13 - Mencoba Menyerah

14 1 0
                                    

Rasanya ini sudah seminggu sejak Rachel datang ke restoran tempatnya bekerja, para wartawan masih memburunya dan ia terus bersembunyi-sembunyi dari mereka, teman-teman kuliahnya kerap kali menanyakan apakah orang yang ada di media itu benar dirinya, tapi Henry selalu berkelit dan memutarbalikkan fakta, ia juga memakai pakaian paling lusuh sehingga tidak akan ada yang percaya bahwa itu adalah dia.

Tapi ternyata keberuntungan tidak berpihak padanya di hari ini.

"Permisi Tuan, apakah anda benar-benar kekasih Nyonya Elaine?"

Seorang wartawan yang selalu memburunya menghadang di depan gerbang kampus, ia menyodorkan sebuah mikrofon dan di belakangnya ada kamera yang merekam.

Henry menutupi wajahnya dengan buku diktat, ia merasa sangat kesal. Baru saja ia kena damprat dosen pembimbing karena ia tidak pernah konsultasi tugas akhir dan sekarang ia semakin kesal dengan kehadiran mereka.

"Apa yang kau katakan? Minggir!"

Henry menggeser para wartawan itu dan menerobos berjalan menuju halte bus, mantel lusuh yang biasa ia pakai itu sepertinya tertinggal di kelas.

"Anda memiliki nama yang sama dengan kekasih Nyonya Ela dan wajah anda juga mirip!" Wartawan itu masih bersikukuh, ia bahkan dengan sengaja menarik tangan Henry agar berhenti. "Jujur saja ... anda sebenarnya dibayar oleh Nyonya Ela, kan?!"

"Hah?"

Henry melotot, beberapa pasang mata langsung menatapnya dengan kening berkerut. Laki-laki itu mengumpat dalam hati, wartawan ini sepertinya sengaja mengatakan dengan keras untuk membuatnya malu.

"Kami sudah memeriksa latar belakang anda," lanjut wartawan itu lagi tanpa peduli dengan wajah Henry yang semakin muram. "Anda berasal dari panti asuhan dan kuliah dengan beasiswa, di samping itu anda juga bekerja paruh waktu di dua tempat yang berbeda. Saya benar, kan?"

Wartawan lain yang baru saja datang ikut ambil bagian, mereka mengelilingi Henry dari segala penjuru dan membuat laki-laki itu pusing.

"Ah, karena kehidupan anda yang sulit membuat anda memberanikan diri menjadi pria bayaran Nyonya Ela!"

Henry merasa kemiskinan benar-benar meresap sampai ke tulang-tulangnya sampai mereka semua mengecap dirinya serendah itu.

Dia memang dibayar, tapi bukan untuk teman tidur. Ia hanya membantu Ela agar tidak dipermalukan Gerald, mengapa begitu sulit menjelaskan hal seperti itu pada para wartawan ini?

"Jujur saja Tuan, anda adalah laki-laki panggilan. Apa Nyonya Ela sering memanggil anda setelah perceraiannya?"

Henry menoleh, ia mendengkus dan meraih kamera yang dipegang wartawan itu dan menghempas ke tanah, kakinya langsung menginjak sampai hancur.

KRAK!

Para wartawan itu terhenyak, Henry mendekat dan kemudian menarik kerah bajunya dengan erat.

"Bisa kau ulangi apa yang kau katakan tadi?" tanyanya dengan suara yang dingin.

Wartawan itu langsung diam, ia gemetar ketika melihat mata Henry yang melotot.

"Laki-laki panggilan? Aku memang miskin. Ya! Aku sangat miskin!" teriak Henry, tangannya mencengkeram kerah bajunya dengan erat sampai wajah wartawan itu merah. "Tapi kau tidak bisa menghinaku begitu saja, apa kau bilang tadi? Laki-laki panggilan? Serendah itukah pekerjaan kalian sampai harus mengambil kesimpulan sendiri? Kalian semua sakit!"

Henry mendorongnya dan mendengkus, ia sudah muak dengan semua ini. Semakin hari mereka semakin keterlaluan dan membuat berita seenak jidatnya.

Laki-laki itu berbalik dan pergi, para wartawan hanya bisa saling pandang.

Henry kembali ke Mansion Ela dengan suasana hati yang buruk, ia melengos masuk dan mandi air dingin, laki-laki itu berdiam diri hingga suara seseorang bergema dari luar.

"Makan malam sudah siap."

Sera mengetuk pintu kamar Henry, laki-laki itu duduk di lantai dengan selimut yang ia bentangkan, ia mendongak dan melihat Sera yang tersenyum menunjuk ke arah ruang makan.

Sejak tinggal di Mansion Nyonya Ela, baru kali ini Henry yang berada dalam suasana hati yang buruk dan tidak berminat melakukan apa-apa, biasanya ia akan pergi bekerja atau kuliah sambil menghindari orang-orang yang mengenalinya.

Tapi berkat wartawan tidak bermoral itu, ia hanya menggulung dirinya dengan selimut sambil terus menggerutu.

Henry sebenarnya tidak nyaman tinggal di tempat ini, ia tidak terbiasa dilayani, apalagi untuk hal sepele seperti diingatkan makan. Laki-laki itu bisa makan tanpa diingatkan, ia bukan bocah yang akan merajuk hanya karena waktu makannya terlewat.

Terlebih lagi para wartawan itu semakin hari semakin mengganggu, ia sedikit tersinggung disebut sebagai laki-laki bayaran yang menghangatkan tempat tidur wanita kaya.

Henry rasa sudah cukup, ia lelah seperti ini terus. Ia merasa harus segera kembali ke kehidupan normalnya. Laki-laki itu takut kalau ia terlalu lama di tempat ini, ia jadi terlalu nyaman dan ia semakin berpikir dirinya benar-benar laki-laki yang dibayar untuk menemani wanita yang kesepian.

Ela menunggunya di meja makan, wanita itu seperti biasa selalu terlihat seksi di matanya. Rambut hitamnya itu ia biarkan jatuh terkulai di punggungnya dan tangannya yang lentik itu bergerak mengaduk teh di depannya.

"Kau akhirnya turun," komentar Ela sambil tersenyum lebar.

Henry duduk di depannya dan melihat menu yang ada di meja makan, ada steak sapi dan beberapa hidangan lain yang terlihat asing baginya. Semua itu sama sekali bukan makanan yang biasa ia makan atau pernah ingin dia makan.

"Ya, Nyonya."

"Sudah kubilang tidak usah terlalu formal dan jangan panggil aku Nyonya." Ela menuangkan teh ke cangkir Henry, ia tersenyum lebar. "Ayo makan, sudah lama aku tidak ditemani makan."

"Ah?"

Henry menatap Ela dengan kening berkerut, ingatannya kembali melayang pada para wartawan yang memanggilnya laki-laki bayaran.

Ela tidak menyadari perubahan Henry, wanita itu tertawa kecil.

"Tentu."

Henry tersenyum pahit, ia dengan canggung mengambil pisau dan garpu, matanya tidak henti-hentinya mengamati gerakan Ela dan bergerak menyalin.

Henry mendesah, ia tidak bisa, ia benar-benar tidak bisa seperti ini terus.

Setelah mereka terjebak dalam keheningan, Henry meletakkan pisau dan garpu di atas piring, matanya menatap lekat Ela.

"Aku ingin pergi."

Ela mendongak, matanya bertemu tatap dengan Henry, ia terkekeh pelan.

"Ya, pergilah. Aku tidak akan menahanmu untuk terus ada di rumah."

"Ini bukan seperti itu." Henry menelan ludah dan tangannya bergerak dengan gelisah. "Kupikir sudah cukup, orang-orang sudah melupakan masalah kita. Rachel juga tidak mengunjungi restoran lagi. Jadi kupikir ... lebih baik kita kembali ke kehidupan masing-masing."

Henry sebenarnya tidak rela, tapi ia tidak bisa terus berlama-lama di rumah orang seperti benalu. Ia masih memiliki malu.

ia juga tidak yakin sampai kapan bisa terus membendung segala pikiran nakalnya tentang Ela.

Ela terdiam, memang benar apa yang dikatakan oleh Henry.

"Apakah kau yakin?" tanya Ela tidak rela, sejak perceraiannya dengan Gerald, Ela selalu merasa kesepian dan Mansion besar ini terasa sangat dingin.

Tapi sejak kedatangan Henry, semua itu berubah jadi lebih hidup.

Henry menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, ia bingung harus mengatakan apa.

Ela tidak ingin berdebat, ia kemudian menganggukkan kepalanya dengan pelan.

"Pergilah."


.

.

.

.

TBC

My LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang