binar, ia segera memiringkan kaca spion yang ada di atas dan menyentuh kerahnya. "Aku ini ternyata memiliki suara yang seksi?"
Ela memutar bola matanya dan segera keluar dari mobil, tidak peduli dengan sebetapa cepatnya suasana hati laki-laki itu berubah. Henry mengikutinya dan berdiri dengan matanya yang tidak berhenti melirik ke sekitar.
Para tamu undangan memiliki pakaian yang rapi dan elegan, Ela menggandeng lengan Henry dan membawa laki-laki itu melangkah masuk ke mansion milik Antonio.
Henry berjalan di samping Ela, ia menelan ludahnya. Begitu mereka masuk ke dalam mansion mereka telah disambut dengan puluhan bunga mawar putih yang berjejer di sepanjang jalan. Beberapa pelayan mengenakan gaun putih yang indah menyambut mereka dan mempersilakan masuk.
Ela mengedarkan pandangannya, ia membawa Henry berdiri di sudut yang tidak terlalu terlihat banyak orang. Seorang pelayan datang dan menawarkan gelas berisi anggur di nampan yang ia bawa.
"Ya Tuhan! Ini adalah anggur yang paling mahal!" bisik Henry dengan kaget, ia segera menutup mulutnya dan melirik Ela yang melotot padanya, laki-laki itu terkekeh pelan. "Maksudku ... ini adalah anggur terbaik yang pernah kulihat."
Suasana hati Ela semakin memburuk, ia semakin khawatir dengan tingkah Henry. Wanita itu menegakkan tubuhnya dan menemukan sosok Antonio dan Mona yang tengah bergandengan tangan dengan mesra.
Hati Ela langsung memanas, ia meminum anggur di gelasnya sekaligus dan melirik gelas Henry, ingin merebut tapi laki-laki itu buru-buru menjauhkan anggur itu dengan tangannya.
"Biarkan aku mencicipinya dulu."
Ela mengabaikan Henry yang menyesap anggur itu dengan wajah yang berkerut, ia masih mengamati Antonio dan Mona yang berbincang-bincang dengan para tamu. Mereka berdua terlihat sangat bahagia.
Berbeda dengan pernikahannya dulu dengan Antonio yang terkesan seadanya dan memakai konsep pesta kebun. Pesta pernikahan Antonio dan Mona memiliki konsep yang lebih mewah dan elegan.
Dekorasi pesta terlihat sangat bersemarak dengan bunga-bunga mawar merah yang menghiasi setiap sudut ruangan, kursi dan meja dilapisi dengan kain sutra halus dan aneka makanan tersaji di meja panjang. Alunan musik klasik bergema di sudut ruangan dan seorang wanita bergaun merah menyanyi dengan suaranya yang syahdu.
Semakin membandingkannya, semakin hati Ela terasa seperti diiris oleh sembilu yang tajam. Ia menarik napas dalam-dalam dan berusaha untuk tidak meneteskan air matanya di pesta ini.
Gerald tiba-tiba menoleh ke arahnya, diikuti dengan tatapan penuh tanda Rachel. Ela menelan ludahnya dan tersenyum kikuk, sebelah tangannya langsung meraih lengan Henry agar mendekat.
"Ingat yang aku katakan? Tidak usah banyak bicara pada Gerald, seperlunya saja."
"Aku tahu," sahut Henry sambil melirik pasangan yang mendekat pada mereka berdua.
"Ela," sapa Gerald dengan senyum sumringah. "Tidak kusangka kau benar-benar datang."
Ela berusaha untuk tetap tenang, ia menganggukkan kepalanya dengan anggun dan menatap Rachel dari atas sampai ke bawah. Sahabatnya itu mengenakan gaun berwarna biru muda dengan manik-manik mutiara yang di ujungnya, rambutnya ia tata ke atas dan ia mengenakan riasan yang alami.
Sekilas ia terlihat seperti seorang cinderella yang beruntung bertemu dengan seorang pangeran berkuda putih. Tapi bagi Ela, Rachel seperti seekor itik buruk rupa yang merebut bulu angsa untuk dipakai di tubuhnya.
Sangat menjijikkan.
"Tentu saja aku benar-benar datang," balas Ela sambil melirik Henry di sebelahnya. "Kenalkan dia adalah kekasihku, Henry Emanuel."
"Halo." Henry tersenyum tipis, ia mengulurkan tangannya dan menyalami Gerald dengan mantap, dalam hati ia mengumpat, laki-laki ini adalah mantan suami Nyonya Ela?!
Dibandingkan dengan dirinya, Gerald terlihat lebih matang dan dewasa. Laki-laki itu mengeluarkan aura yang membuatnya terlihat seperti seorang bangsawan tanpa ia mengatakan apa pun.
Dibandingkan dengan dirinya yang hanya mahasiswa miskin, Henry merasa dirinya sangat kecil dibandingkan dengan Gerald, ia kemudian menoleh pada Ela. Wanita itu memasang senyum palsu di wajahnya.
Entah kenapa perasaan di hatinya tiba-tiba bergejolak.
"Kudengar kau adalah mantan suami Ela," kata Henry tanpa bisa ia cegah, ia kembali menatap Gerald dan tersenyum miring. "Beruntung sekali dia berpisah denganmu, laki-laki brengsek yang tidak tahu diri."
Senyum Gerald langsung luntur dan wajahnya mengeras, ia berdehem pelan dan mendekati Henry.
"Maaf, apa yang kau katakan?"
.
.
.
Selamat datang dan selamat membaca cerita My Lady, semoga suka dan terhibur^^
Mohon maaf kalau masih banyak PEUBI yang berantakan, saya masih belajar dan akan memperbaikinya pelan-pelan, jangan lupa berikan vote dan komentarnya^^
Terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lady
RomanceHenry Emanuel hanyalah mahasiswa miskin, kehidupannya berkisar antara kerja, kuliah dan tidur. Tidak ada cinta atau bersenang-senang dalam kamusnya, bisa dibilang dalam kehidupan Henry sangat monoton dan tidak berwarna. Hingga suatu hari ketika ia...