𝟷 dari 𝟷𝟶

13K 915 39
                                    

: :〻

Sejujurnya jiwamu saat ini sedang terbaring di rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sejujurnya jiwamu saat ini sedang terbaring di rumah. Namun, ragamulah yang memaksa akan kesadaran.

Gedung bertingkat yang dihias mewah serta tamu undangan yang bukan orang biasa. Jikalau diberi kesempatan, kau ingin tenggelam.

Bagaimana tidak?

Sang pengantin pria yang beberapa jam yang lalu 'terpaksa' mengikrarkan sumpah, kini hilang entah ke mana.

Kau pun tidak bisa menyalahkannya. Bahkan dirimu juga tak ada bedanya.

Hanya saja, "Maafkan anakku yang kurang ajar, 'Tanpa nama. Kalau tertangkap nanti akan kupukul pantatnya."

Perkataan yang mengundang kekehan kecil darimu.

"Tidak masalah ibu. Toh, mungkin ada sesuatu yang lebih penting."

Itulah yang kau pikirkan. Kenyataannya adalah-

Di lain tempat yang tak kalah mewah, di mana para lelaki sibuk untuk berpesta pora.

Gelakan tawa kasar dan juga ucapan yang tak senonoh keluar tanpa beban.

"Berisik. Kau membawaku ke tempat yang salah, Aiku."

Sinisan dari Sae membuat Aiku membulatkan mata. "Hei, bung! Seharusnya kau berterima kasih karena aku telah menyelamatkanmu."

"Ya,"

Aiku menggelengkan kepala, sikap dingin dari Sae hanya akan membuatnya darah tinggi.

Maka dari itu, Aiku harus merayakan pernikahan yang tidak disetujui temannya. "MARI KITA MINUM SEPUASNYA, BERSULANG!"

"Air ludahmu mengenai wajahku, idiot."

"HAHAHAHA, MINUM SAJA SAE. Setelah ini ibumu akan mengamuk dan kau akan terpenjara dengan produk gagal Miyako itu!" Seru Aiku menuangkan minuman.

Sae mengerti hal tersebut lebih dari siapapun. Gosip yang beredar di kalangan media masa membuatnya jengah dan muak.

Pasalnya, kenapa harus anak yang gagal? Kenapa tidak anak sulungnya yang telah berkencan dengan Sae setahun belakangan ini?

"Tsk, orang gila pun akan menyesal menikah dengannya." Ujar Sae mencoba mencicipi minuman.

Aiku menoleh, "Itu artinya kau gila?"

"Orang bodoh mana yang baru saja dibodohi oleh orang bodoh."

Ucapan Sae terlalu belibet bagi Aiku. Lelaki itu pun menyerah dan membiarkan Sae terdiam sendiri.

Beberapa saat, Sae mendecihkan bibirnya. "Lebih baik mati, daripada harus satu rumah dengan produk gagal."

"Oh, ungkapan yang bagus teman. Aku menantikan perceraianmu, hahaha."

Setelah itu mereka berdua larut dalam kesenangan masing-masing.

⋯ ⋆ ⋯

Kembali lagi pada realita yang sedang menusukmu bertubi-tubi. Banyak sekali gosipan yang kini sedang kau terima.

Meskipun pelayanan ramah dan makanan berbasis bintang 5, kesalahan akan terus dicari.

Oleh-oleh yang berbekal cibiran selalu saja mengusik indra pendengaranmu. Seperti kali ini.

"Dia gadis yang katanya produk gagal Miyako?"

"Sayang sekali Sae-chan harus dijodohkan olehnya. Anak gadisku saja bisa lebih baik daripada-"

Tak tahan, kau bergabung. "Mungkin kah begitu?"

"E-eh, 'Tanpa nama. Anda baik-baik saja, 'kan? Aduhai, aku tak menyangka Sae-chan akan pergi begitu saja."

Ucapan itu hanyalah bom bandir agar mengurangi perasaan gagap.

Kau lebih tau dibanding siapapun. Orang semacamnya adalah tipe yang tidak akan pernah merasa bersalah.

Oleh karena itu, kau memiringkan kepala dan menghela napas lembut. "Ah~ benar sekali, Sae-ku yang malang. . . harus berurusan dengan pekerjaannya meskipun sedang ada acara besar."

Dan BOOM!

Mereka kehilangan kata-kata.

Seharusnya memang begitu. Melihat wajah mereka yang gelagapan, kau tersenyum tipis. Sebenarnya kau sangat tak ingin untuk meladeni, namun harga dirimu sedang dipertaruhkan.

"Apa produk gagal sepertimu pantas menikah dengan Sae-chan? Wah, tentu saja tidak. Benar, 'kan?" Alibinya memprovokasi orang-orang di sekitar.

"Ya. . . jika Sae yang sempurna menikah dengan barang cacat, ck! Aku pun tak menyangka."

"Benar sekali, lebih baik tetaplah berada di kurungan yang kecil dan sangkar yang abadi."

Seketika tubuhmu bergetar. Perkataan mereka mengolah pikiran dan kondisi yang telah membuatmu merasakan Déjà vu.

Tanganmu naik guna mengelus sikut lengan sebelah. Salah satu penenangan diri yang kau kuasai saat ini.

"Asumsi yang bodoh."

Kau menoleh, lelaki bertubuh tegap dan tinggi hadir di sampingmu. Bulu mata lentik yang mirip dengan milik Sae, bukankah itu Itoshi Rin?

Kata ibu Sae, tidak ada anggota keluarga yang hadir kecuali ibunya saja. Tetapi, kenapa saat ini Rin. . .?

"Kakak ipar, ibu memanggilmu. Ayo pergi." Ajak Rin, nada bicaranya dingin.

Mereka semua terdiam dengan perlakuan Itoshi Rin. Tidak ada seorang pun yang berani membuka suara.

Dirimu pun juga sama. Hanya menurut tanpa adanya pemberontakan.

Pandanganmu menuju ke arah depan, ternyata benar. Ibu sae memanggilmu dan membawakanmu cemilan, dengan hangatnya ia mengelus rambutmu.

"Jangan perdulikan ucapan mereka, ssttt, sssttt." Ujarnya di sela-sela mengusap rambutmu.

Bisikan angin mengganggu telingamu, ternyata hari ini sungguh melelahkan. Perginya Sae, nyinyiran para kaum sosialita, dan sekarang- elusan kepala yang hangat.

Itu membuatmu seakan ingin mengeluarkan air mata yang bening.

Saat kau mengingat, pernahkah keluargamu memberikan kehangatan seperti ini?

Jawabannya adalah, tidak.

Dan, terlanjur keluar. Elusan hangat itu mampu membuatmu mengeluarkan air mata yang kau tahan sedari tadi.

"Terima kasih, ibu."

⋯ ⋆ ⋯

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⋯ ⋆ ⋯

after marriage ⭑ 𝓘. 𝐒𝐚𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang