Restoran burger tempat Henry bekerja dulu tidak pernah seramai ini.
Kualitas burger mereka biasa-biasa saja, kentang goreng yang mereka miliki juga biasa-biasa saja, apalagi minuman sodanya, menurut Henry itu sangat buruk karena bosnya sengaja membeli yang berkualitas rendah.
Sejak insiden ia menginjak kamera di depan kampus, para wartawan sedikit demi sedikit mulai membubarkan diri dan menghilang.
Tapi tidak hari ini, mendadak restoran burger tempatnya bekerja ramai. Bukan oleh pengunjung, tapi dengan kedatangan dua wanita cantik, satu orang memiliki rambut hitam pekat yang sangat menggoda dan satunya lagi memiliki rambut kecoklatan yang indah.
"Di mana Henry?" tanya Rachel tanpa basa-basi.
"Dia tidak bekerja hari ini," sahut Hilda dengan gugup, ia merapikan bekas minyak di celemek. Hanya ia satu-satunya orang yang bertanggung jawab di sini sekarang. Bos yang gemuk itu tidak datang sejak pagi, entah apa alasannya Hilda tidak berhak untuk tahu.
"Kenapa bisa?" Rachel menggandeng tangan Ela dan menatap tajam Hilda, mencoba mencari tahu jejak kebohongan di wajahnya.
"Aku tidak bohong!" Hilda mengangkat tangannya dan menggelengkan kepalanya. "Henry hanya bekerja dari hari minggu sampai kamis, sisanya akan diserahkan pada pekerja paruh waktu lainnya."
Ela menghela napas lega, sepertinya dewi keberuntungan masih berpihak padanya, ia mengelus dada dan diam-diam mengutuk Rachel.
"Aku tidak peduli, cepat panggil dia, suruh kemari!" Rachel masih bersikeras dan memeriksa buku di meja kasir, mencari-cari nomor ponsel Henry.
"Itu percuma saja." Hilda berusaha mengambil buku catatan dan menutupnya di depan Rachel, orang yang tidak makan di restoran ini tidak boleh seenaknya. "Henry tidak punya ponsel!"
Ela dan Rachel terdiam kaget.
"Aku tidak tahu alasannya, tapi dia selalu menyimpan gajinya untuk sesuatu." Hilda menghela napas dan menyeka keringat yang mengalir di pelipis, suasana terasa lebih panas daripada biasanya karena kedatangan dua wanita ini.
"Sudahlah, Rachel." Ela menarik tangannya dari genggaman wanita itu dan melihat bahwa pergelangan tangannya itu memerah. "Dia bukan Henry yang kau maksud."
"Aku tidak percaya," bantah Rachel, ia mengambil ponselnya dan memperlihatkan foto Henry pada Hilda. "Lihat baik-baik, ini Henry kan?"
Hilda tergagap, ia ingat ketika wanita ini datang, Henry juga menghindarinya. Wanita itu tersenyum masam dan menggeleng.
"Aku tidak yakin, mataku mengalami rabun dekat. Kupikir itu adalah orang yang berbeda, terutama hidung mereka."
Rachel mendengkus kesal, ia melirik Ela yang berdiri di sampingnya.
"Di mana rumahnya? Kalian pasti menyimpan alamat rumah karyawan kan?" Rachel merebut buku yang dipegang Hilda dan menemukan alamat rumah Henry, ia mengetikkan sesuatu di ponselnya. "Ayo kita ke rumahnya."
"Rachel!"
Ela menghindar tepat sebelum wanita itu ingin menyentuh tangannya lagi, ia mundur beberapa langkah.
"Sudah cukup, kau benar-benar keterlaluan!"
Rachel tertawa, ia mengabaikan tatapan aneh para pelanggan restoran burger yang datang, tidak peduli sama sekali dengan citranya sebagai seorang model.
"Bilang saja kau sekarang ketakutan, kan? Henry kekasihmu itu adalah Henry yang bekerja di sini, akui saja maka aku akan menghentikan ini!"
Ela diam, ia menatap gusar pada Rachel. Dulu wanita di depannya ini adalah sahabat terbaiknya, orang yang selalu menjadi tempatnya berkeluh kesah dan menghabiskan waktu. Tapi sekarang, wanita ini layaknya seekor ular yang setiap saat siap mematuk.
Ela tidak habis pikir, apakah dulu dia yang terlalu naif atau Rachel yang begitu pandai bersandiwara jadi seorang sahabat yang baik padanya?
"Aku benar-benar membencimu, Rachel."
Rachel tertegun sejenak, sorot matanya kemudian menjadi dingin dan tangannya bergerak hendak menampar Ela.
Suasana tiba-tiba saja menjadi tegang, Hilda langsung menutup mata sambil menahan napas, namun seseorang mengetukkan sepatunya di lantai.
"Apa yang kau lakukan pada kekasihku, Nyonya Rachel?"
Sebuah suara rendah membuat semua orang terhenti dan berbalik menatap pintu, di sana Henry berdiri sambil melepas kacamata hitamnya, ia melangkah dan berdiri di depan Ela.
"Kau baik-baik saja?"
"Henry?!"
Rachel langsung melotot, tangannya masih terangkat di udara. Hilda membuka mata dan melongo.
"Ela, kau baik-baik saja?" Hendry tidak memedulikan ekspresi terkejut Rachel dan menatap ELa dengan lembut, sebuah senyuman tipis terpatri di wajahnya.
Ela mengangguk tanpa sadar, ia melihat penampilan Henry dari atas sampai ke bawah. Laki-laki itu mengenakan kemeja biru dan celana hitam, jas tersampir di lengannya dan tidak ketinggalan pula sepatu pantofel hitam mengkilat di kakinya.
"Ini ... kamu?" tanya Ela dengan tidak percaya, Henry tersenyum tipis dan menyentuh pipi Ela.
"Ya, ini aku Ela."
Wajah Rachel menjadi pucat, ia sangat kaget dengan kedatangan Henry, wanita itu bahkan lupa menutup mulutnya.
"Tidak mungkin! Kalian pasti bekerja sama untuk menipuku! Naik apa kau kemari?!"
Belum sempat Henry membuka mulutnya seorang laki-laki berjas hitam masuk sambil membawa sebuah mantel bulu pada Henry.
"Tuan, ini mantel untuk Nyonya Ela."
Henry tersenyum, ia mengambilnya dan memasangkan pada Ela dengan lembut, ia mengabaikan Rachel yang menggerutu di sampingnya. Wanita itu seakan kehabisan kata-kata ketika melihat sebuah limuosin terparkir rapi di luar restoran.
Pipi Ela memerah, ketika diseret oleh Rachel tadi ia tidak sempat berganti pakaian dan hanya mengenakan gaun tipis. Wanita itu merapatkan mantel dan merapatkan tubuhnya ke arah Henry, secara tidak sadar ingin meminta perlindungan dari laki-laki itu.
"Bisakah kau tidak mengganggu kekasihku? Dia sangat ketakutan karena kau terus menerornya."
Henry memeluk Ela, ia mengangkat tangan Ela dan melihat bekas merah di pergelangan tangannya, ia kemudian melirik sinis Rachel. "Perlukah aku memberitahu media tentang perlakuan burukmu pada Ela?"
Rachel tidak bisa berkata-kata, ia bingung harus membalas apa. Henry yang ia lihat sekarang berbeda dengan Henry yang ada di foto, bukan Henry yang sedang memanggang daging burger, bukan Henry yang menggoreng kentang. Tapi di depannya ini adalah Henry yang mengenakan setelan jas rapi dan rambutnya disisir ke belakang, ada dua orang pengawal pribadi yang berdiri di belakang dengan setia.
Dari sudut mana pun Rachel seakan tidak dapat menemukan kelemahan Henry, seakan ia memang berasal dari keluarga terpandang dan memiliki aura bangsawan di depannya. Tatapan matanya yang tajam itu seakan menyapu semua kesombongan yang ditunjukkan oleh Rachel tadi.
"Mulai sekarang berhenti datang dan mengganggu Ela, jangan kira aku akan diam saja kalau kau terus mengganggu. Aku tidak akan segan menuntutmu!"
"Kau ... sebenarnya kau siapa?!" tanya Rachel sambil menunjuk Henry dengan gemetar, ia masih tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya.
Ela mendongak menatap Henry, sama seperti Rachel, ia juga penasaran siapa sebenarnya laki-laki yang memeluknya ini. Tangannya tanpa sadar memegang erat lengan Henry.
Henry terkekeh pelan dan mendorong Ela agar segera keluar dari restoran burger. Laki-laki itu menoleh dan menyipitkan matanya pada Rachel.
"Apa kau lupa? Aku adalah Henry Emanuel."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lady
RomanceHenry Emanuel hanyalah mahasiswa miskin, kehidupannya berkisar antara kerja, kuliah dan tidur. Tidak ada cinta atau bersenang-senang dalam kamusnya, bisa dibilang dalam kehidupan Henry sangat monoton dan tidak berwarna. Hingga suatu hari ketika ia...