1 - Elaine Lasmaria

59 3 2
                                    

Deru mesin jahit memecah kesunyian di ruangan yang luas ini, potongan kain tersebar dimana-mana, benang bergelimpangan di atas lantai dan jarum ditusuk sembarangan pada sebuah bola kain di samping mesin jahit, kertas-kertas sketsa jatuh di atas lantai dan sebagian lagi dilempar ke bak sampah di sudut ruangan.

"Nyonya, suami ... tidak, maksud saya Tuan Gerald menunggu anda di ruang tamu," kata seorang pelayan dengan gugup, ia memegang sebuah amplop yang diikat dengan pita merah muda.

Wanita yang disebut nyonya tadi menghela napas, ia menoleh sambil melepaskan kacamatanya. "Katakan padanya aku akan turun sebentar lagi."

"Baik."

Pelayan itu langsung membungkuk dan mengundurkan dirinya, meninggalkan wanita itu yang merenung sejenak.

Wanita itu adalah Elaine Lasmaria, seorang perancang dan pemilik butik ternama di kota inggris, usaha yang awalnya hanya sekedar hobi itu berkembang menjadi sebuah usaha yang menghasilkan. Rancangannya yang diberi nama De Amour pun selalu menjadi sorotan di kalangan pencinta fashion.

Ela menghela napas, ia berdiri dan merapikan pakaiannya yang kusut karena terlalu lama duduk, sedikit merias wajahnya yang pucat dan keluar dari ruang kerjanya.

Ketika kakinya menuruni tangga, ia melihat sosok laki-laki berambut pirang duduk bersama seorang wanita yang amat dikenalnya itu, Rachel.

Gerald adalah mantan suaminya satu tahun yang lalu, mereka bercerai di usia pernikahan mereka yang singkat, dua tahun. Gerald mengatakan kalau Ela terlalu sibuk mengurus rancangan pakaiannya dibandingkan suaminya sendiri, padahal menurut Ela itu hanyalah alasan yang dibuat laki-laki itu untuk selingkuh dengan sahabatnya sendiri, Rachel.

"Akhirnya kau turun," kata Gerald dengan senyum di wajahnya yang tampan, ia berdiri bersama dengan Rachel yang memeluk erat lengannya. "Aku datang kemari untuk memenuhi janjiku."

Ela tersenyum simpul, ia mengulurkan tangannya menyuruh mereka berdua kembali duduk, hatinya berkecamuk dipenuhi dengan berbagai emosi, disatu sisi ia merasa sedih dan kecewa. Di sisi lain ia merasa marah dan ada setitik kedengkian di hatinya.

"Yah, kalian akan menikah?" tebak Ela tanpa basa-basi.

"Tepat sekali, kau selalu cerdas Ela." Gerald tidak menyadari perasaan Ela yang sakit mendengarnya, ia terkekeh pelan dan menyuruh Rachel mengeluarkan undangan dari dalam tasnya dengan tangannya yang menyentuh bahu Rachel dengan intim.

Hati Ela memanas melihat pemandanga itu.

"Maafkan aku, tasku terlalu kecil jadi sulit untuk masuk." Rachel tersenyum tanpa daya, seakan ia yang bersalah di sini, Ela mengerutkan keningnya dengan jijik.

"Tidak apa-apa sayang, aku akan membelikanmu tas yang lebih besar lagi nanti." Gerald berkata dengan lembut dan tersenyum pada Rachel.

Rachel tersipu dan menepuk bahu Gerald, undangan dengan pita merah muda itu kemudian ia serahkan pada Ela. "Ini undangan pernikahan kami, kuharap kau hadir Ela."

Ela menarik pita merah muda itu dan membaca sekilas isinya, ia kembali menatap kedua pasangan yang sedang kasmaran itu.

"Ha ..." Sudut bibir Ela melengkung, ia tersenyum lebar tapi ada jejak kekecewaan di wajahnya itu. "Tentu saja aku akan datang, ini adalah hari yang paling istimewa untuk sahabat dan mantan suamiku."

Rachel mendengkus pelan, merasa tidak suka dengan apa yang dikatakan oleh Ela, wanita itu berdehem pelan dan menatap Gerald, mengisyaratkan sesuatu yang hanya dimengerti oleh mereka berdua.

Ela diam-diam meremas pita merah muda itu di pangkuannya, ia mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan mencoba untuk menahan rasa panas di matanya.

"Ah, aku baru ingat. Kau dulu pernah berjanji untuk datang bersama kekasihmu ke pernikahan kami, kan? Ingatlah untuk membawanya nanti, aku tidak sabar untuk melihat seperti apa orang yang menggantikan diriku."

Ela tersenyum dengan paksa.

Ia ingat satu tahun yang lalu di sidang perceraian mereka ia berteriak di depan semua orang bahwa ia akan menghadiri pernikahan Gerald dengan kekasihnya. Gerald yang saat itu terlalu marah dan malu menyetujuinya dan mengajaknya bertaruh.

Jika Ela datang ke pernikahan mereka dengan seorang kekasih, ia akan memberikan sebuah pulau pribadi secara gratis dan sebaliknya jika Ela tidak membawa seseorang ke pernikahan mereka, ia yang akan menghadiahi Gerald dan Rachel sebuah pulau pribadi secara gratis.

Bagi Ela, sebuah pulau pribadi itu tidak ada artinya. Tapi harga dirinya yang lebih penting, terlebih lagi di hadapan semua keluarga Gerald dan keluarganya, ia tidak bisa kehilangan harga dirinya begitu saja. Ela tanpa ragu menyetujui taruhan itu.

Dan inilah pada akhirnya.

"Yakinlah aku akan membawanya ke pesta pernikahan kalian." Ela menjawab tanpa keraguan, ia dengan lihai menutupi segala emosi yang berkecamuk di hatinya, tangannya menggenggam erat pita merah muda itu. "Aku akan membuat kalian terkejut."

Rachel tertawa dibuat-buat, ia menutup mulutnya dengan saputangan dari dalam tasnya. "Syukurlah kalau begitu, aku pikir kau akan menyibukkan dirimu dengan gaun-gaunmu itu sepanjang tahun."

Ela tertawa kecil, hatinya berdenyut nyeri. Sepanjang tahun ia memang menyibukkan dirinya untuk merancang gaun, untuk melupakan segala bentuk sakit hatinya pada dua orang yang ada di hadapannya ini.

Ia tidak punya waktu dan tidak punya niat untuk memulai sebuah hubungan yang baru bersama laki-laki lain. Luka yang ia dapat masih terlalu dalam dan belumlah sembuh.

"Kalian tidak perlu khawatir, aku tidak seperti itu lagi."

Seorang pelayan datang menyelamatkan Ela, yang bingung harus berkata apa lagi, pelayan itu melirik Ela dan menaruh tiga cangkir teh dan kue ke atas meja, ia kemudian melirik Gerald dengan sinis.

"Terima kasih." Ela menghela napas dan mengangkat tangannya, meski ia sangat membenci dua orang yang ada di hadapannya ini, ia tidak bisa bersikap kasar pada tamu. "Silakan dinikmati."

Gerald tertegun menatap pandangan sinis dari pelayan, tapi ia tidak sempat memikirkannya karena Rachel menyandarkan dirinya dengan manja dan memintanya mengambilkan kue di atas meja. Laki-laki itu melirik Ela dengan canggung. Ela hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

Melihat mantan suaminya melayani sahabatnya sendiri, hati Ela rasanya remuk, ia merasa sesak dan tidak tahan jika terus berlama-lama menyaksikan semua kemesraan mereka, setelah ia meminum tehnya beberapa teguk, ia berdehem pelan.

"Maaf, tapi aku tidak bisa berlama-lama. Sesuatu yang mendesak telah menunggu, mari kita mengobrol di lain waktu, oke?"

"Tentu," sahut Gerald dengan cepat mendahului Rachel yang diam-diam mencibir, ia berdiri dan memegang lengan Rachel. "Kalau begitu kami akan pergi dulu, masih banyak persiapan pernikahan yang harus kami lakukan."

"Ya, sampai jumpa di hari pesta," tambah Rachel dengan acuh.

Ela mengangguk pelan, ia mengantar dua orang itu sampai benar-benar menghilang dari rumahnya kemudian ia membanting pintu dengan keras.

"Nyonya ...." Pelayan itu menghela napas, ia mengerti betapa buruknya suasana hati tuannya.

Ela menjatuhkan dirinya di belakang pintu, air matanya tidak bisa lagi ia bendung, semua kesakitannya tidak bisa lagi ia tahan, wanita itu menangis tersedu-sedu di lantai yang dingin sedingin hatinya yang telah dikhianati oleh orang yang dicintai dan sahabat yang paling ia percaya.

.

.

.

.

Selamat datang dan selamat membaca cerita My Lady, semoga suka dan terhibur^^

Mohon maaf kalau masih berantakan, saya masih belajar dan akan memperbaikinya pelan-pelan. Jangan lupa berikan vote dan komentar^^

Terima kasih.

My LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang